Diperlukan waktu lama bagi bumi untuk memulihkan diri. Namun pencemaran dan pengurasan sumber daya alam yang dilakukan oleh manusia telah mengubah bumi dengan cepat dalam kurun waktu beberapa abad.
Isu pemanasan global yang dikhawatirkan sejak tahun 1992 pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, kini telah memberikan dampak yang nyata. Dalam beberapa tahun ini, gunung-gunung es di kutub utara dan kutub selatan telah mencair yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Bahkan pada tahun 2008 bongkahan es raksasa yang jumlahnya, ratusan bergerak dari Antartika menuju pulau-pulau di Selandia Baru. Jadi bukannya tidak mungkin bila air yang lebih dingin ini, mengakibatkan kenaikan permukaan air laut, merusak pola aliran arus air laut dan menyebabkan banjir di sejumlah Negara.
Sir Nicholas Stern mengatakan apabila dalam jangka 50 tahun mendatang gaya hidup manusia tidak berubah dalam bersikap terhadap alam dan lingkungan, bencana pemanasan global akan benar-benar terjadi.
Intergovermental Panel on Climate Change memperkirakan bahwa kenaikan suhu global akan berkisar 1.6o-4.2o Celcius pada tahun 2050 atau tahun 2070. (Fachruddin M. Mangunjaya - Bertahan di Bumi).
Dalam kenyataannya pemanasan global tidak hanya menyebabkan naiknya permukaan air laut, tetapi juga meluasnya kekeringan, menurunnya produksi pertanian, dan meningkatnya prevalensi berbagai penyakit yang terkait iklim, seperti malaria, diare, dan saluran pernafasan. Oleg Gordon Mc Grahanan dari International Institute for Environment and Development, Inggris menemukan bahwa sekitar 10% dari total penduduk bumi yang bermukim sekitar 10 meter dari pinggir pantai terancam akan tenggelam ketika es di kutub mencair akibat perubahan iklim. Jakarta, Makassar, Padang, dan beberapa kota di Jawa Barat akan tenggelam beberapa dekade mendatang, jika kita merujuk pada penelitian ini.
Sesungguhnya yang menjadi faktor utama penyebab pemanasan global adalah terlampau tingginya pengurasan sumber daya alam tanpa diimbangi dengan pemulihan ke keadaan semula. Para ahli lingkungan hidup meyakini bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh gaya hidup dan konsumsi manusia terhadap sumber daya alam yang tak terkendali. Gaya hidup konsumtif manusia telah mengubah permukaan bumi secara cepat dan nyata. Ini dikarenakan lahan-lahan yang seharusnya menjadi hutan, dialihfungsikan menjadi pemukiman, lahan pertanian, peternakan, dan pabrik-pabrik. Karena itu untuk memastikan perilaku manusia berdampak besar terhadap lingkungannya para ahli lingkungan telah melakukan penyelidikan melalui jejak ekologi. Yaitu suatu analisis yang menjelaskan gambaran bahwa gaya hidup manusia akan mempengaruhi dan mereduksi langsung kemampuan serta ketersediaan sumber daya alam.
Analisis ini memetakan kalau sesungguhnya tidak semua ekosistem di bumi, adalah ekosistem yang mendukung kehidupan manusia (padang pasir dan kutub es). Karena itu hanya ekosistem tertentu saja yang bisa memberikan dukungan kehidupan bagi manusia. Sayangnya di ekosistem yang terbatas inilah manusia mengeksplorasi sumber daya alam secara tak terkendali.
Jejak ekologi menjelaskan bahwa, pada tahun 2001 kapasitas kehidupan bumi hanya 11,3 miliar global hektar (gha). Rata-rata jejak ekologi tertinggi perkapita terdapat pada Negara Amerika Serikat (9,5 gha), Inggris (5,45 gha), Swiss (4 gha), lalu Indonesia (1,2 gha), dan yang terkecil adalah Bangladesh (0,5 gha). Pendekatan ini menunjukkan bahwa semakin kaya suatu negara, maka semakin besar jejak ekologi mereka dalam menguras sumber daya alam di bumi (Fachruddin M. Mangunjaya - Bertahan di Bumi).
Melihat begitu luasnya dampak pemanasan global bagi seluruh kehidupan di bumi, maka ada baiknya bila seluruh kalangan segera memulai upaya untuk mengatasinya. Selama ini, dikenal ada dua upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Mitigasi atas perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, ini dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil di berbagai sektor, dan berlatih diri untuk berperilaku hemat serta mengurangi pemakaian barang-barang sekali pakai. Sedangkan adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan upaya penyesuaian yang dilakukan manusia untuk menanggapi perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi akibat perubahan iklim.
