Mbah Rono (75) menciduk air dari lubang-lubang kecil di dasar telaga yang telah mengering. Ia sengaja membuat lubang tersebut untuk meraih air telaga yang telah bercampur lumpur. Setelah didiamkan lebih kurang satu jam, air telaga yang muncul dari lubang sedalam 30 sentimeter itu menjadi jernih dan siap digunakan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih.
Dengan gayung yang dibawa dari rumahnya di Dusun Temu Ireng II, Desa Girisuko, Panggang, Mbah Rono menggapai air jernih yang terendapkan di dasar Telaga Indro. Sebagian dari air jernih ini digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian di pinggir telaga. Sebagian ditampung dalam wadah jeriken, lalu dibawa pulang.
Di bawah rimbunan pohon beringin tepi telaga, Mbah Rono mandi hanya dengan air satu ember kecil. Air yang digunakan mandi itu sebelumnya sempat dipakai membilas cucian baju. Buih sisa detergen masih tampak di ember bekas rendaman baju. ”Saya berjalan kaki dari rumah selama setengah jam. Harus hemat air karena air kian mahal,” ujarnya, pekan lalu.
Meski mendung sesekali masih menggelayut, hujan deras tak lagi mengguyur wilayah Gunung Kidul sejak dua bulan terakhir. Air melimpah di Telaga Indro seluas 500 meter persegi itu telah menghilang sejak dua pekan terakhir.
Sembari mencari air, Mbah Rono sesekali berbincang dengan tetangganya, Rajikem (50). Rajikem juga mengais air di telaga untuk mandi dan mencuci. Beberapa pria tampak membawa pikulan jeriken air yang akan digunakan untuk memberi minum ternak-ternak sapi. Tiap warga biasanya bolak-balik mencari air di telaga hingga empat kali dalam sehari, sambil menunggu air di lubang mulai jernih.
Menurut mereka, warga tak lagi menggunakan air genangan telaga untuk air minum sejak memperoleh bantuan pembangunan bak penampungan air hujan dari pemerintah, beberapa tahun lalu. Tiap rumah di dusun tersebut sudah memiliki bak penampungan air hujan berkapasitas minimal 1.000 liter.
Mbah Rono yang tinggal sendirian setelah suaminya meninggal dunia mengaku air di bak penampungan hujannya masih tersisa separo. Dia mencoba terus menghemat air karena harga air di puncak musim kemarau bisa mencapai Rp 225.000 per 5.000 liter.
Berbeda dengan Mbah Rono, Rajikem mengaku tak lagi memiliki sisa tampungan air hujan. Mayoritas warga di Dusun Temu Ireng II telah membeli air dari mobil tangki keliling. Masing-masing sopir mobil tangki keliling telah menyuplai air bagi kebutuhan warga hingga lebih dari 40 kali bolak-balik menjual air pada kisaran harga Rp 100.000-Rp 250.000 per tangki isi 5.000 liter.
Upaya menghemat air menjadi satu-satunya pilihan. Apalagi, penjualan hasil bumi berupa panenan singkong pada tahun ini cukup mengecewakan. Harga singkong yang telah dijemur menjadi gaplek anjlok dari sebelumnya mencapai Rp 1.250 per kilogram di awal musim panen, kini hanya laku Rp 700 per kilogram.
Warga Dusun Temu Ireng II lainnya, Ponirin (50), mengatakan kualitas gaplek turun akibat terlalu banyak mendapat curahan hujan pada musim hujan lalu. Pergeseran musim hujan menyebabkan berat gaplek mudah menyusut karena tingginya kadar air. Limpahan air hujan tak sanggup disimpan oleh tanah di wilayah selatan Gunung Kidul, dengan kontur tanah yang berbatu dan didominasi perbukitan karst.
Dari ladang seluas hampir satu hektar, Ponirin memanen sekitar 1,5 ton gaplek dan memperoleh pendapatan sekitar Rp 1,2 juta. Untuk memanen singkong berusia hampir satu tahun di luasan tersebut, dia membutuhkan waktu hingga dua bulan karena tanah yang sudah mengeras.
Ponirin mengandalkan penjualan gaplek untuk pembelian air bersih karena panenan padi tadah hujan yang hanya 360 kilogram per tahun cuma sanggup memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Padahal, harga air bersih di lingkungan rumah Ponirin bisa mencapai Rp 250.000 di puncak musim kemarau. Mawar Kusuma
Post Date : 28 Juli 2009
|