Tanggal 22 April 2009 diperingati di seluruh dunia sebagai Earth Day atau Hari Bumi. Di Indonesia, Hari Bumi masih diperingati secara parsial dan kurang mendapat perhatian. Hari Bumi menandai hari lahirnya pergerakan kepedulian terhadap lingkungan. Lahirnya Hari Bumi diprakarsai oleh seorang senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson. Saat itu, ia memprotes secara nasional kalangan politik terkait permasalahan lingkungan. Ia mendesak agar isu-isu tersebut dimasukkan dalam agenda nasional.
Perjuangan Gaylord dimulai sekitar tujun tahun sebelum Hari Bumi pertama. Pada awalnya, Gaylord berharap pemikirannya tercapai melalui kunjungan Presiden Kennedy ke 11 negara bagian pada September 1963, namun dengan beberapa alasan, kunjungan tersebut tidak mampu membawa isu lingkungan ke dalam agenda nasional.
Setelah tur Kennedy, Gaylord melakukan kampanye di beberapa negara bagian. Di seluruh pelosok negara, bukti penurunan kualitas lingkungan terjadi di mana-mana. Saat itu semua orang menyadarinya, tapi kalangan politik justru bersikap tidak peduli.
Pada musim panas 1969, Gaylord mendengar aksi demonstrasi antiperang Vietnam telah menyebar secara luas melalui perguruan tinggi di seluruh Amerika Serikat. Dari sana ia memutuskan untuk melakukan hal yang sama, melalui kampanye lingkungan dan ia menggalang kalangan bawah ikut serta dalam aksinya itu.
Momentum peringatan Hari Bumi adalah saat terbaik untuk menggalakkan individu dan masyarakat agar lebih peduli terhadap pelestarian alam, yang terancam kelangsungannya oleh sikap manusia yang tidak sensitif terhadap bumi, sehingga mengakibatkan punahnya berbagai spesies flora dan fauna, polusi udara, air dan tanah, serta penipisan lapisan ozon.
Tema yang dominan diusung sehubungan dengan peringatan Hari Bumi, di antaranya, perubahan iklim global. Isu lain yang juga tak kalah pentingnya dan sepatutnya perlu direnungkan adaalah masalah air. Dengan perilaku manusia yang semakin tidak santun terhadap alam, maka dunia sesungguhnya semakin kekurangan air. Ironisnya, masalah air ini; walau kebutuhan dasar, cenderung hanya merupakan pokok pembahasan para pakar yang memang peduli pada persoalan ini.
Saking pentingnya isu air ini, United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, 1992 menetapkan Hari Air Sedunia dan sejak itu selalu dikeluarkan resolusi setiap tahun. Dan setiap negara anggota yang memperingati Hari Air diharapkan mau melaksanakan berbagai rekomendasi PBB menyangkut masalah ini dan berbagai kegiatan nyata sesuai kondisi masing-masing.
Apakah kita sudah memperlakukan air dengan baik? Liputan BBC News pekan lalu, mengutip Prof John Beddington, Chief Scientific Advisor untuk Pemerintah Kerajaan Inggris mengatakan, peningkatan jumlah populasi dunia akan menghasilkan dampak perfect storm (bencana yang sempurna) berupa kelangkaan pangan, energi, dan air pada 2030.
Dalam perhitungan Beddington -pakar bidang biologi populasi terapan di Imperial College, London- kebutuhan global yang demikian besar terhadap air akan memunculkan krisis pada 2030 dengan dampak yang mengerikan. Dia menghitung kebutuhan pangan dan energi akan naik 50 persen pada 2030 dan kebutuhan air baku (fresh water) naik 30 persen.
Gerakan Hemat Air
Saat itu jumlah penghuni bumi mencapai 8,3 miliar. Dia menyamakan situasi itu seperti krisis keuangan global yang kini dialami secara merata di seluruh dunia. Program Lingkungan PBB (UNEP) memprediksikan kelangkaan air akan mulai menyebar secara global di Afrika, Eropa, dan Asia pada 2025. Jumlah air yang bisa diperoleh per kepala akan menurun drastis pada masa itu.
Menurut laporan yang dirilis oleh World Wide Fund for Nature (WWF) di Inggris, setiap orang di negara itu memanfaatkan air secara langsung (makan, minum, mandi, cuci, dan lain-lain) sekitar 150 liter per hari. Namun, jumlah air yang dikonsumsi secara "virtual" (yang terkandung dalam makanan, pakaian dan berbagai benda lain) setara dengan 58 bak mandi air bersih setiap hari.
Kita di Indonesia mungkin tidak seperti berbagai pihak di atas dalam mengonsumsi air. Namun, idealnya kita juga ikut dalam barisan yang peduli terhadap gerakan hemat air. Dan, apakah kita sudah menghemat penggunaan air? Yang pasti, ke depan, air akan semakin sulit diperoleh. Saat ini, kita sudah merasakan gejala-gejalanya.
Dalam kaitan ini, ada baiknya kita mulai bertanya dan merenungkan, sudahkah kita menghargai air? Berapa banyak air yang kita sia-siakan begitu saja? Sudahkah kita berupaya menyimpan air dalam tanah dengan sumur resapan? Mari berjuang secara kolektif untuk kelestarian air agar kegembiraan tidak hilang dari wajah anak-anak kita pada masa depan.
Jannus TH Siahaan Mahasiswa Program S-3 bidang Sosiologi di Universitas Padjadjaran Bandung
Post Date : 29 April 2009
|