|
Banyak sumber air di Jawa Timur sampai saat ini masih menjadi andalan masyarakat. Kendati pernah terjadi konflik dalam pengelolaan air di Trawas, sejauh ini sumber-sumber air yang ada masih mampu dipertahankan. Namun, seiring penebangan pohon di area resapan, terjadi penyusutan debit di titik-titik mata air. Direktur Eksekutif Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman Sisyantoko mengatakan, di Kecamatan Trawas yang terdiri atas 13 desa masing-masing terdapat 7-10 mata air. Saat ini debit di separuh mata air yang ada menyusut. Malah, dalam catatan Dinas Pengairan Jatim tahun 2006, hanya terdapat 38 mata air di Mojokerto, setelah terjadi penjarahan kayu di Gunung Welirang dan Gunung Penanggungan tahun 1998. Kendati demikian, di wilayah itu masyarakat cukup memiliki kesadaran dan ketegasan untuk menolak perusahaan air kemasan merambah sumber daya air yang ada. Sisyantoko menceritakan, beberapa waktu lalu mata air di sekitar Candi Jalatunda sempat dilirik sebuah perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK). Namun, warga menolak keras. Petirtaan itu pun masih terpelihara saat ini. Kesadaran masyarakat untuk menjaga sumber air juga tertanam di Desa Ketapanrame, Kecamatan Trawas. Di desa itu, masyarakat sendiri yang mengelola sumber air. Mereka menyalurkan air untuk kebutuhan minum warga dan penduduk di kompleks vila dan hotel sekitarnya. Untuk itu, masyarakat mendirikan badan usaha milik desa (Bumdes) Sektor Pengelolaan Air Minum Tirto Tentrem. Dengan Bumdes, desa berpenduduk 5.200 jiwa itu bisa mengumpulkan pendapatan lebih dari Rp 200 juta per tahun. Kebutuhan air minum warga pun terjamin. Pengelolaan air minum dimulai tahun 1988 oleh tokoh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Slamet Rahardjo yang kemudian menjadi kepala desa pada 1990 sampai 2007. Awalnya, menurut Slamet (55), warga mengambil air menggunakan selang atau bilah bambu yang disambung-sambung semaunya. Setelah tahun 1988 terbit peraturan daerah yang mengharapkan masyarakat pengguna air bersih untuk menghimpun diri, dibentuklah Himpunan Penduduk Pengguna Air (Hipam) Desa Ketapanrame. Sumber air yang digunakan antara lain Sumber Tandaan Dusun Sepi, Desa Ketapanrame; dua sumber di tanah pemajakan desa, yakni Sumber Sekoro dan Sumber Bejo; serta saluran air dari Perhutani yang digunakan empat desa, yaitu Desa Trawas, Desa Ketapanrame, Desa Kesiman, dan Desa Tamiajeng. Kontrak aset Ketika investor datang dan kawasan peristirahatan berdiri, masyarakat yang tergabung dalam Hipam mencoba membuat kontrak aset. Perjanjian pertama dilakukan dengan salah satu perusahaan properti. Kesepakatan pengelolaan air minum itu mengatur agar perusahaan melengkapi semua jaringan, sedangkan pengerjaan pipa dan pengelolaan air dilakukan Hipam Desa Ketapanrame. Pembayaran air minum warga pemilik vila dibagi dua antara perusahaan dan Hipam Desa Ketapanrame selama 15 tahun. Setelah itu, peralatan menjadi milik Hipam. Pembayaran air minum juga sepenuhnya menjadi otoritas warga desa. Konsekuensinya, Hipam memelihara saluran dan menjamin ketersediaan air. Setelah berjalan beberapa tahun, semakin banyak kontrak yang dibuat dengan perusahaan properti. Jaringan air terbentuk dan warga desa yang berpendidikan SMA dan S1 mendapat pekerjaan. Jadi, tak perlu mengirim warga menjadi tenaga kerja ke luar negeri. Pendapatan untuk kas desa pun besar. Konflik sempat terjadi ketika PDAM pada tahun 1994 mencoba mengambil alih pengelolaan air. ”Setelah ditekan—zaman Orde Baru—Hipam membiarkan PDAM masuk dan membagi dua pendapatan. Namun, setelah dua tahun tidak ada penyertaan modal ataupun logistik dari PDAM. Karena itu, kami memutus kontrak dengan PDAM. Waktu itu warga berunjuk rasa di Kantor PDAM,” kata Slamet. Setelah terbit Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan desa boleh memiliki badan usaha, didirikan Bumdes Sektor Pengelolaan Air Minum Tirto Tentrem. Manajemen ditata, struktur organisasi dibuat, dan pendapatan pun diperoleh. Peraturan Desa Ketapanrame Nomor 1 Tahun 2000 mengatur pengelolaan air minum. Kontrak aset dengan semua perusahaan pun diperbarui. Ekonomi membaik Dengan pendapatan kotor Bumdes Rp 400 juta pada 2007, desa mengalokasikan anggaran untuk menalangi biaya pendidikan dan kesehatan warga desa yang kesulitan keuangan. Selain itu, warga sangat jarang ditarik iuran, kecuali untuk sedekah bumi (ruwatan). Ekonomi warga terdongkrak. Rumah berdinding gedek (anyaman bambu) sudah tidak ada lagi di Desa Ketapanrame sejak tahun 2000. Kas desa ataupun bantuan pribadi dimanfaatkan untuk memperbaiki rumah penduduk miskin. Ketika Kompas mengunjungi desa itu pekan lalu, tembok rumah-rumah warga umumnya berbahan batu bata berplester. Menyadari sumber air memberikan segalanya untuk desa, warga sejak tahun 1990-an bersama-sama menjaga hutan di Gunung Welirang. Kenyataannya, debit mulai mengecil setelah terjadi pencurian kayu di Gunung Welirang. ”Kami sadar, kalau sampai hutan rusak dan sumber air mati, kiamat tiba,” kata Slamet yang pernah kuliah arsitektur tahun 1970-an dan mempelajari ilmu hukum tahun 2001-2005. Kalaupun ada seorang warga yang ikut menebang pohon, lanjut Slamet, warga lainnya tidak segan melaporkan kepada polisi. Dengan demikian, efek jera akan timbul. Karena itu, saat ini air yang dikelola Bumdes Sektor Pengelolaan Air Minum Tirto Tentrem masih mengaliri ratusan rumah warga di Desa Ketapanrame, Desa Trawas, dan Desa Kesiman. Selain itu, tidak kurang dari lima perumahan dan dua hotel mendapat aliran air dari Bumdes Tirto Tentrem. Secara keseluruhan, kata Slamet, debit air dari saluran Perhutani mencapai 100 liter per detik. Dari aliran air itu, alokasi untuk warga di tiga desa sekitar 50-75 liter per detik dan 20-30 liter per detik untuk perumahan serta hotel. ”Di perumahan dan hotel, air hanya digunakan ketika wisatawan datang pada akhir pekan,” ujar Slamet. Adapun pengelolaan air untuk sawah dilakukan oleh Himpunan Penduduk Pengguna Air Sawah (Hipa). Kelompok ini mengelola dan menjaga ketersediaan air untuk pertanian. Biasanya air yang tidak digunakan untuk minum dialirkan ke saluran irigasi warga. Kelestarian sumber daya air, menurut Sisyantoko, tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan warga. Pemberdayaan masyarakat untuk memahami pentingnya kawasan resapan dan bersama- sama menjaga sumber air adalah kunci utama. (INA) Post Date : 12 September 2008 |