Mengolah Sampah Sesungguhnya Tidak Rumit

Sumber:Suara Pembaruan - 21 Juni 2007
Kategori:Sampah Jakarta
Persoalan sampah seolah tak habis-habisnya. Penangannya kerap kali menimbulkan banyak pro dan kontra. Bahkan, tak jarang menjadi pemicu bentrokan fisik.

Kita masih ingat bagaimana munculnya bentrokan warga dengan aparat kepolisian di kawasan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Bogor. Kota Bandung juga pernah menjadi lautan sampah.

Kita juga belum lupa atas bencana longsornya gunung sampah di Bantar Gebang maupun di Cirendeu, Leuwigajah, Cimahi, yang menelan lebih dari 100 korban meninggal. Selain itu, banyak lagi persoalan yang muncul karena sampah.

Pemerintah daerah hingga pemerintah pusat pun, dibuat repot dalam mengurusi masalah sampah. Sampai sekarang, belum terlihat upaya jitu menanggulanginya.

Persoalan sampah diprediksi banyak pihak akan makin serius, karena produksi sampah yang terus meningkat, sedangkan sejumlah daerah menolak dijadikan tempat pembuangan sampah, meski di balik itu ada nilai bisnis yang bisa diperoleh. Sementara kota besar, seperti Jakarta, hampir tidak memiliki lahan untuk dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA).

Lahan yang dibeli Pemprov DKI di Desa Ciangir, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang seluas 100 hektare, juga tak bisa digunakan karena penolakan warga setempat. Bahkan, berimbas pada penutupan TPA Serpong karena warga keberatan.

Tak hanya itu, di kawasan Pondok Cabe, Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang warga menolak keberadaan mesin pemusnah (incinerator) sampah karena khawatir mencemari lingkungan. Masih di Kabupaten Tangerang, warga yang menolak kehadiran TPA Muncang Mauk dan TPA liar di Desa Babakan, Kecamatan Cisauk. Padahal, produksi sampah di wilayah Tangerang mencapai 6.000 m2 setiap hari.

Bukan Momok

Dari berbagai persoalan yang timbul, menunjukkan bukan perkara mudah mengolah sampah dalam jumlah besar. Namun, kekhawatiran itu tampaknya tak berlaku untuk warga yang bermukim di kawasan perumahan Bumi Serpong Damai (BSD) City.

Pengelola perumahan elite ini, sudah mengantisipasi peningkatan produksi sampah dengan membangun Instalasi Pengolahan Kompos PT BSD di Jalan Raya Pahlawan Seribu, Serpong, Kabupaten Tangerang.

Instalasi yang berfungsi sebagai TPA ini, mengolah sampah dengan benar sehingga bisa digunakan sebagai kompos. Secara ekonomi, sangat menguntungkan dan bukan momok yang menakutkan.

Pengembang sedari awal menyadari, jika tidak dikelola dengan baik, sampah bisa menjadi bom waktu, yang akan meledak sewaktu-waktu karena menimbulkan bau yang tidak sedap.

Bisa jadi, air di rumah penduduk tercemar karena air fermentasi dibiarkan langsung ke tanah. Tumpukan sampah juga bisa menimbulkan berbagai penyakit dan pastinya merusak keindahan dan kenyamanan sebuah kota.

Menurut Stephanus Budi, Kepala Instalasi Pengolahan Kompos BSD City, sampah bukan hal yang perlu dijauhi. Jika dikelola dengan aman justru menghasilkan uang.

Sistem pengolahan sampah cukup sederhana. Terlebih dahulu dipisahkan sampah organik dan nonorganik. Pemisahan dilakukan oleh warga sekitar.

Dalam sehari rata-rata, kata Stepahnus, sampah yang bisa diolah di lahan 2,8 hektare ini mencapai 50 hingga 80 m3. Semuanya dihasilkan warga perumahan BSD, baik berasal dari rumah tangga, pasar, maupun sampah hasil pemotongan tumbuhan yang ada di sekitar BSD.

Tidak semua sampah langsung diolah, karena sebagian diambil oleh pemulung. Misalnya sampah plastik, kardus, dan sebagainya, atau sekitar 20 persen produksi sampah.

Setelah dipisah, sampah-sampah itu baru diolah dan dijadikan kompos dan abu, dengan perincian 60 persen kompos dan 10 persen abu. Sementara yang 10 persen habis dalam pembakaran.

Tenaga kerja yang dibutuhkan sebanyak 30 orang. Mereka berkerja dalam dua shift, baik petugas lapangan maupun petugas keamanan.

Hanya saja pengolahan sampah ini membutuhkan waktu yang cukup lama, rata-rata mencapai empat bulan untuk sampah sampai menjadi kompos.

Pertama-tama sampah-sampah organik dicacah dengan mesin dan kemudian diaduk berulang-ulang.

Dalam proses ini, sampah dibiarkan sekitar sebulan dan disiram EM4, sejenis zat kimia untuk menghilangkan bau pada sampah.

Setelah itu, sampah didiamkan dan ditutup dengan plastik sehingga terjadi proses fermentasi. Sampah kasar itu kemudian difilterisasi. Setelah empat bulan, kompos sudah jadi. Sebelum dipasarkan, kompos diayak dulu dan kemudian dikemas dalam plastik berbagai ukuran, mulai dari 5 kg hingga 40 kg.

Sedangkan sampah yang tidak bisa dijadikan kompos, dimusnahkan dengan menggunakan mesin incinerator. Hasilnya berupa abu, juga tidak dibuang percuma karena bisa menjadi media tanam, dengan terlebih dahulu didiamkan beberapa bulan untuk mengurani kadar besi (Fe) hingga kadarnya mencapai titik normal.

Dari hasil pengolahan sampah ini, ungkap Stephanus, pihaknya bisa menghasilkan 5 hingga 10 ton pupuk kompos, yang dijual ke konsultan landscape untuk perawatan taman dan pohon, yang berada di jalan maupun lingkungan perumahan. Sebagian lagi dijual ke pihak ketiga, seperti koperasi dan pengusaha pertamanan.

Menarik

Proses pengolahan sampah menjadi kompos di BSD City ini, banyak menarik perhatian pejabat dari berbagai daerah, bahkan dari negara jiran. Seperti Wali Kota Batu Pahat Malaysia, yang sengaja datang untuk melihat proses pembuatan kompos ini.

Belajar dari apa yang dilakukan BSD City, semestinya pengolahan sampah di lingkungan terbatas, seperti perumahan, bisa disediakan pengembang besar lainnya. Paling tidak bisa mengurangi volume sampah yang harus dibuang ke TPA, yang kapasitas tampungnya kini makin menyusut.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberikan subsidi khusus bagi pengembang untuk membangun fasilitas pengolahan sampah, karena hal ini juga sangat membantu. Untuk mewujudkannya, perlu payung hukum agar pengolahan sampah lingkungan ini tidak menimbulkan masalah baru.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar menjawab SP dalam diskusi terbatas di Radio Petra, Jakarta, beberapa waktu lalu mengakui, perlunya payung hukum untuk masalah pengolahan sampah di lingkungan perumahan. "Apa yang dilakukan BSD, bisa jadi contoh dilakukan pengembang lainnya, namun kita perlu payung hukum dulu sehingga tidak menimbulkan masalah baru," kata Witoelar.

Kalau bisa diwujudkan, masyarakat tak perlu khawatir terjadinya penumpukan sampah, pemerintah pun tak perlu repot. (SP/Dewi Gustiana)



Post Date : 21 Juni 2007