|
Sejak beberapa bulan terakhir penduduk permukiman transmigrasi Desa Dadahup, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, sekitar enam jam perjalanan darat atau laut dari Palangkaraya, sudah bisa menikmati air olahan siap minum sangat murah. Sebuah pengembangan teknologi yang dibawa sekelompok tim dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil "menyulap" sumber air gambut setempat yang juga terasa asin karena pengaruh pasang surut air laut menjadi air yang sama seperti air minum kemasan yang ada di perkotaan. Arie Herlambang, anggota tim yang makalahnya soal penerapan teknologi itu memenangkan Lomba Inovasi Teknologi 2004 belum lama ini, menjelaskan bahwa pengaruh pasang surut di Kalimantan itu muncul karena sifat daratannya yang relatif landai, bisa mencapai ratusan kilometer. Karena kondisi itu, warga harus menghadapi kesulitan mendapatkan air bersih untuk minum, terutama ketika musim kemarau tiba karena air tidak saja asam (pH 3-4), kadar organik tinggi, kadar besi, dan mangan tinggi, bau, warna kuning, atau cokelat tua, tetapi juga asin. Akibatnya, masyarakat menjadi sangat tergantung air hujan, terutama di lokasi yang jauh dari sungai sungai besar. "Untuk minum, warga harus membeli air per galon (19,5 liter) seharga Rp 11 ribu. Satu galon untuk tiga hari," kata Arie lagi. Berdasarkan kondisi itu, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggandeng BPPT menggelar sebuah proyek menerapkan sistern pengolahan air siap minum yang diolah dari air gambut asin yang memang banyak terdapat di daerah setempat. Sebuah proyek yang boleh dikelompokkan sebagai yang pertama di Indonesia. Tidak seperti penerapan di tempat lain yang di perkotaan ataupun air tanah gambut, tetapi ini sudah gambut, asin pula," ujar Nusa Idaman Said, anggota tim lainnya. Menurut Nusa, untuk mengolah air gambut asin itu diperlukan teknik dan proses filtrasi yang jauh lebih panjang dibanding yang dimiliki perusahaan-perusahaan pengolah air minum di perkotaan. Dikombinasi dengan unit desalinasi juga diperlukan. Di Kuala Kapuas, sumber air baku yang akan diolah menjadi air minum berasal dari sungai, sumur dalam, dan sumur dangkal. Sumur dalam memiliki kelebiban ketersediaan air sepanjang musim, tetapi mengandung unsur logam, terutama besi, yang sangat tinggi. Semakin baik kualitas air baku, prosesnya akan semakin sederhana. Proses pertama terjadi di tangki clarifier yang menjernihkan dan menaikkan nilai pH menjadi 8 9 melalui pemberian abu soda atau kapur tohor yang dilarutkan. Hasilnya, terbentuk gumpalan berwarna hijau dan secara perlahan mengambang ke permukaan, tapi tak berapa lama Gumpalan berupa logam dan organik tersebut itu berubah warna menjadi kuning kecokelatan dan secara perlahan mengendap. Untuk mempercepat proses pengendapan digunakan tawas atau polyaluminum chloride yang diaduk searah sekitar lima menit. Bahan yang dipakai dan dosisnya ditentukan melalui eksperimental sederhana di lapangan. Air yang telah jernih dialirkan ke bak bak pengendap. Tetapi, meski jernih, air masih mengandung partikel organik yang melayang, besi, mangan terlarut yang cukup tinggi dan berbau. Selanjutnya dilakukan proses oksidasi (bisa dengan udara, kaporit, atau kalium permanganat). Kalium permanganat dipilih dengan pertimbangan berwarna dan tidak berbau, selain itu turut mengaktifka media mangan zeolit untuk proses oksidasi lanjutan dari besi dan mangan setelah disaring dengan saringan pasir silica. Selanjutnya, proses penghilangan bau dan warna menggunakan karbon aktif. Air yang telah jernih, tidak berbau dan berwarna, kemudian disaring lagi menggunakan saringan mikro dengan ukuran 0,1 0,5 m, untuk menurunkan padatan total tersuspensi sampai kurang dari 500 mg/l. Proses ini penting agar membran tak cepat rusak dan berumur panjang. Membran hanya dipergunakan untuk menurunkan kadar garam saja, dengan recovery ration 35 persen. Air olahan yang telah jernih, tawar, tidak berbau, dan bebas bakteri sudah dapat langsung diminum ditampung dalam bak penampung. Sebelum proses pembotolan, untuk menghindari rekontaminasi, air kembali melalui mikrofiltrasi dan penyinaran ultraviolet untuk sterilisasi. Hasil akhir, air yang dihasilkan tampak sangat jernih, tidak berbau, dan sudah tidak asin lagi. Atie menerangkan, sistem pengolahan bernilai sekitar Rp 350 juta itu saat ini mampu menghasilkan 170 gaIon air siap minum dalam delapan jam operasional. Komponen biaya paling besar terserap untuk kebutuhan listrik pompa serta tenaga operasional, Arie menambahkan, teknologi yang diberi nama TAGAS 170 (Teknologi Air Siap Minum Gambut Asin) itu membantu warga berhemat pembelian air. Warga bersedia membeli produk PDAM setempat yang sekarang mengelola unit TAGAS seharga Rp 3.000 5.000 per galon," dia menambahkan. Menurut Nusa, timnya mempersiapkan pembangunan dua unit lagi di lokasi yang sama. Sebuah unit serupa juga beroperasi lebih awal di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. "Kita berupaya mencari daerah daerah sulit air yang telah memiliki genset. Dengan begitu, harganya dapat semakin ditekan," ucap Arie. "Jadi, pada malam, genset berguna untuk penerangan sekaligus mengolab air minum." Tak salah kalau dewan juri Lomba Inovasi Teknologi 2004 BPPT menobatkan pengembangan teknologi ini sebagai juara I karena terbukti dapat diterapkan dan bermanfaat di tengah masyarakat. Wuragil Post Date : 24 Agustus 2004 |