Mengubah Sampah Menjadi Berkah

Sumber:Majalah Gatra - 22-28 November 2007
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Sampah dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik. Peluang besar meraup untung dari perdagangan karbon. Teknologi memungkinkan zat buang yang membahayakan menjadi jinak.

Sejarah tertoreh tak pernah mengenal tempat. Sekalipun di tempat yang kumuh, kotor, bau, dan jauh dari kemawahan kehidupan kota. Lihat saja apa yang terjadi di tempat pembuangan akhir (TPA) Babakan di Desa Babakan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kawasan kumuh yang selama ini luput dari perhatian ini mencatatkan diri sebagai lokasi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) pertama di Indonesia.

Pembangunan PLTSa babakan secara resmi dimulai akhir Oktober lalu, ditandai dengan peletakan batu pertama. Proyek ini terwujud atas kerja sama Pemerintah Kabupaten Bandung, PT PLN (Persero) serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITB Bandung. PLN bertindak sebagai penyandang dana, dengan total investasi Rp 9,5 milyar. Dana itu diambil dari pos coorporate social responsibility (CSR).

Sedangkan LPPM ITB bertanggung jawab dalam mendesain si-stem dan teknologinya. Bila pembangunan sesuai jadwal, PLTSa Babakan bakal mulai beroperasi pada akhir tahun 2008. Kapasitas listrik yang dihasilkan sebesar 500 Kilo Watt (KW) per hari. Memang, jumlah ini boleh dibilang peunut atau kecil.

Andai saja satu rumah rata-rata memakan listrik 900 watt, maka PLTSa Babakan hanya bisa menerangi sekitar 550 rumah. Yang bisa merasakan manfaat paling sebagian warga Desa Babakan sendiri. Mengingat, dari 1.800 kepala keluarga (KK) warga desa, 800 KK di antaranya belum tersentuh listrik. Itu pun bukan berarti mereka bisa menikmati seluruh listrik yang dihasilkan.

Karena setrum itu sebagian akan dipakai untuk proyek pengomposan serta pengoperasian PLTSa sendiri. Namun, keuntungan PLTSa tidak bisa hanya dilihat dari listrik yang dihasilkan saja. Jauh lebih bernilai adalah proyek ini merupakan salah satu obat mujarab dalam mengatasi masalah persampahan, yang selama ini menjadi momok di mana-mana. Terutama di kota-kota besar.

Kota Bandung, misalnya, pernah dilanda ''bencana'' ketika seluruh pelosok menjadi lautan sampah menyusul penutupan TPA Leuwigajah akibat longsor yang menelan jiwa. Atau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang pusing tujuh keliling mencari tempat pembuangan sampah alternatif, ketika TPA Bantargebang -tempat selama ini sampah Jakarta bermuara-- bermasalah. Boleh dibilang social cost dari masalah sampah ini tak bisa diukur oleh uang.

Lewat PLTSa, seperti diutarakan Ir. Darmawan Pasek, Ketua LPPM ITB, berdasarkan penelitian, 90% dari sampah yang dibakar akan musnah. Sisanya akan berbentuk abu atas dan abu bawah. Artinya, bila seluruh sampah yang ada di perkotaan dijadikan bahan bakar pembangkit listrik, maka yang tersisa hanya 10% saja. Untuk PLTSa Babakan sendiri, volume sampah yang akan dimanfaatkan baru sekitar 30 hingga 50 ton per hari. Sedangkan total sampah yang dibuang ke TPA Babakan sebanyak 150 ton per hari. Rencananya, sisa sampah yang 100 ton akan digunakan untuk proyek pengomposan bekerjasama dengan PT Medco.

Melihat besarnya manfaat PLTSa, sangat beralasan kalau banyak daerah lain yang meliriknya. Bali, Yogyakarta, Kota Bandung, dan DKI Jakarta merupakan sebagian saja daerah yang berancang-ancang berlistrik ria lewat sampah. Malahan Kota Bandung akan menyusul tetangganya. Mereka menjadwalkan peletakan batu pertama PLTSa di Gedebage, Bandung, pada Desember ini.

Kapasitas sampah yang diolah pun sebanyak 500 ton per hari, atau 10 kali lipat dari PLTSa Babakan. Seperti juga Kabupaten Bandung, Pemerintah Kota Bandung menggandeng LPPM ITB untuk melakukan studi kelayakan dari proyek ini. Menurut Ari Darmawan Pasek, Ketua Tim Feasibilty Studies yang juga Ketua LPPM ITB, PLTSa Gedebage butuh investasi Rp 320 milyar.

Berdasarkan perhitungan, modal ini baru bisa kembali sembilan hingga 10 tahun pasca-beroperasinya pembangkit listrik. Sebuah perusahaan swasta sudah menyatakan tertarik menjadi investor sekaligus operator. Berdasarkan penelitian, dari 500 ton sampah yang diolah PLTSa Gedebage akan menghasilkan hampir 20 mega Watt. Namun untuk tahap awal, mereka mentarget hanya 10 MW.

