|
KOMPAS.com - Kendati sudah mendapat bantuan dana pembangunan jamban dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, tak banyak warga di Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah yang memanfaatkannya. Untuk buang air besar, mereka tetap melakukannya di sungai, sawah, atau kebun. Selama berpuluh-puluh tahun mereka melakukan kebiasaan tersebut tanpa menyadari perilaku itu sebenarnya mengundang penyakit. Penyakit diare misalnya, akrab dengan mereka. Menurut data Dinas Kesehatan Grobokan, pada tahun 2009 angka kejadian diare pada anak balita mencapai 12.379. "Setelah bertahun-tahun menggunakan cara pendekatan sistem subsidi atau pembangunan infrastuktur jamban, angka buang air besar ternyata tetap tinggi. Baru setelah dievaluasi di tahun 2008 diketahui bahwa kuncinya bukan infrastuktur tetapi perubahan perilaku," kata Eka Setiawan, manajer program WASH Plan Indonesia, di Grobokan, Rabu (5/12/12). Kemudian Plan Indonesia, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang peningkatan kualitas kesehatan dan hidup anak, bersama dengan pemerintah mulai menggiatkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di 149 desa dari total 153 desa di Grobokan. Fokus program STBM adalah menumbuhkan kesadaran setiap warga untuk membangun toilet sendiri. Akan tetapi, pendekatannya tidak lewat penyuluhan yang terkesan normatif, namun setiap kader di desa yang sebelumnya sudah dilatih aktif menyadarkan masyarakat akan rasa malu jika BAB sembarangan, atau jijik karena meminum air yang berasal dari sungai yang tercemar tinja. "Pada intinya kami berusaha menunjukkan sisi negatif dari BAB sembarangan," kata Arief Orbandi, dari kelompok kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Kabupaten Grobokan. Salah satu partisipasi aktif dari masyarakat misalnya dilakukan oleh Syafaat (64) dari Desa Sumur Gede, Kecamatan Godong, Grobokan yang mendapat gelar polisi tinja. Setiap subuh ia berkeliling kampung menyusuri sungai. Kegiatan itu dilakukan untuk mengetahui apakah ada warga yang BAB di sungai. Bila ia menemukan, ia lantas mengatur strategi supaya warga itu merasa tidak nyaman dan malu sehingga kapok BAB di sungai lagi. Syafaat adalah salah satu warga yang mendapat sosialisasi program STBM dari Plan Indonesia. Selain di Grobokan, kegiatan itu juga dilakukan di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Jawa Timur. Gencarnya program STBM mulai membuahkan hasil. Menurut Wakil Bupati Grobokan, Icek Baskoro, saat ini 149 desa dari 153 desa dinyatakan sebagai desa ODF (open defecation free) alias tidak lagi melakukan BAB sembarangan. "Sejak tahun 2008 sampai saat ini sudah 23.400 jamban yang dibangun secara mandiri oleh masyarakat. Kami targetkan sampai akhir tahun 2015 seluruh wilayah Grobokan sudah ODF, saat ini sudah mencapai lebih dari 90 persen," katanya dalam acara penutupan program STBM di Grobokan. Ia menambahkan, yang menarik dari program STBM adalah tidak membutuhkan dana besar seperti halnya pemberian subsidi pembangunan jamban. "Untuk membangun satu jamban diperlukan dana sekitar satu juta. Kalau satu desa ada 500 kepala keluarga maka pemerintah perlu menyediakan 500 juta untuk satu desa. Ini besar sekali. Dengan STBM hanya diperlukan 3-5 juta untuk program sosialisasi tetapi dampaknya lebih besar," katanya. Selain di Grobokan, STBM juga giat dilakukan di berbagai desa di seluruh tanah air yang dilakukan bersama pemerintah daerah dengan LSM dan masyarakat. Hingga akhir tahun 2014 ditargetkan 20.000 desa dapat menerapkan STBM. Grobokan bisa menjadi contoh betapa urusan buang air besar masih menjadi masalah di Indonesia. Tahun 2010, sebanyak 42 juta penduduk Indonesia masih melakukan BABS. Jumlah ini sudah turun dibandingkan tahun 2007 sebesar 71 juta. Lusia Kus Anna Post Date : 06 Desember 2012 |