|
"Lebih dari 1,5 juta balita di dunia ketiga tewas karena kelangkaan suplai air bersih dan sanitasi yang memadai." Tanyakan kepada Ritu Prasher. Saban hari perempuan berumur 45 tahun dari kalangan kelas menengah di India itu bangun pukul 06.30 dengan perasaan resah. Bak cacing kepanasan ia senewen bila tak setetes air pun mengalir keluar dari keran bak mandi miliknya. Kalau sudah begitu, lewat telepon selulernya ia sibuk menelepon perusahaan air swasta. "Sepanjang hari Anda cuma sibuk mengurusi kapan air akan datang," katanya letih. "Anda menjadi tidak tenang sepanjang waktu." Di kota paling kaya seantero India, dengan ekonomi yang tumbuh menjulang, kelas menengah seperti Prasher kerap menghadapi kendala kelangkaan air bersih. Ia dan juga jutaan rakyat India merasa pemerintah gagal menyuplai kebutuhan paling dasar: air bersih. Di Jakarta, Astriadi Putranto merasakan hal yang sama. Sudah beberapa pekan ini mesin airnya cuma berdengung keras tanpa setetes air pun keluar. "Sudah beberapa hari ini Jakarta tak turun hujan," katanya. Sudah dua hari ia terpaksa cuma membasuh tubuh. "Pakaian kotor sudah menumpuk, begitu pula peralatan dapur," tutur pria berusia 26 tahun itu. Ritu dan Astriadi yang hidup di kota besar termasuk beruntung hanya mengalami kesulitan air di saat musim kemarau. Laporan mutakhir Perserikatan Bangsa-Bangsa lebih mengejutkan lagi. Dilansir Kamis pekan lalu, laporan badan dunia itu menyebutkan lebih 1,2 miliar jiwa di dunia sulit mendapatkan akses ke air bersih sejak 1990, terutama mereka yang tinggal di Benua Asia dan Afrika. "Lebih dari 1,5 juta balita di dunia ketiga tewas karena kelangkaan suplai air bersih dan sanitasi yang memadai," Vanessa Tobin, Wakil Direktur Badan PBB Urusan Anak-anak (UNICEF), mengutip hasil riset lembaganya. Pada 2025, kata dia, jumlah penduduk dunia yang kesulitan mendapatkan air bersih diperkirakan meningkat menjadi 2,3 miliar. Jumlah ini seiring dengan pertumbuhan penduduk yang begitu pesat di hampir semua negara. Wabah penyakit mematikan akan menjadi masalah yang sangat serius, terutama bagi negara-negara miskin. Tengok saja catatan UNICEF selama beberapa kurun terakhir ini. Saban tahun terdapat 2,2 juta orang meregang nyawa karena diare. Sebanyak 1,1 juta akibat kolera, 17 ribu cacingan, dan 15 ribu demam berdarah. Sebagian besar berasal dari negara berkembang. Tobin mencontohkan apa yang terjadi di Niger. Menurut dia, di sana hanya 13 persen populasi yang mendapat akses ke toilet yang memadai. "Andai saja ketersediaan air bersih memadai, setidaknya dengan keterbatasan sanitasi, dampaknya tak akan seburuk itu," katanya. Tobin menambahkan bahwa masyarakat dunia butuh jaminan keberlanjutan persediaan air. Tanpa itu, kata dia, bukan mustahil masalah yang dihadapi akan semakin besar. "Di balik krisis air ancaman kelaparan pun terus mengintai," katanya. Di Indonesia, kondisi yang dihadapi nyaris tak ada bedanya dengan di negara-negara miskin lainnya. Saat ini setidaknya 80 persen atau sekitar 168 juta penduduk Indonesia belum mendapatkan akses terhadap air bersih. Padahal saat ini tercatat ada sekitar 300 perusahaan daerah air minum--yang seharusnya melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Karena itu, Frank Rijsberman, Direktur Jenderal International Water Management Institute di Kolombo, Sri Lanka, menawarkan solusi kebijakan pengelolaan sumber daya air, yakni mengedepankan suplai air bersih dan sanitasi memadai bagi rakyat jelata. Sejauh ini hasilnya, kata dia, terbukti baik. Di Asia Selatan saja, menurut dia, akses rakyat pada air bersih dan sanitasi meningkat dua kali lipat pada 1990-2004. Hanya, seperti di India, air bersih tak pernah berhenti mengucur di rumah-rumah dinas pejabat di sana. Tapi tak begitu di rumah Rita dan tetangganya. "Aku ingin pergi kerja, tapi tak bisa," katanya muram. "Aku benar-benar jengkel menunggu air!" NYTIMES | CSMONITOR | AP | AFP | ANDREE PRIYANTO Post Date : 03 Oktober 2006 |