Tak sekadar menyulap sampah menjadi listrik, PLTSa juga merupakan ujud nyata kepedulian terhadap lingkungan dunia yang saat ini sedang gencar mengampanyekan akan bahaya global warming atau pemanasan global. Sebuah ''bencana'' dunia yang diakibatkan oleh efek rumah kaca, dan berdampak pada perubahan iklim dunia. Efek rumah kaca ini, satu di antaranya disebabkan oleh pelepasan gas karbon dioksida (CO2) ke udara.

Gas ini pula yang dihasilkan oleh tumpukan sampah. Volumenya pun tak sedikit. Sampah Kota Bandung saja, berdasarkan hasil penelitian LPPM ITB, menghasilkan 300.000 ton CO2 per tahun. Bisa dibayangkan, berapa ton CO2 yang menjejeli langit dari total sampah se Indonesia. Nah, dengan dimanfaatkan sebagai bahan baku pembangkit listrik, emisi gas buang jadi nol.

Seiring dengan implementasi Protokol Kyoto, Desember 1997, yang mewajibkan negara industri maju memangkas 5,2 % produksi CO2 dunia, sukses menekan emisi gas buang CO2, seperti yang dihasilkan dari PLTSa, memberi keuntungan ''bonus'' yang bisa menghasilkan uang. Sebagai runtutan Protokol Kyoto, negara-negara industri maju yang belum bisa memenuhi kewajiban bisa menggantikannya dengan membeli karbon dari negara maju lainnya yang memiliki kredit karbon.

Kredit ini didapat bila negara tersebut berhasil menekan produk CO2 di atas batas kewajibannya. Sebagai gambaran gampang, sebuah industri petrokimia di negara A punya kewajiban menurunkan 1,5 juta ton CO2 per tahun. Namun dalam prakteknya, mereka hanya sanggup menekan 1 juta ton saja. Maka aka nada sisa kewajiban setengah juta ton.

Sementara itu, di negara B ada industri otomotif yang terkena kewajiban memangkas emisi gas buang 1 juta ton CO2 per tahun. Ternyata hasilnya melampaui target, CO2 yang ditekan mencapai 1,5 juta ton. Kelebihan setengah juta ton ini akan menjadi kredit. Nah, industri petrokimia bisa membeli kredit karbon dari pabrik otomotif, sehingga seluruh kewajibannya tertutupi. Adapun mengenai harga karbon, ditentukan berdasarkan lelang. Sebagai contoh Hungarua berhasil melelang 1,3 juta ton kredit karbon seharga 9,42 euro per ton.

Belanja kredit karbon bisa juga dilakukan ke negara-negara berkembang, yang tidak terkena kewajiban Protokol Kyoto lewat jalur CDM (clean development mechansim). Di sinilah peluang PLTSa meraup bonus. Ambil saja contoh 300.000 ton CO2 per tahun yang berhasil diredam PLTSa Gedebage.

Calon investor menargetkan Rp 18,9 milyar per tahun bisa diraup dari hasil penjualan karbon itu. Sebuah jumlah yang tidak sedikit. Bahkan bisa melambung bila harga lelang karbon sedang membubung. Anggap saja satu ton dihargai US$ 10. Maka PLSa Gedebage bisa meraup keuntungan dari penjualan karbon sebesar US$ 3 juta atau sekitar Rp 27 milyar.

Itu baru bicara dari sisi ''angin surga''-nya. Sebab banyak kalangan penggiat lingkungan hidup khawatir terdapat efek samping kerusakan lingkungan lainnya yang ditimbulkan oleh PLTSa. Hal yang paling ditakutkan adalah melimpahnya dioksin dan gas asam yang diakibatkan oleh pembakaran sampah. Kedua limbah ini sangat membahayakan bagi kesehatan dan lingkungan kota.

Dioksin merupakan sebutan untuk sekelompok zat-zat kimia berbahaya yang termasuk ke dalam golongan senyawa CDD (chlorinated dibenzo-p-dioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan) atau PCB (poly-chlorinated biphenyl). Ada ratusan senyawa yang termasuk dioksin. Salah satunya yang paling beracun adalah TCDD (2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin).

Senyawa-senyawa dioksin mempunyai struktur kimia yang sangat stabil dan bersifat lipofilik atau tidak mudah larut dalam air namun mudah larut di dalam lemak. Karena kestabilan strukturnya ini, maka dioksin tidak mudah rusak atau terurai. Dioksin dapat berada di dalam tanah dan terakumulasi sampai 10-12 tahun. Karena bersifat lipofilik, maka diaoksi dapat terakumulasi dalam pangan yang punya kadar lemak tinggi. Misalnya, susu, daging (sapi, babi maupun unggas), mentega, keju, telur bahkan ikan.

