|
Sengatan sinar matahari, Kamis (9/8), tak menyurutkan niat Odo (70) mengantar air ke rumah pelanggannya di sekitar Kelurahan Ciroyom, Kecamatan Andir, Kota Bandung. Pria lanjut usia ini terus mendorong gerobak berisi 10 jeriken yang masing-masing dipenuhi 25 liter air. Rumah demi rumah dia datangi untuk mendistribusikan air yang semakin langka saat musim kemarau tiba. Ketika warga kesulitan air, orang-orang seperti Odo ini ibarat pahlawan. Kedatangan mereka selalu ditunggu. Odo dan rekan sekerjanya juga merasakan bahwa musim kemarau telah membawa berkah. "Kalau sedang kemarau, yang beli air semakin banyak," kata Odo yang menjual air seharga Rp 5.000 per 10 jeriken atau setara dengan 250 liter. Odo menjelaskan, saat kemarau yang disusul dengan mengeringnya sumur warga, penjualan airnya bisa mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan hari-hari saat sumur warga masih berisi air. Dalam sehari Odo bisa mengantongi keuntungan bersih hingga Rp 40.000. "Ini sudah dikurangi pembelian air kepada yang punya sumur," ujar Odo. Ternyata air yang dijual Odo tersebut dia beli seharga Rp 2.000 per 10 jeriken dari pemilik sumur. Odo mendapat jatah maksimal 100 jeriken atau 10 gerobak dalam sehari. Pembatasan ini untuk mencegah terjadinya rebutan air sesama penjual air. Sebab, saat kemarau debit sumur tempat Odo mengadu nasib juga ikut berkurang. Dayat (51), penjual air lainnya, mengatakan, saat kemarau omzetnya malah menurun. Ini karena debit air sumur tempat dia mengambil air menyurut sehingga dia tidak bisa mengambil air sebanyak pada saat musim hujan. "Saya sebenarnya sudah memiliki pelanggan tetap. Kalau musim kemarau begini, banyak pelanggan yang tidak kebagian air karena air sumur di pangkalan sudah habis," papar Dayat. Untuk menyiasati agar jumlah pelanggan tidak berkurang, Dayat menerapkan sistem bergilir. Pelanggan yang biasanya mendapat jatah air setiap hari kini hanya dua atau tiga hari sekali didatangi Dayat. Cara ini dinilai Dayat cukup efektif. Paling tidak, hingga saat ini tidak ada pelanggan Dayat yang mengeluh atau merasa diperlakukan tidak adil. Lain halnya dengan Andi (36), penjual air gerobak di Kelurahan Dungus Cariang, Kecamatan Andir. Dia amat merasakan berkah saat musim kemarau tiba. Pelanggan yaang awalnya hanya belasan orang bisa melonjak hingga puluhan orang. Bahkan, tidak jarang dia kerepotan memenuhi kebutuhan air para pelanggannya. "Soalnya, rumah pelanggan saya itu banyak yang jauh," kata Andi. Andi membeli air seharga Rp 2.500 per 10 jeriken atau per gerobak. Air ini kemudian dijual dengan harga Rp 10.000-Rp 12.000 per 10 jerikan. Besarnya harga ini bergantung dari jarak rumah pelanggan dari sumber air. Makin jauh, makin mahal harganya. Andi dan teman-temannya tidak mau disebut sebagai penjual air. Mereka hanya meminta ganti tenaga mengantar air dari sumber ke rumah warga. Bahkan, oleh karena usia yang semakin renta dan tenaga yang semakin berkurang, Eman (46) hanya mendorong gerobak berisi 5 jeriken, bukan 10 jeriken sebagaimana para penjual air lainnya. Menurut dia, untuk mendorong gerobak berisi 5 jeriken penuh air sudah sangat melelahkan, apalagi jika harus mendorong 10 jeriken. "Kalau dulu waktu masih mudah, kuat-kuat saja. Sekarang sudah tua. Tenaga sudah tidak ada," ujar Eman. Eman sudah hampir 20 tahun menjadi penjual air. Pekerjaan ini ditekuninya setelah dia lelah mencari pekerjaan lain. Bagi lulusan SD dengan tiga anak ini, mencari pekerjaan yang lebih bergengsi tidaklah mudah. "Yang penting sekarang bisa menghidupi keluarga," ujarnya. Solidaritas tinggi Para penjual air memiliki solidaritas yang tinggi dengan penjual air lainnya. Tidak ada persaingan yang tajam dalam memperebutkan pelanggan. Malah, sering kali penjual air meminta penjual air lainnya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Selain sebagai upaya pemerataan rezeki, cara ini juga karena tidak semua penjual air mampu memenuhi kebutuhan pelanggan. Selain itu, banyak dari mereka yang menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan. Paling tidak ini yang dilakukan Jeje (42) dan Romdon (42) yang berjualan air di sekitar Kelurahan Warung Muncang, Kecamatan Bandung Kulon. Pekerjaan Jeje sebenarnya petani. Karena tidak memiliki lahan garapan lagi, kini dia lebih banyak menjadi buruh tani. Pada saat kemarau atau sepi pekerjaan di ladang dan sawah di kampungnya, Tasikmalaya, dia pergi ke Bandung mengadu nasib sebagai penjual air gerobak. Lumayan, dalam sehari dia mampu memperoleh keuntungan bersih antara Rp 40.000 hingga Rp 50.000. Belakangan, pola kerja Jeje sebagai penjual air berubah. Dia hanya boleh berjualan air selang-seling selama sebulan. Bulan ini berjualan, bulan depan libur. Ini karena jumlah gerobak yang tersedia di pangkalan sumber air hanya tiga buah, sementara jumlah penjual air bertambah menjadi enam orang. "Kalau sedang libur kerja, saya pulang kampung. Di rumah ada saja yang bisa dikerjakan. Kalau lagi untung, biasanya ada orang yang mengajak kerja serabutan di sawah," ujar Jeje. (Mohammad Hilmi Faiq) Post Date : 10 Agustus 2007 |