|
Langkah sterilisasi merupakan kewajiban rumah sakit. Jika tidak disterilisasi, maka barang-barang itu berbahaya bila disentuh orang. Tak heran bila banyak perawat dan pegawai di RS berisiko tinggi terkena infeksi cemaran limbah ini di tempatnya bekerja. Rumah sakit (RS) merupakan tempat untuk menyembuhkan orang sakit. Namun, RS pun bisa menjadi sumber penyakit karena di sana banyak penderita berbagai penyakit, baik menular maupun tak menular. Karena itu, pengelolaan limbah di RS sangat diperlukan, terutama mekanisme agar buangan dari RS tak berdampak bagi para pekerja RS dan lingkungan sekitarnya. Di RS sering kali terjadi infeksi silang (nosokomial). Sebagai contoh, limbah medis tajam seperti alat suntik. Karena berhubungan langsung dengan penderita, alat itu mengandung mikroorganisme, atau bibit penyakit. Bila pengelolaan pembuangannya tidak benar, alat suntik dapat menularkan penyakit kepada pasien lain, pengunjung RS dan puskesmas, petugas kesehatan, maupun masyarakat umum. Kasubdit Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2M-PL) Departemen Kesehatan, Samilan, mengatakan, pengelolaan limbah RS yang tak baik, sangat berbahaya bagi para pekerja di RS dan lingkungannya. ,''katanya di Jakarta dalam seminar mengenai limbah RS, pekan lalu. Limbah alat suntik Ia mengungkapkan, RS merupakan tempat yang mudah bagi terjadinya infeksi silang, terlebih limbahnya sangat berbahaya. Salah satu contohnya adalah penggunaan ulang alat suntik. Penyuntikan yang tidak aman dapat menularkan berbagai penyakit terutama hepatitis B, hepatitis C, dan HIV/AIDS. Data P2M-PL menunjukkan, limbah alat suntik di Indonesia khusus untuk imunisasi diperkirakan sekitar 66 juta per tahun. Dari jumlah itu 36,8 juta di antaranya merupakan limbah alat suntik imunisasi bayi, imunisasi ibu hamil/wanita usia subur sekitar 10 juta, imunisasi anak sekolah (BIAS) sekitar 20 juta. Sedangkan limbah alat suntik secara kuratif sekitar 300 juta per tahun. Menurut Soehatman Ramli SKM Dipl SM, staf ahli pusat kajian dan terapan keselamatan dan kesehatan kerja (PKJTK3), limbah RS dikategorikan atas berat, kepadatan, dan kandungannya. Limbah padat berupa jarum suntik, jaringan, obat-obatan, kotoran manusia, dan lainnya. Juga terdapat limbah cair dan gas. Limbah dari laboratorium paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tak bisa diurai hanya dengan aerasi atau activated pludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan inveksius sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum dilempar menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto rontgen, misalnya, ada cairan tertentu yang mengandung radioaktif cukup berbahaya. Setelah bahan ini digunakan, limbahnya dibuang. Pengolahan limbah RS Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan pengolahan (treatment). Ada dua hal yang penting diperhatikan dalam pengelolaan limbah yaitu mutu dan keamanan. Langkah sterilisasi merupakan kewajiban rumah sakit. Jika tidak disterilisasi, maka barang-barang itu berbahaya bila disentuh orang. Tak heran bila banyak perawat dan pegawai di RS berisiko tinggi terkena infeksi cemaran limbah ini di tempatnya bekerja. Salah satu cara mengatasi limbah medis adalah insinerasi atau proses pembakaran. Namun, langkah itu tidak menyelesaikan masalah karena pembakaran hanya mengubah volume limbah menjadi lebih kecil. Belum lagi debu yang juga sangat berbahaya dan harus diimobilisasi atau ditentukan lagi tempat pembuangannya yang kedap air. Debu hasil insinerasi tak terurai dan materi tetap ada dan malah sangat berbahaya. Pembakaran barang-barang seperti plastik menghasilkan zat kimia bernama dioksin. ''Dioksin sangat berbahaya,'' kata Winata dari PT Hepasin Media Pratama. Ada teknologi untuk mengatasi emisi dioksin, yaitu desorpsi suhu rendah sebagai metode pengganti insinerator. Prinsipnya menggunakan metode siklon dan aliran termal. Teknologi ini dikembangkan sendiri dengan sistem rotary carboruzer atau prinsip X-flow. Sistem ini menggunakan titanium oksida untuk mereduksi dioksin. Pembakaran, lanjut Eka, digunakan dengan pemanasan tak langsung bersuhu rendah (200 derajat Celsius hingga 350 derajat Celsius). Pemanasan ini tanpa oksidasi sehingga meminimalkan dioksin. Konsumsi bahan bakarnya menerapkan sistem hampa udara. Untuk limbah berupa jarum suntik, Presiden Direktur PT MediBest Indonesia, Arief Wibowo menjelaskan, saat ini banyak yang menerapkan disposable (jarum suntik sekali pakai). ''Namun, masih banyak kebiasaan yang sulit dihilangkan, seperti menggunakan kembali jarum tersebut, baru dibuang.'' Ia mengatakan, tempat pembuangan untuk jarum dan limbah padat lain dari RS pun harus ada standarnya sendiri. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mempunyai standar internasional untuk itu. ''Ketebalan, bentuk, dan jenis bahan dari tempat pembuangan sudah ada standarnya,'' lanjut Arief. Di Indonesia pada 2003 ada program yang mengembangkan proyek penanganan limbah tajam dengan metode insenerasi di 21 kabupaten dari enam provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan) terutama di pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas). Diharapkan proyek tersebut bisa dikembangkan di seluruh Indonesia. Saat ini ada beberapa alat untuk mengatasi limbah berupa jarum suntik. Yaitu, alat pemisah jarum, alat penghancur jarum, tempat pembuangan jarum khusus (needle pit), syringe safety box, dan insinerator SICIM. Post Date : 20 Juli 2004 |