Cukup dengan pompa air kotor "IGW Emergency Pump", air yang keluar siap diminum. Banyak membantu di kawasan bencana. Praktis, efektif, dan cukup murah. Telah diekspor ke berbagai negara.
Aula Timur Institut Teknologi Bandung (ITB) terlihat ramai, Selasa siang dua pekan lalu. Ada perhelatan cukup penting di sana, yakni International Conference of Membrane Science and Technology. Sejumlah pakar membran dari Inggris, Polandia, Jerman, Singapura, Malaysia, dan Indonesia hadir di sana.
Selain konferensi, diselenggarakan juga pelatihan singkat. Beberapa peralatan teknologi terbaru tentang daya guna membran ikut dipamerkan. Tetapi di tengah ruangan ada benda mirip pompa sepeda dipajang. Agak ganjil untuk sebuah acara internasional. Siapa yang iseng meletakkan pompa di sana?
Eh, ternyata itu pompa air milik Dr. I Gde Wenten, pakar teknologi membran nasional yang menjadi salah satu pembicara kunci dalam pertemuan tersebut. "Ini alat ampuh untuk mendaur ulang air," kata doktor lulusan Denmark Technical University, Kopenhagen, itu. Contohnya, jika selesai mencuci barang pecah belah, seperti piring atau gelas, airnya jangan langsung dibuang.
Dengan teknologi membran, kata Wenten, air bekas cucian dapat digunakan lagi hingga tiga kali pakai. Jangankan air bekas, teknologi membran juga dapat "mencuci" air hujan, bahkan air comberan. Air daur ulang itu, menurut Wenten, bisa dimanfaatkan lagi untuk bersih-bersih dan mandi. "Tapi jangan digunakan untuk memasak," kata dosen teknik kimia ITB itu.
Sesuai dengan wujudnya, pompa air bersih itu memang diciptakan Wenten untuk kondisi serba-praktis atau darurat. Jadi, cocok untuk keperluan militer, penanganan darurat bencana, atau sekadar pergi kemping. Pompa buatan Wenten itu pun dinamakan "IGW Emergency Pump", sesuai dengan kependekan namanya.
Gagasan pompa IGW itu berawal dari bencana tsunami yang menimpa Aceh dan Nias, akhir 2004. Ketika itu, kata Wenten, ITB mengirim berbagai jenis bantuan teknologi untuk keperluan air bersih dan lain-lain ke Aceh dan Nias. Wenten juga terlibat dalam tim bantuan tersebut.
Rupanya, berdasarkan laporan yang masuk, banyak jenis bantuan teknologi yang tidak efektif. Beberapa peralatan yang membutuhkan listrik atau bahan bakar, misalnya, tak bisa dipakai. Seperti peralatan genset yang tak bisa bekerja lantaran solarnya habis. Ada pula yang menggunakan aki, tapi tidak berfungsi atau soak. Karena itulah, Wenten melihat perlunya peralatan bebas listrik atau BBM.
Wenten mencoba mengatasinya dengan menciptakan pompa IGW. Perangkat ini terdiri dari pompa tangan biasa dan pipa plastik yang berisi membran dengan panjang 62 cm, lebar 21 cm, dan tinggi 10 cm. "Pompanya dibuat cepat-cepatan, kurang dari sehari. Kami kebut-kebutan mulai dari pukul 11 malam sampai pukul tiga sore besoknya," kata Wenten mengenang.
Cara menggunakannya cukup praktis. Yakni hanya dengan memasukkan selang kecil pada air mentah atau air kotor. Lalu air dipompa ke dalam pipa membran. Air akan melalui membran yang bakal menyaring virus, bakteri, dan partikel lain. Untuk sekali pompa, peranti ini dapat menghasilkan segelas air (200 mililiter). Begitu keluar, airnya telah bebas dari bakteri dan siap diminum.
Membran itu juga punya kemampuan menyaring hingga tahap molekul. "Jadi, membran itu mampu menyaring ion, alga, protein, sampai organik bakteri," kata pria kelahiran Desa Pengastulan, Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali, itu. Hanya, Wenten wanti-wanti bahwa alat itu tidak bisa digunakan untuk air berbau. Begitu pula air yang tercemar racun, logam berat, atau pestisida.
Semua itu dapat terjadi lantaran membran IGW memiliki struktur pori dari 1 mikron sampai 0,0001 mikron. Ukuran itu sulit dilihat dengan mata telanjang. Tak mengherankan, virus berukuran 0,1 mikron tidak bisa menerobos membran. "Ibarat virus sebesar bola tenis dan membran seperti kelambu. Jadi, nggak mungkin lewat," katanya.
Selain itu, daya tahan membran itu cukup lama. Masa kedaluwarsanya lima tahun. Desainnya karya Wenten sendiri, sedangkan bahan bakunya harus diimpor karena belum ada di Indonesia.
Sejauh ini, kinerja pompa IGW lumayan bagus. Buktinya, menurut Wenten, permintaan atas pompa itu mulai meningkat karena bencana sering terjadi. Ketika Gunung Merapi meletus, bulan lalu, ITB mengirimkan 50 unit pompa tersebut ke lokasi bencana. Apalagi, pompa air bersih ini dapat digunakan di daerah sulit air. "Banyak permintaan dari daerah seperti NTT, Papua, dan pulau-pulau terluar sejak 2006. Kalangan militer juga banyak yang pakai," kata Wenten.
Wenten telah mematenkan karyanya itu. Lebih jauh, Wenten bersama sejumlah rekannya telah mendirikan GDP Filter, perusahaan yang bergerak dalam bidang teknologi pengolahan air bersih. Mulai tahun ini, ia meregister pompa itu di beberapa negara. Salah satunya di Cina. Ia bahkan membuka kantor cabang di Shanghai. Ini tindakan preventif. "Kalau Cina mau menjiplak, kami sudah berjaga-jaga," ujar Haryadi, staf produksi GDP Filter.
Hingga kini, GDP Filter telah memproduksi tidak kurang dari 10.000 unit pompa IGW setahun. Karena digunakan untuk kondisi darurat, kata Haryadi, alat itu dijual tidak terlalu mahal, sekitar Rp 500.000. Banyak permintaan dari luar negeri, terutama Afrika Selatan, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Selain pompa tangan, GDF Filter juga banyak mengembangkan teknologi pengolahan air bersih lain skala rumah tangga, permukiman, hingga wilayah. Pengembangan teknologi membran, kata Wenten, akan terus dilakukan. "Kami membulatkan tekad, Indonesia harus terdepan untuk aplikasi-aplikasi teknologi seperti ini," katanya. Nur Hidayat, dan Wisnu Wage Pamungkas (Bandung)
Post Date : 29 Desember 2010
|