Mengolah Sampah Berstandar Dunia

Sumber:Koran Jakarta 25 Mei 2009
Kategori:Sampah Jakarta

Perjuangan Tim Adviser Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Sociq Suhardianto, masih belum menemukan titik terang. Padahal, dia sudah menjelaskan konsep tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Ciangir dalam setiap kesempatan dengan para petinggi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang maupun warga Ciangir.

Bahkan, untuk meyakinkan warga Ciangir, tim adviser telah mengajak warga Ciangir melakukan studi banding masalah sampah di Bali dan Pondok Gede. “Mereka masih khawatir bakal ada sisa pengolahan sampah yang akan menumpuk hingga menimbulkan dampak negatif lingkungan, seperti pencemaran udara, air, dan tanah,” ujar Sociq.

Pemkab Tangerang maupun warga, lanjut Sociq, seharusnya tidak perlu khawatir tentang penumpukan sampah. Sebab TPST Ciangir bukanlah tempat pembuangan sampah akhir, melainkan tempat sampah akan diolah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.

Pengolahan sampah pun sebagian besar akan dilakukan secara pabrikasi dengan teknologi yang sengaja didatangkan dari Jerman. Sedangkan program yang akan diterapkan juga telah memenuhi standar konvensi PBB mengenai perubahan iklim (UNFCCC) yaitu mekanisme pembangunan bersih.

Sociq menjelaskan teknologi pengolahan sampah menggunakan metode sanitary landfill. Gas metan yang dihasilkan timbunan sampah dimanfaatkan untuk menggerakan turbin Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Karena volume sampah di TPST Ciangir diperkirakan 1.500 ton per hari dari Jakarta dan 1.000 ton per hari dari Tangerang, maka daya listrik yang dihasilkan sebesar 15 megawatt.

Penerapan teknologi itu juga akan mendapatkan insentif dari negara-negara industri yang menandatangani kesepakatan Protokol Kyoto (Anex 1). Pasalnya, ada upaya mengurangi gas metan yang dapat menimbulkan pemanasan global. “Oleh sebab itu, proyek ini akan mendapatkan pengawasan langsung dari fasilitator independen,” ujar Sociq. Jika proyek ini ternyata menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti polusi air, polusi udara, dan polusi tanah, maka tidak akan mendapatkan insentif lagi.

Kata Sociq, TPST Ciangir juga akan digunakan untuk memproduksi pupuk organik. Teknologi yang digunakan bernama dryer anaerobic compost. Sedangkan nama program pembuatan pupuk itu adalah pengolahan sampah dengan teknologi tinggi berbasis masyarakat. Warga Ciangir akan diberikan bekal pengetahuan dan pelatihan untuk dapat mengolah sampah secara mandiri menjadi pupuk organik.

“Rencananya, akan dibentuk 56 kelompok yang terdiri atas lima sampai tujuh orang untuk dapat mengoperasikan setiap mesin pembuat pupuk,” ujar Sociq. Selain itu, TPST Ciangir juga akan menghasilkan briket. Pengolahannya pun akan diserahkan kepada masyarakat dengan mesin buatan anak negeri sendiri. Sedangkan hasil dari pengolahan pupuk maupun briket tersebut akan dibantu pemasarannya oleh pihak ketiga yang bakal memenangi tender TPST Ciangir.

Sesuai Standar

Menanggapi konsep TPST Ciangir, Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Limbah Domestik dan Usaha Skala Kecil Kementrian Lingkungan Hidup, Sony Tri Bangun, berpendapat apa pun metode dan teknologi yang akan diterapapkan di Ciangir, sejatinya harus sesuai dengan Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah.

Pengolahan sampah harus dilakukan dari hulu sampai hilir. Artinya, mulai dari tingkat rumah tangga maupun komunal (pasar), sampah sudah diolah dengan cara memilahnya antara yang organik dan non-organik. Kemudian sampah dapat diolah menjadi pupuk organik. Sedangkan sisanya bisa diangkut untuk dibuang ke pembuangan akhir. Sehingga pada ujungnya, sampah tidak akan membebani di satu titik saja.

Oleh sebab itu, kata Sony, selain teknologi pengolahan sampah itu memang perlu diadakan, tidak kalah penting adalah upaya menyadarkan masyarakat. “Sampah adalah tanggung jawab bersama,” tandas Sony. Bila semua memahami sampah adalah tanggung jawab bersama, maka tidak akan ada lagi masalah yang disebabkan oleh sampah.

Kepala Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) Kabupaten Tangerang Heri Heriyanto mengungkapkan Pemkab Tangerang tidak menolak keberadaan TPST Ciangir. Dengan catatan, tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, tidak menyalahi aturan tata ruang, dan menguntungkan warga sekitar. “Sampai saat ini, masih dilakukan kajian teknis, ekonomi, lingkungan, dan hukum,” ujar Heri.

Kajian teknis, kata Heri, sangat diperlukan mengingat pemilihan teknologi mutakhir yang tepat untuk mengolah sampah tentunya tidak akan menimbulkan masalah baru. Namun yang jadi masalah saat ini adalah penentuan teknologi untuk mengolah sisa sampah setelah dimanfaatkan untuk tenaga listrik, pupuk organik, dan briket.

Sedangkan kajian ekonomi masih diperhitungkan seberapa besar keberadaan TPST Ciangir ini akan dapat memberdayakan warga di sekitarnya. Soal kajian lingkungan, seberapa besar dampak TPST tersebut akan menimbulkan pencemaran udara, air, dan tanah. Tidak kalah penting dengan kajian lainnya adalah kesepakatan kerja sama kedua pemerintahan.

Oleh sebab itu, lanjut Heri lagi, masih jauh bila membicarakan tender atau kapan proses pengolahan TPST Ciangir dimulai. Urutannya, setelah berbagai kajian selesai, masih harus ada nota kesepakatan antara Pemkab Tangerang dan Pemprov DKI Jakarta. Lalu, kedua pihak mengajukan nota kesepakatan tersebut kepada Dewan. Kemudian, kedua pemerintahan membuat perjanjian. Terakhir, dilaksanakan tender. “Proses ini tidak akan selesai dalam satu tahun,” tukas Heri. warso



Post Date : 25 Mei 2009