Mengandalkan Berkah Air Hujan

Sumber:Kompas - 29 Desember 2005
Kategori:Air Minum
Kami tidak berani lagi mandi di Sungai Musi saat surut. Takut gatal-gatal, kata Zaenuddin (43), nelayan di Kampung Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

Kekhawatiran Zaenuddin tak berlebihan, apalagi dia pernah mengalami terserang penyakit kulit gara-gara mandi di Sungai Musi. Air sungai di bawah rumah panggung Perkampungan Sungsang itu memang tampak keruh, Minggu (18/12) sore lalu. Air itu berwarna kecoklatan, kotor, berbau agak amis, dan permukaannya berminyak. Ceceran solar dari ratusan perahu di pinggir sungai bercampur dalam air.

Sebagian besar warga di sini sudah lama tidak mandi di sungai, apalagi saat surut. Kalau terpaksa mandi, mereka menunggu pasang ketika air melimpah sehingga kotoran bisa sedikit berkurang, ujarnya menambahkan.

Zaenuddin segera bergegas pulang ke rumah. Di rumah yang tak jauh dari sungai itu dia telah menampung air hujan di bak terbuka. Mandi dengan air hujan membuatnya merasa lebih segar, nyaman, dan tak takut diserang gatal-gatal.

Saat ini banyak warga Sungsang yang beralih menggunakan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal, sejak puluhan tahun lalu mereka seolah menyatu karena senantiasa mengandalkan air sungai untuk berbagai keperluan. Selain menjadi alat transportasi, sungai juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti minum, mandi, mencuci, atau buang hajat.

Namun, sejak beberapa tahun ini tradisi tersebut mulai berubah. Sebagian masyarakat enggan mandi di sungai, apalagi meminum airnya. Bagaimana kami meminum air kalau kami tahu air ini makin kotor? Kalau terpaksa, air harus disaring, diendapkan, kemudian direbus sampai matang, baru diminum, kata Thalib (40), warga Sungsang II.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat berusaha menampung air hujan. Air disimpan di bak-bak plastik terbuka, untuk digunakan sewaktu-waktu.

Bagi masyarakat Sungsang, hujan benar-benar menjadi berkah yang turun dari langit untuk membantu memecahkan persoalan air bersih di kawasan itu. Hanya saja, berkah itu menjadi sulit saat kemarau. Kalau kemarau, kami semua jadi susah. Kami juga tak mungkin menggali sumur karena semua daerah ini di atas air sungai, kata Cek Mit (28), warga lain.

Menurut anggota Lembaga Advokasi Rakyat (Lembar) Sumatera Selatan, Ardiansyah, fenomena warga Sungsang yang mulai enggan mandi di sungai mencerminkan pencemaran Sungai Musi semakin parah. Warga Sungsang sudah beradaptasi, menyatu, dan memiliki kekebalan alami terhadap air karena lama hidup di kawasan muara sungai. Ketika masyarakat seperti itu saja mulai menghindar, tentu ada masalah serius dengan air sungai tersebut.

Kawasan Sungsang jadi muara aliran Sungai Musi di Selat Bangka. Segala bentuk pencemaran dari hulu dan tengah terbawa dan mengumpul di muara. Sebenarnya, saat air pasang pun pencemaran itu justru dikembalikan lagi oleh arus laut, katanya. (ilham khoiri)

Post Date : 29 Desember 2005