Mengerem Sampah bukan Perkara Mudah

Sumber:Media Indonesia - 06 April 2011
Kategori:Sampah Luar Jakarta

SANGAT sulit menjadi negara zero waste,” gumam Iswanto, suatu malam di kediamannya, Desa Sukunan, Kelurahan Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Kesimpulan umum itu muncul setelah sembilan tahun pembina Paguyuban Sukunan Bersemi itu bersama war ganya mengelola dan mengolah sampah. Namun, kata Iswanto, sampai sekarang desanya belum juga bisa mengelola sampah hingga 100%. Artinya, masih ada saja yang harus mereka buang ke tempat pembuangan akhir di Piyungan, Kabupaten Bantul.

“Kami telah merintis sistem pengelolaan sampah mandiri berbasis masyarakat sejak 2003. Sampai sekarang, masyarakat Sukunan terus berusaha,” ujarnya.

Semula, sampah yang mereka kelola masih berupa sampah rumah tangga organik dan sebagian kecil nonorganik. Lama-kelamaan, jenis sampah yang diolah semakin banyak.  Tak hanya sampah padat rumah tangga, sampah cair pun dikelola di instalasi pengolahan air limbah komunal yang ada.

Yang teranyar, Sukunan yang sekarang menjadi desa wisata telah mendirikan kandang sapi terpadu di wilayah mereka. Di tempat itu, pupuk dan biogas dihasilkan untuk kepentingan warga. “Toh, masih ada sekitar 10% sampah yang dibuang ke TPA,” kata Iswanto.

Umumnya, sampah terse but terdiri dari pembalut dan popok. Kedua sampah itu belum bisa mereka olah. Kalaupun ingin dijual, belum ada pengepul yang mau membeli.

Akhirnya, barang-barang tersebut berujung di TPA juga. Selain pembalut, sebenarnya ada barang-barang lain yang tidak mau dibeli pengepul, umpamanya sisa kemasan minuman. Walau tidak ada yang mau membeli, persoalan bungkus minuman tersebut telah selesai sebab pembungkus tersebut bisa diolah kembali menjadi tas-tas cantik.

Namun, khusus pembalut, Iswanto mengatakan kalaupun sampah itu harus diolah, ia belum tahu caranya. Karena tak juga menemukan cara mengolahnya, Endah, istri Iswanto berinovasi membuat pembalut yang bisa dipakai ulang.

Pembalut khusus yang dibuat di Sukunan menjadi istimewa lantaran pembalut itu bisa dicuci sehingga bisa dipakai berulang-ulang. Harapannya, dengan cara itu, jumlah sampah pembalut bisa ditekan.

Walau sulit, Iswanto dan warga Sukunan masih memiliki sikap optimistis zero waste akan tercapai. “Harus ada kerja sama dengan industri pembuat,” cetusnya menawarkan solusi.

Menurut Iswanto, saatnya industri juga ikut bertanggung jawab untuk mengolah sampah yang mereka hasilkan. Caranya mereka harus mau menerima sampah-sampah dari produk yang mereka buat. Dengan demikian, masyarakat tinggal mengumpulkan sampah industri tersebut sesuai dengan jenisnya kemudian kalangan industri yang bertugas mengambil dan mengolahnya.

Dengan cara tersebut, lanjutnya, Indonesia bisa lebih dekat menjadi negara zero waste. Timbunan susut Meski Sukunan merasa belum tuntas berproses dengan pengolahan sampah, kampung-kampung seperti Sukunan berkontribusi sangat besar dalam menekan volume sampah yang dibuang ke sejumlah tempat pembuangan sampah di Kota Gudeg.

"Tiap tahun volume sampah yang dibuang ke TPA Piyungan menurun," urai Ferry Anggoro, Manajer Sekretariat Bersama Kartamantul.

Ia meyakini penurunan volume sampah disebabkan gencarnya pemerintah daerah dalam berkampanye tentang 3R (reduce, reuse, and recycle). Ferry mencontohkan, dari 2009 hingga 2010, jumlah penu runan sampah yang dibuang ke TPA Piyungan mencapai 7.000 ton.

Menurutnya, secara lokal pemerintah memang giat memotivasi komunitas-komunitas warga untuk mengelola sampah. Tiap-tiap dinas lingkungan hidup bahkan memberi potongan harga pengangkutan sampah ke TPA yang besarannya berbeda-beda.

"DiKota Yogyakarta , wilayah yang sudah mengelola dan mengolah sampah akan mendapat potongan hingga 50%," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Suryana.

Otomatis, kata Suryana, umur TPA jadi tambah panjang. Menurut perhitungan Suryana, umur TPA Piyungan bertambah dari prediksi awal, yaitu 2012.

Dengan menyusutnya vo lume yang dibuang ke kawasan itu, TPA Piyungan diyakini masih sanggup menampung sampah dari tiga wilayah untuk jangka waktu dua hingga tiga tahun mendatang.

Namun, tunggu dulu, itu bukan berarti tugas mengelola sampah menjadi semakin ringan. Masa pensiun TPA Piyungan sudah di depan mata.

DI Yogyakarta berkejaran dengan waktu untuk mengenalkan sebanyak mungkin model pengelolaan sampah ke masyarakat. Salah satu terobosan baru di provinsi itu yakni pengelolaan sampah Pasar Buah Gemah Ripah, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Sampah buah di sana kini dimanfaatkan untuk diubah menjadi energi listrik. ARDI TERIST



Post Date : 06 April 2011