Sayangnya, sampai saat ini usaha mitigasi dan adaptasi masih belum menunjukkan hasil yang maksimal. Belum lagi silih pendapat mengenai sejauh mana dan secepat apa efek yang akan dialami manusia dan dunia akibat perubahan iklim masih terus diperdebatkan. Para ilmuwan sendiri masih berbeda pendapat yang didasarkan pada hasil riset ilmiah dan peningkatan besadaran manusia terhadap kondisi lingkungan. Ada yang mengatakan bahwa skenario bencana lingkungan yang dikatakan selama ini tidak akan terjadi 100% karena perkembangan teknologi (mesin mobil hidrogen) dan kesadaran lingkungan akan membantu alam dalam menghadapi efek jelek polusi dari kegiatan manusia. Perdebatan antara siapa yang benar dan siapa yang dipersalahkan seakan menjadi agenda yang tak ada habisnya untuk dibahas. Timbul dan tenggelam, tetapi tidak berujung pada penyelesaian.
Dimulai dari Diri Sendiri
Hampir setiap hari, menjelang pukul 08.30 pagi, ruang Dharmasala Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di lantai 6 ITC Mangga Dua, terasa sunyi dan hening oleh alunan lagu beritme sedang. Beberapa bantal duduk bersarung putih, berbentuk segi empat telah terjajar rapi di ruangan berlantai kayu itu. Satu persatu relawan memasuki ruangan, duduk bersila, memejamkan mata, dan menunggu momen yang paling dinanti, yakni Ceramah Master Cheng Yen.
Ketika temaram lampu dipadamkan dan musik berhenti mengalun, saat itulah ceramah Master Cheng Yen dimulai. Master Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, mulai menaruh perhatian pada pelestarian lingkungan ketika ia dalam perjalanan mengunjungi Master Yin Shun di Taichung, Taiwan 20 tahun yang lalu. Di jalan dari Hualien menuju Taichung, Master Cheng Yen merasa miris melihat sampah bekas pasar malam yang berserakan di tepi jalan. Sejak itulah Master Cheng Yen mendorong usaha pelestarian lingkungan, merawat bumi, memilah sampah menjadi emas, dan emas menjadi cinta kasih, serta menyerukan gaya hidup ramah lingkungan. Mulai sejak itu pesan Master yang sederhana namun realistis menjadi inspirasi bagi banyak orang. Pesan itu telah menggerakkan ribuan orang untuk memilah sampah daur ulang, mengurangi konsumsi daging, dan kembali pada kebiasaan lampau, seperti membawa peralatan makan sendiri atau memakai tas ramah lingkungan di saat berbelanja.
Master Cheng Yen berprinsip, perubahan besar harus dimulai dari yang kecil, dan yang terkecil harus diawali dari diri sendiri. "Jadi, kita tak boleh memandang rendah hal-hal kecil dan meremehkan satu tindakan kecil. Kita dapat melihat ketika satu tangan bergerak, ribuan tangan akan mengikuti; satu mata memandang, ribuan mata turut melihat," kata Master.
Menurut Master Cheng Yen, bencana yang terjadi di mana-mana diakibatkan oleh ketidakselarasan antar 4 unsur alam: air, udara, tanah, dan api. "Bumi adalah tempat tinggal umat manusia. Bila bumi ini sehat, maka manusia akan hidup tenteram. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, saya sungguh merasa bahwa iklim tak bersahabat dan bumi terus dirusak. Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini terancam bahaya setiap saat. Karena itu manusia tak bisa hidup tenang. Ini dikarenakan manusia di zaman sekarang cenderung konsumtif dan hanya mengutamakan kesenangan pribadi. Orang-orang tak memikirkan konsekuensi dari semua kenyamanan yang mereka nikmati, yaitu sampah," terang Master Cheng Yen.
Karena itu dalam ceramahnya Master seringkali mengimbau agar semua orang bersedia mengubah gaya hidup yang konsumtif dengan gaya hidup hemat dan arif terhadap lingkungan demi kelangsungan bumi yang kian kritis.
Master Cheng Yen berpandangan bahwa kerusakan lingkungan lebih disebabkan oleh perilaku manusia. Oleh sebab itu untuk memulihkannya manusia harus memiliki cinta kasih terhadap bumi dan ketulusan untuk merawatnya. Menurut Master Cheng Yen, satu-satunya cara untuk memulihkan bumi adalah dengan tidak bergaya hidup konsumtif dan melakukan daur ulang. Tentunya semua itu harus benar-benar dipraktikkan bukan sekadar diucapkan. "Jika kita hanya berkata tapi tak melakukannya, itu takkan ada gunanya. Setelah memahami prinsip pelestarian lingkungan, kita akan tahu bagaimana cara mengurangi jumlah sampah, dan mendaur ulangnya sehingga dapat dipergunakan kembali," kata Master dalam ceramahnya.
