|
Memasuki bulan Februari, bencana banjir semakin mengancam warga kota Jakarta. Banjir yang selalu terjadi setiap tahun ini mulai menggenangi beberapa permukiman di kawasan Jakarta Timur yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung. Badan Meteorologi dan Geofisika sudah memiliki ramalan intensitas puncak curah hujan setiap tahun, tetapi infrastruktur hidrologi dan pengendali banjir di Jakarta seakan macet total. Ini disebabkan perubahan peruntukan lahan yang diikuti pendangkalan atau penyempitan sungai dan selokan. Sampah juga selalu menjadi biang keladi banjir karena sungai masih menjadi tempat favorit untuk membuang sampah, terutama bagi warga yang tinggal di bantaran sungai. Produksi sampah rumah tangga yang masuk ke sungai diperkirakan 1.000 ton per hari. Di pintu-pintu air, sampah menumpuk hingga dua meter lebih. Tumpukan sampah itu bahkan tak tenggelam ketika diinjak orang. Hal serupa terjadi pada selokan di sebagian kawasan permukiman. Maka, hujan deras sedikit pun bisa meluapkan air selokan. Warga sudah harus mengurangi produksi sampah sejak dari rumah masing-masing, kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Rama Boedi. Program pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang sebenarnya sudah lama dicanangkan. Namun, pelaksanaannya jalan di tempat meski ada proyek percontohan di beberapa tempat, seperti di Kampung Banjarsari, Jakarta Selatan. Perkampungan yang dihuni 938 warga itu mengelola sendiri sampahnya. Setiap rumah tangga memilah sampahnya menjadi sampah organik dan non-organik. Sampah organik dikumpulkan di satu tempat dan dibuat kompos. Adapun sampah non-organik dimanfaatkan pemulung. Manajemen pengelolaan Sejak beberapa tahun lalu Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI telah mencanangkan program pemilahan sampah di rumah maupun gedung perkantoran. Di areal publik, Pemprov DKI menyediakan tempat-tempat sampah berlainan warna. Warna biru untuk sampah organik dan warna oranye untuk sampah non-organik. Ironisnya, kebijakan itu tak diikuti dengan sistem pembuangan sampah yang terorganisasi baik. Sampah yang sudah dipisahkan kembali tercampur ketika diangkut truk sampah. Warga yang melakukan pemilahan sampah di rumah pun menjadi kesal. Rama Boedi mengakui, selama ini Pemprov DKI belum bisa mengelola sampah dengan baik. Namun, pihaknya akan meneruskan rencana aksi pemilahan sampah dari sumbernya. Langkah tersebut diikuti sistem pengangkutan yang dijanjikannya lebih terorganisasi. Dengan pola baru ini, sampah yang sudah terpisah dari rumah tetap dipisahkan pengangkutannya. Untuk sampah organik yang mudah membusuk, Dinas Kebersihan DKI menyediakan truk compactor yang dilengkapi penampungan air sampah (leacet). Untuk keperluan pengangkutan, Dinas Kebersihan DKI berencana menyediakan 80 truk compactor. Kini baru ada enam truk. Untuk mengembangkan pola pengelolaan sampah tersebut, beberapa kawasan menjadi proyek percontohan, antara lain di kawasan Menteng dan Tebet. Di sini truk compactor berkeliling dari rumah ke rumah. Jadi, tak ada tempat penampungan sementara (TPS) di sekitar permukiman itu, kata Rama Boedi. Pembangkit listrik Pemprov DKI juga berencana menerapkan sistem waste to energy (WTE), mengubah sampah menjadi energi. Untuk itu, akan dibangun pabrik pembangkit listrik tenaga sampah di empat lokasi, yaitu Marunda, Pulo Gebang, Ragunan, dan Duri Kosambi. Dinas Kebersihan DKI menjamin tak akan ada sampah yang ditumpuk di lokasi pabrik. Sampah langsung dipindahkan dari truk ke mesin pengolahan sampah. Tak akan ada tumpukan sampah di empat lokasi itu, ujar Rama Boedi. Dengan sistem tersebut, juga berarti tak akan ada lagi tempat pembuangan akhir (TPA) seperti di Bantar Gebang, Bekasi. Sayangnya, sistem pengelolaan sampah ini tak bisa dilakukan di semua wilayah Jakarta. Pola pengangkutan sampah ini hanya bisa dilakukan di permukiman tertata yang memiliki akses memadai untuk masuk keluar truk. Untuk permukiman padat penduduk masih digunakan pola lama, yakni menyediakan TPS di kelurahan, sebelum sampah diangkut ke TPA Bantar Gebang. Dengan pola baru diharapkan sampah yang diolah di Bantar Gebang bisa berkurang dari 6.250 ton per hari menjadi 1.000-2.000 ton. Jadi, TPA Bantar Gebang masih bisa digunakan. Tanpa pengurangan sampah, Bantar Gebang hanya bisa digunakan dua-tiga tahun lagi, kata Rama Boedi. Persoalannya, bagaimana Dinas Kebersihan mengawasi truk pengangkut sampah agar tak dibajak pengusaha barang bekas? Selama ini sebagian truk pengangkut sampah sering kali berbelok arah, bukan ke Bantar Gebang, tetapi ke lahan kosong milik pengusaha barang bekas.LUSIANA INDRIASARI Post Date : 05 Februari 2006 |