Menghuni Loteng Karena Banjir Cieunteung

Sumber:Pikiran Rakyat - 15 Februari 2010
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

GUYONAN bernada satire yang dikeluarkan Jaja, Ketua RW 20 Kp. Cieunteung, Kel./Kec. Baleendah, Kab. Bandung, mungkin ada benarnya. Bagi masyarakat Kp. Cieunteung, banjir menjadi semacam "ritual" setiap musim hujan.

"Kalau hari ini banjir surut 20 cm, besok bisa-bisa pasang 50 cm," katanya. Hal tersebut mengakibatkan ratusan warga kerap menghuni lokasi pengungsian. Meskipun demikian, ratusan warga lain tetap memilih tinggal di rumah yang tergenang banjir, dengan terpaksa menghuni loteng.

Kepala SDN Mekarsari Yuni Purnama bahkan pernah mencatat. Hingga awal November 2009, sekolah yang terletak di Jln. Mekarsari (jalan utama Kp. Cieunteung) tersebut pernah kebanjiran 219 kali. Hal tersebut membuat aktivitas belajar sekitar 340 siswanya hanya benar-benar efektif ketika musim kemarau.

Kampung Cieunteung merupakan daerah yang rawan banjir karena berdekatan dengan Sungai Citarum dan berupa daerah cekungan, dengan posisi 658 meter di atas permukaan laut (mdpl) atau lebih rendah dari daya tampung sungai, yaitu 659,3 mdpl. Akibatnya, daerah tersebut sudah tergenang air meski air belum limpas dari badan sungai.

Relokasi

Keadaan tersebut sempat membuat ratusan warga korban banjir di Kec. Baleendah dan Dayeuhkolot, direlokasi ke Kp. Riunggunung, Kel. Manggahang, Kec. Baleendah, pada awal dekade 1980-an. Salah seorang penduduk asli Kp. Cieunteung, H. Endang Rahmat Hidayat (67), yang pada masa itu menjabat sebagai Ketua RT 3 RW 8 (sekarang RW 20 Kp. Cieunteung) menuturkan, relokasi tersebut berlangsung secara sukarela, tanpa ada kejelasan status dari pemerintah.

"Warga diminta mendaftar, lalu disuruh melihat ke sana. Ternyata di sana masih merupakan hutan dan batu, susah ditempati. Berkat bantuan pemerintah, lahan itu lalu diratakan. Warga diberikan tanah sekitar tujuh tumbak dan uang Rp 25.000 untuk membangun rumah, serta bahan bangunan berupa bilik dan tiang," ucap Endang.

Endang menuturkan, meskipun sudah diberikan lahan untuk relokasi, rumah atau tanah lama di lokasi asal tidak memiliki kejelasan kepemilikan.

Usai normalisasi Sungai Citarum pada akhir dekade 1980-an, Endang mengatakan, mulai banyak warga yang kembali ke rumah masing-masing. "Rumah di tempat relokasi ada yang dijual kepada pendatang, ada juga yang dibiarkan begitu saja. Warga kembali karena mengira sudah tidak banjir lagi setelah ada normalisasi tahun 1986," ujarnya.

Setelah lebih dari dua puluh tahun, permasalahan banjir ternyata masih menghantui ribuan warga. "Saya heran, dari sekian banyak orang pintar di Bandung, apa tidak ada yang bisa mengatasi banjir?" ucapnya lagi. (Endah Asih/"PR")



Post Date : 15 Februari 2010