Mengolah Sampah Tanpa Sisa

Sumber:Koran Jakarta - 09 Juni 2009
Kategori:Sampah Jakarta

Sampah yang menggunung berpotensi menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan dan berpotensi mengganggu kesehatan manusia. Dengan teknologi dryer anaerobic compost sampah dapat didaur ulang menjadi listrik, pupuk, dan briket.

Aktivitas serta pola konsumsi manusia kerap menghasilkan sampah. Runyamnya, seiring pertumbuhan penduduk, volume sampah juga tidak pernah menyusut. Beragam jenis sampah dihasilkan setiap harinya, mulai dari sampah organik yang dapat terurai oleh proses alam hingga sampah anorganik yang membahayakan lingkungan.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta pernah melansir data produksi sampah Jakarta mencapai 6.000 ton per hari dengan komposisi sampah sungai sebesar 2 persen, sampah dari pasar temporer 5,5 persen, dan sampah PD Pasar Jaya 7,5 persen.

Ada pula sampah industri sebesar 15 persen, sampah jalan dan taman 15 persen, serta sampah rumah tangga 58 persen. Sampah organik, seperti sisa makanan, sayuran, buah-buahan, kertas, dan kayu mencapai 65,05 persen. Sedangkan sampah nonorganik, seperti plastik, styrofoam, dan besi sekitar 34,95 persen.

Bepijak dari data itu tampak bahwa sebagian besar sampah kota berasal dari rumah tangga. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna. Selama ini, kebanyakan masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

Padahal, timbunan sampah dengan volume besar di TPA rentan menimbulkan masalah lingkungan, seperti pencemaran udara, air, dan tanah. Pencemaran tersebut juga berisiko mengganggu kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar area TPA. Pasalnya, sampah mengandung berbagai sumber penyakit. Belum lagi ditinjau dari sisi keselamatan, timbunan sampah yang sangat labil berisiko menyebabkan longsor yang bisa mengancam jiwa.

Sampah di TPA juga berpotensi melepaskan gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2). Berdasarkan kajian PT Gikoko Kogyo Indonesia, sebuah perusahaan pengolahan sampah, persentase gas metan yang dihasilkan dari sebuah TPA mencapai 40 – 50 persen, sedangkan karbondioksioda mencapai 31 persen.

Apabila kedua gas itu dibiarkan menguap begitu saja di alam bebas akan memicu terjadinya emisi gas rumah kaca. Seperti telah umum diketahui, gas rumah kaca memberikan kontribusi berarti dalam terjadinya pemanasan global.

Untuk mengantisipasi risiko-risiko itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana mengoperasikan teknologi pengolahan sampah yang dapat “menangkap” gas metan dan mengolahnya menjadi energi listrik.

Teknologi pengolahan sampah asal Jerman bernama dryer anaerobic compost itu rencananya akan dibangun di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), Ciangir, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Jawa Barat. Tempat pengolahan sampah itu memiliki luas lahan sekitar 98 hektare.

Volume sampah di TPST Ciangir diperkirakan berasal dari Jakarta dan Tangerang. Volume sampah dari Jakarta mencapai 1.500 ton per hari dan dari Tangerang sebanyak 1.000 ton per hari. Teknologi dryer anaerobic compost yang menganut prinsip daur ulang diperkirakan dapat mengolah 1.250 ton sampah per hari.

Sisa sampah akan diolah dengan menggunakan sistem sanitary landfill, yaitu membuang dan menumpuk sampah ke suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah tersebut, kemudian menutupnya dengan tanah.

Tim Adviser Pemprov DKI Jakarta, Sociq Suhardianto, menjelaskan program pengolahan sampah yang akan diterapkan di TPST Ciangir berpijak pada standar konvensi PBB mengenai perubahan iklim (UNFCCC), yaitu mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM).

Mekanisme tersebut mengatur tentang penurunan emisi gas rumah kaca yang melibatkan negara non-annex I (negara berkembang). Selain itu metode dan teknologi yang akan diterapkan di Ciangir disesuaikan dengan Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah.