Masuknya dioksin ke tubuh manusia bisa secara langsung lewat udara dan air ataupun lewat rantai makanan. Adapun ambang batas aman dioksin adalah 1-4 pikogram (sepertrilyun gram) per kilogram berat badan. Lebih dari itu, dioksin sangat berbahaya bagi kesehatan. Karena dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan yang serius.

Dari beberapa penelitian baru-baru ini diketahui bahwa dioksin merupakan salah satu penyebab utama penyakit kanker yang mematikan. Selain itu, dioksin juga dapat menyebabkan kanker prostat dan kanker testis, chloracne (penyakit kulit yang parah disertai dengan erupsi kulit dan kista), peripheral neuropathies, depresi, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf, gangguan sistem imunitas atau pertahanan tubuh, gangguan proses pertumbuhan pada anak, dan lain-lain.

Dioksin juga dapat menyebabkan gangguan hormonal baik pada pria maupun wanita. Selain itu bisa mengganggu sistem reproduksi pria dan wanita, menurunkan jumlah sperma pada pria, dan menyebabkan gangguan pada kehamilan. Pada wanita dioksin dapat menyebabkan kanker payudara dan endometriosis, yakni jaringan selaput lendir rahim yang masih berfungsi tumbuh di luar rongga rahim.

Dioksin pun dapat menembus plasenta. Artinya, ibu hamil yang tercemar dioksin akan mengalirkan dioksin yang ada kepada bayi yang dikandungnya. Selain itu, dioksin juga dapat masuk ke dalam tubuh bayi melalui ASI. Sehingga bayi yang dikandung atau sedang disusui oleh seorang ibu yang tercemar dioksin, juga akan tercemar dioksin dan di kemudian hari dapat menderita gangguan-gangguan kesehatan seperti yang telah disebutkan tadi.

Yang lebih membahayakan, karena dioksin merupakan zat kimia yang bersifat sangat stabil, maka pencemaran dioksin dalam jumlah sedikit pun cukup berbahaya. Karena dapat menumpuk sedikit demi sedikit sampai suatu saat cukup banyak untuk dapat menyebabkan penyakit.

Memang sangat mengerikan efek yang ditimbulkan oleh dioksin dari hasil PLTSa. Meskipun demikian, bukan berarti dioksin yang dihasilkan dari pembakaran sampah tidak bisa dijinakan. Sebab, berdasarkan penelitain, ternyata dioksin itu dihasilkan dari hasil pembakaran bersuhu di bawah 800 derajat celsius. Lebih panas dari itu, dioksin akan nol.

Karena itulah, pembakaran sampah di rumah-rumah merupakan salah satu kontributor penghasil dioksin. Pada hal cara ini sudah biasa dilakukan oleh penduduk Indonesia. Sadar akan bahaya itu, di Amerika Serikat sudah lama berlaku larangan pembakaran sampah di pekarangan rumah.

Artinya, dioksin bisa ''dijinakkan'' jika pembakaran berlangsung pada suhu di atas 800 derajat celsius. Pada bebarapa PLTSa yang sudah beroperasi di beberapa negara, pembakaran berlangsung pada suhu di atas 800 derajat celsius. Bahkan bila sesuai rencana, seperti diutarakan tim pengkaji dari ITB, pembakaran di PLTSa Gedebage akan berlangsung pada suhu 900 hingga 1.200 derajat celsius.

Pada suhu sepanas ini, dioksin bisa langsung terurai. Selain lewat pemananasan sekitar 1.000 derajat celcius, dioksin pun dapat ''dicerna'' dengan menggunakan karbon aktif. Zat ini juga sekaligus berperan untuk menyerap uap merkuri dan gas CO. Dan pada hampir PLTSa, selalu ada proses ini.

Adapun buangan berupa gas bersifat asam, antara lain, HCL, H2S, Sox, VOC, HAP, PM10, dan PM2,5. Produksi gas asam yang berlebihan akan merusak lingkungan. Gas yang tersebar di udara dan larut dalam air, akan meningkatkan kadar asam pada air hujan. Selain merusak tumbuhan dan manusia, hujan berkadar asam tinggi bisa mempercepat tingkat korosi pada kendaraan.

Namun, masalah ini pun bukan berarti tak bisa dipecahkan. Sebab dalam rangkaian proses PLTSa, ada beberapa tahap yang bertujuan untuk menjinakan gas buang berbahaya ini. Antara lain lewat pengoperasian reaktor circulating fluidized bed (RCB). Setelah dialirkan ke reaktor ini, gas asam yang dihasilkan dari pembakaran sampah akan hilang.

Artinya, segala efek samping dari PLTSa bisa dijinakan oleh teknologi. Yang ada di depan mata justru sederet nilai lebih. Lewat PLTSa, masalah sampah pun bisa diubah menjadi berkah. Siapa yang akan menyusul torehan sejarah Desa Babakan?Hidayat Gunadi



Post Date : 22 November 2007