|
Setiap 500 ton sampah yang diolah akan mengeluarkan daya listrik antara lima sampai enam megawatt. Sebutan sampah kedengarannya kurang sedap, bernada melecehkan, terkesan barang yang jorok, dan hal-hal lain yang tidak mengenakkan. Tetapi, pernahkan membayangkan, tumpukan sampah tersebut bisa menghidupkan televisi, kulkas, menyalakan lampu, dan lain-lain? Jangan menganggap itu sekadar khayalan belaka. 'Mimpi' menjadikan sampah sebagai sumber energi itu sebentar lagi akan diwujudkan di empat wilayah pemerintahan tingkat II di Bali. Mereka akan 'menyulap' sampah menjadi barang berharga dan tidak bisa disepelekan. Bekerja sama dengan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI), Pemkot Denpasar, Pemkab Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) akan membangun instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST). Sampah-sampah yang tadinya menjijikkan akan diolah menjadi energi listrik. Proyek ini dapat menjawab dua hal sekaligus. Pertama, menyelesaikan masalah tempat pembuangan akhir sampah (TPA) yang lahannya kian terbatas dan dianggap mencemari lingkungan. Kedua, menghasilkan energi listrik untuk memenuhi suplai daya listrik di Bali yang kian pas-pasan. Rencananya, kata Kepala Proyek IPST di Bali, Bernt H Bakken, pertengahan Februari 2005 ini proyek itu akan dimulai, diawali dengan kegiatan peletakan batu pertama. Setelah itu akan dilakukan pembuatan jalan di lingkungan IPST dan pada akhir 2006 proyek ditargetkan sudah menghasilkan energi listrik sebesar sembilan sampai 10 megawatt. "Kita sudah berpengalaman di beberapa negara dengan proyek yang sama," kata Bernt beberapa waktu lalu. IPST akan dibangun di TPA Suwung, Denpasar, dengan mengambil lokasi sekitar enam sampai 10 hektare. Areal seluas itu, terbilang masih kecil, bila dibandingkan dengan luas lokasi TPA Suwung yang mencapai 40 hektare. Untuk menggunakan kawasan TPA itu pemerintahan Sarbagita, sudah mengantungi izin dari menteri kehutanan, yang memang berwenang atas kawasan hutan bakau itu. Teknologi yang digunakan dalam instalasi ini menggunakan teknologi yang terbilang canggih, yakni teknologi yang dapat mengubah sampah menjadi energi listrik. Sesuai dengan kemampuannya, setiap 500 ton sampah yang diolah, akan mengeluarkan daya listrik antara lima sampai enam megawatt. Diperkirakan, setiap harinya sampah-sampah dari kawasan Sarbagita mencapai 700 hingga 800 ton. Teknologi GALFAD yang diterapkan dalam pengelolaan sampah itu, dapat mengolah sampak organik dan nonorganik (plastik, kayu, dan kertas). Dalam proses pengolahan terlebih dulu akan dilakukan pemisahan dan pemilahan sampah tersebut sebelum dimasukan dalam mesin. Kemudian, pengolahan sampah dalam mesin akan dilanjutkan dengan penyaluran ke mesin satu sama lainnya untuk nantinya dapat menghasilkan energi listrik. Pembangunan IPST di TPA Suwung, akan dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, penataan dan memperbaiki lingkungan yang kumuh menjadi tidak kumuh. Kedua, membuat jalan setapak untuk memudahkan arus jalan pekerjaan. Ketiga, penyerapan tenaga kerja baik untuk pemisahan dan pemilahan sampah, sampai akhirnya pada pemerosesan sampah menjadi energi listrik. Sebenarnya masalah penanganan sampah, sudah lama menjadi pemikiran pemerintah tingkat II di Bali. Mereka memikirkan, bagaimana 'mengenyahkan' sampah, yang semakin hari jumlah semakin banyak. Apalagi TPA Suwung Denpasar, yang letaknya di jalan utama dari Sanur menuju Nusa Dua, dikawatirkan bisa mengganggu citra pariwisata Bali. Karena itu, Pemprov Bali bersama pemerintah Sarbagita, sekitar awal 2000 pernah merencanakan untuk memindahkan TPA Suwung ke Kabupaten Tabanan. Namun, hal itu ditentang oleh masyarakat setempat. Akhirnya, mulailah didiskusikan bagaimana mencari solusi permasalahan sampah di kawasan itu. Bersamaan dengan hal tersebut, sekitar 15 investor mengajukan proposal dan lima di antaranya yang diminta untuk memberikan presentasi. ''Akhirnya kami memutuskan untuk memilih PT NOEI sebagai investor, karena tekonologi yang digunakan sangat canggih dan dia juga bersedia memberikan fee kepada pemerintah Sarbagita,'' kata Ketua Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita, Made Sumer, yang juga wakil bupati Badung. Pemerintah Denpasar dalam mengelola sampah, pada tahun anggaran lalu, menganggarkan dana sebesar Rp 2,8 milyar per tahun. Anggaran sebesar itu, masih belum cukup untuk menutupi biaya pengelolaan sampah di TPA. Akibatnya yang terjadi selama ini adalah, baru memindahkan masalah sampah dari kampung-kampung atau rumah-rumah penduduk ke TPA. Karenanya, IPST yang akan segera diresmikan, diharapkan bisa menjadi solusi dalam mengatasi persoalan sampah di Bali. Proyek ini yang disebutkan Bern akan menggunakan banyak tenaga kerja untuk pemilahan sampah organik dan nonorganik, diharapkan bisa menjadi peluang bagi para pencari kerja. (Ahmad Baraas) Post Date : 07 Februari 2005 |