Mengatasi Krisis Air

Sumber:Suara Pembaruan - 11 Juni 2008
Kategori:Air Minum

Pakar hidrologi dan lingkungan hidup dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Agus Aryono menyatakan, pemerintah sebenarnya bisa melakukan berbagai strategi untuk mengatasi krisis air.

Caranya beragam. Mulai dari pengembangan sumber air sungai bawah tanah (di sepanjang pantai selatan Jawa), air tanah dangkal dan dalam, air hujan (metode memanen air hujan, mengingat hampir enam bulan sekali Indonesia mendapat limpahan air hujan, membuat metode pemompaan di pinggir sungai.

"Selain itu juga bisa melalui danau alamiah, dengan konservasi danau sehingga menjadi danau lestari," katanya seperti dilansir www.suarapublik.org

Beberapa pakar lain juga berpendapat serupa. Dr Sutardi, misalnya mengatakan,, dalam jangka panjang penghutanan lahan-lahan kritis bisa mengatasi persoalan krisis air. Tetapi, Marjono, dosen Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara, Jakarta, perbaikan daerah aliran sungai (DAS) juga tak boleh diabaikan. Pasalnya, sekitar 20 juta hektare lahan di Indonesia, berada pada kondisi kritis dan terus bertambah rata-rata 0,5 juta sampai satu hektare per tahun.

"Salah satu upaya jangka pendek menuntaskan masalah itu adalah pembangunan waduk-waduk dan bendungan dalam skala kecil, menengah dan besar," katanya.

Pendapat senada juga diungkapkan Marhuarar Napitupulu, Ketua Kemitraan Air Indonesia. Menurutnya, sampai beberapa tahun ke depan Indonesia masih membutuhkan bendungan untuk mengatasi krisis air. "Coba, siapa yang bisa mengatasi persoalan krisis air dengan alternatif lain kecuali dengan membangun bendungan besar," kata Napitupulu.

Sementara itu, Ir Bambang Kuswidodo, Dipl HE, Ketua Umum Komite Nasional Indonesia untuk bendungan Besar (KNI-BB). Menurut dia, pemerintah Indonesia perlu melanjutkan pembangunan bendungan untuk tujuan mengatasi krisis air yang diperlukan masyarakat.

Pendapat para pakar tersebut, tentu berdasarkan kajian di lapangan, sehingga patut dipertimbangkan dalam kebijakan pembangunan nasional sebagai sebuah prioritas. Alasan paling klise yang sering dilontarkan pemerintah adalah dana untuk proyek sebesar itu, minim bahkan mungkin tidak ada, apalagi dalam kondisi krisis seperti sekarang.

Akan tetapi, dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 28,7 persen, ada selisih harga yang menjadi sumber keuangan negara dari penjualan BBM tersebut.

Di antaranya ada dana Rp 19 triliun lebih untuk bantuan langsung tunai (BLT) kepada rakyat miskin. Tetapi, kalau dicermati dari Rp 19 triliun itu, hanya Rp 13,3 triliun untuk rakyat miskin, dan selebihnya masih digunakan untuk birokrasi.

Sebutlah, untuk Badan Pusat Statistik (BPS) Rp 300 miliar, Dekominfo Rp 38 miliar, Bappenas Rp 2 miliar, Depdagri Rp 600 juta dan Kantor Menko Kesra Rp 200 miliar. Kalau dana untuk birokrasi itu dialihkan untuk kepentingan pengelolaan alam seperti pembangunan waduk, akan sangat bermanfaat.

Sebab, waduk selain berfungsi untuk melestarikan lingkungan sekitar dan menjadi sumber cadangan air, secara tidak langsung bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat sekitar. Sebab, dengan air yang cukup, petani bisa bercocok tanam apa saja atau pun untuk peternakan dan perikanan. [M-15]



Post Date : 11 Juni 2008