Bagi warga Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan, Sumatera Utara, banjir ibarat ulam, istilah orang Melayu untuk menyebut lalapan yang selalu mendampingi makanan. Warga Sei Mati, terutama yang tinggal di bantaran Sungai Deli, hampir kebanjiran setiap tahun. Saking seringnya, malah tak jarang banjir di Sei Mati itu tak dianggap sebagai berita lagi oleh media massa.
Sebenarnya, Sei Mati bukan satu-satunya kelurahan yang berada di tepi aliran Sungai Deli. Enam kelurahan yang ada di Medan Maimun, seluruhnya dialiri Sungai Deli. Namun, karena topografi wilayah Sei Mati lebih rendah dibanding wilayah lain, kelurahan ini menjadi yang paling sering mendapat limpahan saat Sungai Deli meluap.
Tak hanya itu, Sei Mati pun menjadi gambaran paling ironis terkait kemiskinan di perkotaan. Permukiman warga Sei Mati, yang-dari hulu-terletak di sisi kanan Sungai Deli, dikontraskan dengan pemandangan perumahan mewah milik orang-orang kaya di seberangnya.
Yang lebih menyayat, setiap kali terjadi luapan air sungai, perumahan mewah itu selamat dari air bah. Sebab, perumahan tersebut dilindungi tanggul yang cukup tinggi-dibangun di sisi kiri Sungai Deli.
Bukan kebetulan, wilayah di seberang sungai tempat warga Sei Mati tinggal, sebenarnya areal yang dulunya terbatas. Di sinilah terletak Pangkalan TNI Angkatan Udara Polonia Medan.
Seiring dengan rencana pemindahan Bandar Udara Polonia, sebagian tanah yang berada di sekitar bandara itu kemudian jadi rebutan investor, karena memang direncanakan sebagai pusat bisnis baru di Medan. Jelas, harus orang berkocek tebal yang bisa tinggal di sana.
Sei Mati hingga ke arah hilir Sungai Deli, masuk Kelurahan Kampung Aur, menjadi salah satu daerah kumuh di Kota Medan. Rumah-rumah papan dengan atap seng saling berimpit. Satu rumah bisa dihuni lebih dari satu keluarga, dan hanya dipisahkan berdasarkan kamar untuk masing-masing keluarga penghuninya.
Banyak aktivitas warga yang juga berkelindan dengan Sungai Deli. Mereka mandi, mencuci, dan membuang kotoran di sungai itu. Terkadang, persis menempel di pinggir sungai. Mirip dengan pemandangan daerah kumuh di pinggir Sungai Ciliwung, Jakarta.
Seperti warga miskin di belahan mana pun, banjir adalah persoalan yang harus diterima warga Sei Mati dengan lapang dada. Simak penuturan, warga Gang Merdeka, Kelurahan Sei Mati, Muhammad Yakub Nasution (62). ”Banjir bagi kami ini ibarat ulam, kata orang Melayu. Ibarat lalapan bagi makanan kami,” ujarnya.
Sejak lahir, Yakub sudah tinggal di Sei Mati. Dia bercerita, neneknya pun sudah tinggal di Sei Mati saat wilayah itu masih berupa rerimbunan hutan.
Ketika ditanya, bagaimana perasaannya menghadapi banjir yang terjadi hampir setiap saat, Yakub hanya mengatakan, pasrah. ”Ya gundah gulana. Tapi, mau apalagi, sejak dulu kami tinggal di sini,” tambahnya.
Bukan berarti dia maupun warga Sei Mati lainnya menolak direlokasi ke tempat yang bebas banjir. ”Kami mau saja dipindah, tapi mau dipindah ke mana? Apa pemerintah mau menanggung biayanya?” timpal Rodiyah (40), warga Sei Mati.
30 tahun terakhir
Dalam memori warga, banjir rutin di Sei Mati terjadi selama 30 tahun terakhir. Amir Husin (70) yang tinggal di Sei Mati sejak tahun 1976, misalnya, mengatakan, sejak awal 1980-an banjir melanda permukiman itu. ”Dulu, paling hanya selutut. Sekarang sudah sampai loteng airnya,” kata pensiunan pegawai PDAM Tirtanadi itu.
Sebenarnya, Sungai Deli hanya salah satu dari tujuh sungai yang melintasi Medan. Enam sungai lainnya adalah Sungai Belawan, Sungai Sikambing, Sungai Putih, Sungai Babura, Sungai Kera, dan Sungai Denai atau yang di hilir di kenal dengan nama Sungai Percut.
Namun, karena Sungai Deli memiliki ancaman banjir yang bisa melumpuhkan kota Medan, maka banjir kanal dibangun di hulu sungai ini. Sayangnya, kapasitas Banjir Kanal Medan mengalirkan luapan Sungai Deli juga terbatas. Maksimal 150 meter kubik per detik.
Belum lagi, Sungai Percut tak boleh menerima limpahan terlalu banyak. Pertimbangannya, penduduk di sepanjang sungai itu bisa terkena banjir kiriman jika Banjir Kanal Medan-yang menerima luapan air Sungai Deli-melimpahkan air lebih dari 100 meter kubik per detik. (KHAERUDIN/AUFRIDA WISMI)
Post Date : 07 Januari 2011
|