Proses Kerja

Pengoperasian teknologi dryer anaerobic compost diawali dengan penimbangan sampah sesuai kapasitas mesin. Setelah itu sampah dibawa dengan menggunakan mesin pengangkut barang (conveyor) untuk disalurkan ke pembuka kantong sampah (bag breaker). Setelah sampai di tempat pengolahan, sampah berjenis logam dipilah dengan menggunakan overbelt magnet. Kemudian sampah dimasukkan ke dalam rotary screen untuk dipisahkan antara sampah organik dan anorganik.

Sampah organik kemudian disalurkan ke tabung reaktor biogas (digester) yang memiliki kapasitas 4.000 meter kubik. Lalu sampah diolah secara biologi (fregmentasi) dengan menggunakan mikroba. Proses biologi menggunakan mikroba berasal dari pengolahan tinja sebagai starter. Suhu dalam reaktor diatur dan dijaga supaya tetap stabil pada kisaran 40-50 derajat celcius.

Setelah itu, proses fregmentasi berlangsung di dalam tabung reaktor selama 15 hari. Gas metan dari hasil fregementasi tersebut kemudian disalurkan ke sebuah tabung untuk ditampung sementara. Selanjutnya gas metan dimanfaatkan sebagai bahan bakar gas engine untuk menggerakan generator pada mesin tenaga listrik. “Sampah seberat 1 ton diperkirakan akan menghasilkan listrik berdaya 1 mega watt,” kata Sociq. Rencananya listrik dari hasil pengolahan sampah itu akan dijual ke Perusahaan Listrik Negara dengan harga pasar.

Selain memanfaatkan gas metan untuk dijadikan sumber listrik, teknologi dryer anaerobic compost juga dapat mengolah ampas sampah organik menjadi bahan baku kompos atau pupuk organik. Sebelum digunakan untuk memupuk tanaman, kompos terlebih dahulu mengalami proses pematangan (maturasi) selama satu pekan untuk menghilangkan mikroba patogen. Selanjutnya, dilakukan proses screening kompos untuk memisahkan kompos halus dan kasar sesuai dengan kebutuhan pasar.

Menurut Sociq, setelah kompos dipisahkan dalam bentuk setengah jadi, proses pengolahan berikutnya akan diserahkan kepada masyarakat Ciangir. Rencananya, masyarakat setempat akan dibagi ke dalam 56 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari lima sampai tujuh orang untuk mengoperasikan setiap mesin pembuat pupuk yang bisa memproduksi pupuk lima ton per hari. “Jadi apabila harga pupuk organik per kilonya 300 rupiah, setiap kelompok dalam seharinya bisa mendapatkan 1,5 juta rupiah,” kata Sociq.

Pengolahan sampah tidak terbatas pada sampah organik. Sampah anorganik didaur ulang menjadi briket atau refuse derived fuel (RDF). Sampah anorganik seperti botol minuman plastik atau benda plastik tebal yang mungkin didaur ulang dikemas dalam bentuk kotak dengan mesin press. Sedangkan sampah yang mudah terbakar atau plastik tipis berupa bungkus makanan diolah dengan mesin pellet untuk dijadikan RDF. ”Dengan demikian semua sampah yang masuk dalam mesin dryer anaerobic compost tidak akan menghasilkan sisa lagi,” ujar Sodiq.

Pengolahan sampah sebanyak 1.000 ton per hari dengan menggunakan mesin dryer anaerobic compost paling tidak membutuhkan dana 30 juta dollar AS. Penerapan teknologi itu akan mendapatkan insentif dari negara-negara industri yang menandatangani kesepakatan Protokol Kyoto (Anex 1). Pasalnya, dalam pengolahan sampah berteknologi dryer anaerobic compost diketahui adanya upaya mengurangi gas metan. Teknologi tersebut telah diaplikasikan di beberapa negara, di antaranya Jerman, Belgia, Korea, Jepang, Italia, Austria, dan Spanyol. warso



Post Date : 09 Juni 2009