Air Bagai Permata
Menjalankan hidup hemat dan ramah lingkungan sesungguhnya bukanlah semata-mata kebiasaan, melainkan tanggung jawab. Semua orang memiliki tanggung jawab yang sama. Ketika menikmati sumber daya alam, seseorang harus menyadari asal-usulnya dan juga menghargainya.
Air yang dianggap sebagai zat berlimpah di muka bumi sesungguhnya adalah sumber daya alam yang dapat habis dan sulit untuk diperbarukan. Selain udara dan cahaya matahari, air adalah energi yang sangat diperlukan oleh makhluk hidup di dunia sebagai sumber kehidupan.
Begitu pentingnya air bagi kelangsungan hidup, sampai-sampai masyarakat Desa Giriasih, Kabupaten Kidul, Kecamatan Purwosari, Yogyakarta, harus berjalan kaki mendaki bukit hanya untuk memperoleh sejeriken air di dasar Gua Pego.
Di tempat ini air tidak hanya sebagai penunjang kehidupan, tetapi lebih dari itu, air sudah dianggap sebagai sumber kemakmuran. Berlimpahnya air di musim penghujan menandakan waduk-waduk yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat akan terisi penuh dan kemungkinan terbesarnya adalah panen akan berhasil. "Kalau hujan ya, kami untung, tapi kalau nggak hujan kami nggak punya apa-apa," kata Sis Rersodongso, salah seorang petani berusia 70 tahun.
Berlimpahnya air hujan juga menandakan bahwa warga Giriasih tidak perlu lagi bersusah payah mengambil air di Gua Pego, sebab air bersih telah tersedia di bak-¬bak penampungan. Namun bila hujan tak kunjung datang dan kemarau mengerontangkan waduk-waduk serta bak penampungan, air kembali menjadi sesuatu yang amat berharga di tempat ini laksana permata.
Berbeda dengan kota-kota besar yang telah dilengkapi oleh jaringan infrastruktur memadai, orang hanya cukup membuka kran. dan air pun mengucur. Di Giriasih untuk mendapatkan sejeriken air bersih warga harus membayarnya dengan kerja keras. Dan itu telah menjadi tugas bagi sebagian wanita di desa ini. Satu diantaranya adalah Murjinem. Gadis muda berusia 25 tahun bertubuh mungil ini rutin mengambil air sebanyak 5 kali sehari di Gua Pego. Setiap fajar menyingsing dan senja menjelang, Murjinem sudah paham apa yang harus ia kerjakan. Berbekal sebuah jeriken berkapasitas 20 liter dan sehelai selendang batik, ia pergi menyusuri jalan desa berbatu kerikil menuju Gua Pego.
Murjinem yang sepanjang hidupnya mengerjakan tugas laki-laki dan merawat ibunya, tidak pernah mengeluhkan tentang nasib dan masa depannya. Satu¬-satunya harapan yang ia miliki adalah masuknya jaringan pipa air bersih hingga ke rumahnya. Tak lama kemudian harapan itu pun terkabul, Tzu Chi membantu pemasangan 3.151 meter jaringan pipa air bersih dari Gua Pego menuju rumah-rumah warga di Giriasih.
Gaya Hidup Hemat
Melihat begitu berharganya air di tempat-tempat yang kekurangan air membuat Ong Linda, relawan Tzu Chi He Qi Barat, tahu harus bagaimana menghargai air. Di rumahnya, air seolah-olah harus melalui proses penyaringan yang ketat sebelum akhirnya mengalir bebas ke selokan.
Beberapa tahun ini Ong Linda selalu mengusahakan gaya hidup hemat yang dimulai dari diri sendiri dan disosialisasikan kepada para tetangga dan teman-teman dekat. Ong Linda berkeyakinan bahwa gaya hidup hemat adalah cara terbaik untuk melestarikan lingkungan. Di rumahnya, air yang baru dikeluarkan dari kran tak akan terbuang sia-sia. Misalnya saja, air sisa pencucian sayur-¬sayuran dan buah-buahan ia gunakan kembali untuk mencuci peralatan makan atau membersihkan lantai teras.
Bahkan di saat musim penghujan, Linda tidak menganggap hujan sekadar air yang turun dari langit dan mengalir begitu saja. Setiap hujan turun Linda selalu menampungnya di sebuah wadah yang kemudian ia gunakan untuk mencuci motor atau kebutuhan rumah tangga. Selain memanfaatkan air hujan, Linda juga terbiasa menggunakan kembali air sisa pencucian pakaian untuk menyiram toilet. "Sekali menyiram toilet dengan tombol flush kita membutuhkan belasan liter air. Bila untuk menyiram toilet kita gunakan air bekas cucian, maka kita telah menghemat banyak air bersih," jelas Linda.
