Tak ada bayang pepohonan yang mampu memberi sedikit keteduhan pada puncak musim kemarau di lokasi Tempat Pembuangan Akhir Wukirsari. Pemulung memerangi terik matahari dengan mengenakan celana panjang, kaos lengan panjang, topi, dan kain penutup wajah. Di tengah musim pohon meranggas ini, seberkas harapan untuk mengangkat derajat sampah justru mulai terembus dari Wukirsari.
Dari pagi hingga sore, pemulung memilah sampah plastik di tengah deru suara mesin pembuat kompos. Anak-anak pemulung turut membantu produksi dengan memisahkan logam besi dari olahan sampah menggunakan batang magnet. Kompos yang menggunung sekilas serupa pasir dengan warna lebih gelap. Pengolahan sampah menjadi kompos di TPA Wukirsari, Kecamatan Wonosari, Gunung Kidul, menjadi uji coba pertama.
Ketika problem sampah masih membelenggu hampir seluruh daerah di Indonesia, organisasi masyarakat yang menamakan diri Gerakan Masyarakat Agraris (Gemari) mencoba bergerak untuk ”melenyapkan” tumpukan sampah. Dari iuran yang dikumpulkan masing-masing anggota, mereka bereksperimen membuat alat pengolah sampah.
Berkaca dari belum adanya teknologi tepat guna pengolahan sampah, Gemari menyulap alat berat pemisah batu bara menjadi pemisah sampah. ”Kami mereka-reka teknologi karena belum ada teknologi pengolahan sampah yang bisa diadopsi,” kata Adam Kristianto, Ketua Pengurus Pusat Gemari, Kamis (27/8).
Teknologi yang benar-benar baru ini terbukti bisa diterapkan. Sejak dua bulan beroperasi, gunungan tumpukan sampah lama di TPA Wukirsari telah menghilang lebih dari separuhnya. Selain kompos, pengolahan sampah juga menghasilkan material uruk yang cocok untuk reklamasi lokasi bekas pertambangan. Tiap enam menit, mesin memproduksi 3-4 meter kubik kompos.
Tumpukan sampah busuk harus dijemur untuk pengurangan kadar air sebelum masuk ke penampung hopper berkapasitas 4-5 meter kubik. Pada conveyer induk yang menyerupai lantai berjalan, sampah digiring masuk ke dua macam vibrating screen atau mesin pemisah. Materi plastik dibuang, sedangkan kompos difermentasi dengan bakteri sacaromyces dan jamur aspergilus.
Bisa diadopi
Adam menegaskan bahwa teknologi ini bisa diadopsi oleh setiap pemerintah kabupaten yang ingin mengolah tumpukan sampahnya. Teknologi ini sanggup mengubah paradigma sampah dari sekadar pembawa bencana menjadi sumber keuntungan. Investasi awal yang murah—biaya pengadaan alat sekitar Rp 800 juta—bisa menjadi pertimbangan pengelolaan sampah yang tidak melulu berorientasi bisnis.
Penelitian menunjukkan satu ton sampah padat yang tidak dikelola dengan baik bisa menyumbang 50 kilogram metana. Metana ini berkontribusi besar pada pemanasan global.
Pemilihan TPA Wukirsari sebagai uji coba awal teknologi pengolahan sampah, antara lain karena kandungan karbon organik pada kompos yang cukup tinggi atau di atas tujuh persen. Sumbangan terbesar sampah Gunung Kidul berasal dari pasar tradisional yang didominasi sampah organik.
Penanggung jawab produksi pupuk organik di TPA Wukirsari, Tulus Widodo menambahkan, kapasitas produksi teknologi pengolahan sampah ini berkisar 120-140 meter kubik per hari. Efektif berproduksi dalam satu bulan terakhir, kompos yang dihasilkan mencapai 2.500 ton. Tiap hari, TPA Wukirsari bisa memproduksi 40 ton-100 ton kompos.
Meski masih taraf awal uji coba, teknologi baru pengolahan sampah ini mampu membawa secercah harapan pengelolaan tumpukan sampah. Jika sampah mampu memberikan nilai ekonomi tinggi, niscaya tak ada lagi stigma sampah sebagai pembawa bencana. Sampah pun mampu menjadi berharga dengan pengelolaan yang tepat. (WKM) Image: Sumber: Organisasi Masyarakat Gerakan Masyarakat Agraris (Gemari) Unit Pengolahan Sampah di Wukirsari, Gunung Kidul.
Post Date : 29 Agustus 2009
|