Ong Linda memang terlihat sangat serius dalam aktivitas pelestarian lingkungan. Tidak hanya air yang ia hemat penggunaannya, tetapi semua benda ia maksimalkan penggunaannya demi menjaga kelestarian bumi yang kian terancam. Untuk mengurangi sampah plastik, Linda selalu membawa sendiri tas belanja ramah lingkungan dan tiga buah kotak plastik yang akan dipakai sebagai wadah untuk menempatkan barang belanjaan yang bersifat basah. "Saya melihat di pasar banyak sekali orang menggunakan plastik. Sebetulnya penggunaan kantong plastik bisa dikurangi kalau kita mau membawa wadah sendiri," terangnya.
Seolah kembali pada kebiasaan masa lampau, Ong Linda selalu berprinsip menggunakan barang yang bersifat tahan lama dan menghindari pemakaian barang yang bersifat sekali pakai. Pemakaian tisu ia ganti dengan sapu tangan. Dan kain potongan sisa usaha konfeksinya ia kreasikan kembali menjadi tas-tas belanja ramah lingkungan. Tas kain berwujud cantik itu kemudian ia bagikan kepada beberapa orang sebagai usaha mensosialisasikan pengurangan pemakaian kantong plastik. Pada intinya, Linda beranggapan bahwa barang-¬barang yang masih layak pakai akan ia optimalkan penggunaannya sampai benar-benar tak lagi bisa dipakai dan harus didaur ulang.
Sama halnya dengan Ong Linda, Tjoeng Hasanudin, relawan Tzu Chi yang biasa disapa Po San sangat giat menjalankan gaya hidup ramah lingkungan. Siang itu bengkel otomotif yang berada di daerah Jelambar, Jakarta Barat, terasa sesak oleh konsumen dan mobil yang hendak diservis. Po San sang pemilik bengkel tengah sibuk mensosialisasikan perilaku ramah lingkungan kepada salah seorang konsumennya. Setiap kali konsumennya selesai bertransaksi, Po San selalu memberikan bonus berupa sabun cair pencuci kendaraan. Namun untuk mendapatkan hadiah itu si konsumen harus membuat kesepakatan pada Po San. Kesepakatannya adalah setelah sabun cair itu habis dgunakan maka plastik kemasannya harus dibuang ke tempat sampah. Selain itu, Po San juga meminta agar si konsumen selalu berhemat dalam pengunaan air dan plastik. Sebuah kesepakatan yang sederhana namun penuh dengan makna, bahwa kepedulian pada lingkungan harus dimulai dari diri sendiri.
Selain mensosialisasikan gaya hidup hemat, Po San juga giat mengumpulkan sampah daur ulang di tempat usaha dan lingkungan tempat tinggalnya. Dalam hal ini Po San selalu mengumpulkan sampah yang ia temukan dijalan dan membuangnya ke tempat sampah. Namun bila ia menemukan kantong-kantong plastik yang berkondisi baik, ia akan membersihkannya dan digunakan kembali di bengkelnya. "Setiap saya menemukan sampah di jalan, akan saya ambil dan saya buang ke tempat sampah. Semua karena saya cinta alam ini, cinta bumi ini," katanya.
Menurut Po San, menjalankan gaya hidup ramah lingkungan tidak hanya melindungi bumi dari pencemaran, tetapi juga memberikan manfaat yang sangat berharga bagi diri sendiri, yaitu kesehatan. Menggunakan tempat makan dan minum sendiri saat membeli makanan dan minuman di luar bukan saja mengurangi sampah plastik tetapi juga melindungi diri dari virus dan kuman yang hinggap di barang-barang yang tidak higienis. Po San berkeyakinan sikap hemat dalam setiap pemakaian barang dan perilaku ramah lingkungan adalah salah satu ungkapan dalam menyayangi alam semesta. "Sayangi alam, maka alam akan menyayangi kita," ungkapnya.
Setelah sekian lama menjalani gaya hidup ramah lingkungan, maka tak heran kalau keceriaan selalu menghiasi wajah Po San. Baginya melakukan pelestarian alam adalah salah satu cara dalam menemukan kebahagiaan yang tak terperi. "Bumi bagaikan ibu. Kalau kita menyayangi bumi sepenuh hati, maka kita akan mendapatkan balasan yang baik, yaitu jodoh yang baik," ujarnya.
Post Date : 01 Agustus 2010
|