Mengais-ngais Sampah untuk Sekolah

Sumber:Kompas - 25 September 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Suatu pagi, Heri, pemulung barang-barang bekas, nyaris menjadi amukan seorang warga di suatu perumahan mewah. Gerobak yang selalu ia bawa ke mana ia pergi mengais-ngais sampah ditahan warga, sementara Heri yang kala itu masih duduk di kelas VI sekolah dasar diinterogasi warga.

Kamu kan yang mencuri dua pasang sepatu anak saya tempo hari?" Heri didorong sampai punggungnya menempel di tembok.

"Sumpah Om, saya enggak nyuri, saya cuma nyari barang-barang bekas."

"Ah, bohong kamu. Pergi kamu dari sini dan jangan pernah kemari lagi!"

Heri mengenang peristiwa tiga tahun lalu saat kami menemuinya. Minggu, (17/9), kami baru bisa menemuinya bersama kedua adiknya setelah tiga hari berturut-turut berada di tempat penampungan barang-barang bekas, di tanah seluas 1.000 meter persegi di Desa Jombang, Ciputat, Tangerang.

"Orang itu mengira saya yang mencuri hanya karena kebetulan saya sedang nyari di tempat sampahnya," kenang Heri yang masih mengenakan pakaian kerjanya, yakni pakaian sehari-hari yang di beberapa tempat sudah dihiasi tambalan, sementara kotoran kering lekat menempel di bagian depannya.

Agak sulit menemui Heri dan dua adik laki-lakinya, Hedi dan Hadi, sebab pagi hari mereka berangkat sekolah dan sehabis pulang sekolah langsung mencari barang-barang bekas sampai magrib menjelang. Di tempat penampungan barang-barang bekas itulah Heri tinggal bersama orangtua dan adik-adiknya.

Hari Minggu mestinya hari bermain bagi umumnya anak-anak. Tetapi bagi Heri, Hedi dan Hadi, hari luang itu justru dijadikan hari ekstra untuk mencari barang-barang bekas di perumahan-perumahan di sekitar kawasan elite Bintaro. Pada hari Sabtu dan Minggu, banyak ibu rumah tangga membuang sepatu, baju atau pakaian bekas. Kalau rezeki itu datang, pakaian dan sepatu bekas itu untuk mereka pakai.

Sehari sebelumnya Heri mendapatkan tas sekolah bekas yang dibuang seorang warga. Murid kelas III SMP Paramarta, sebuah SMP swasta di Jombang, ini kemudian mencuci dan membersihkannya. Hari ini saat kami menemuinya, tas sekolah bekas itu masih tergantung di jemuran. "Saya mau memakainya besok, Om," katanya.

Nama lengkapnya adalah Heri Setiawan (15) yang bersama dua adik laki-lakinya, Hedi Susanto (13) dan Hadi Prayitno (10), merupakan keluarga pemulung. Adik perempuannya, Herni (4), masih terlalu kecil untuk ikut memulung. Hanya memang, mereka berasal dari keluarga pemulung. Ayah mereka, Yono, juga seorang pemulung. Sedangkan sang ibu, Hadijah, mengurus rumah tangga.

Di tempat penampungan barang-barang bekas itu terdapat 30 bedeng terbuat dari bilik bambu atau tripleks. Tiap-tiap bedeng yang hanya terpisahkan sekat-sekat tanpa jarak itu berukuran lebih kurang 1,5 x 2 meter. Di sanalah 25 keluarga menumpang hidup. Bedeng dan gerobak disediakan oleh Ajid, juragan penampung barang-barang bekas. Ajid yang biasa dipanggil "bos" itu mempekerjakan para pemulung, termasuk keluarga Yono serta tiga anaknya.

Tempat operasi

Tempat operasi mereka berlainan. Yono, sang ayah, sejak subuh sudah berangkat "nyari", istilah yang biasa mereka pakai untuk memulung. Ketiga anaknya, Heri, Hedi, dan Hadi, beroperasi kala sekolah usai, sekitar pukul 13.00 setiap hari. Heri sudah biasa nyari sendiri dengan gerobak sendiri, sedangkan Hedi dan Hadi selalu berdua, tetapi sudah membawa gerobak masing-masing.

"Sebenarnya saya sudah berani sendiri, Om, cuma kasihan sama Hadi yang masih kecil," kata Hedi yang duduk di kelas I SMP, satu SMP dengan Heri, tentang adiknya. Hadi masih bersekolah di SD Sawah Baru I kelas V. Tetapi dalam mencari barang-barang bekas, kedua abangnya mengaku bahwa Hadi jauh lebih terampil. "Sampai ini hari saja gerobaknya sudah penuh tuh, Pak," sela ibunya, Hadijah, di tengah perbincangan.

Ia seorang ibu asal Rangkasbitung, Banten, yang sudah menikah saat masih berusia 15 tahun. Saat bertemu Yono 16 tahun lalu, suaminya yang asal Semarang itu sudah mencari nafkah sebagai pemulung di Rangkasbitung. Pekerjaan yang tidak berubah sampai sekarang.

Tetangga Hadijah, Arni dan Nia, ikut mendengar perbincangan kami. Sementara para suami mereka, termasuk suami Hadijah, saat itu belum pulang dan masih menjalani pekerjaan rutinnya. Hadijah sendiri saat itu tengah memasak sayur di atas tungku bertenaga kayu bakar. Ia memasak sayur dan menanak nasi untuk makan keluarganya.

Jika disatukan, penghasilan bapak dan ketiga anak-anaknya itu setiap dua minggu, saat proses pengiloan barang berlangsung, bisa mencapai Rp 700.000. Karena sebulan berlangsung dua kali pengiloan, setiap bulannya keluarga Yono bisa menghasilkan Rp 1,4 juta. Uang sebesar itulah yang menghidupi keluarga itu, termasuk untuk biaya sekolah.

Hadijah, misalnya, menghitung, untuk biaya sekolah Heri per bulannya Rp 50.000, Hedi Rp 60.000, dan Hadi Rp 15.000. Total sudah Rp 125.000. Anak-anaknya masing-masing mendapat Rp 3.000 sebagai bekal untuk sekolah, sehingga rata-rata per bulan Rp 250.000. "Sisanya ya buat makan, Pak," kata Hadijah yang fasih menghitung pengeluarannya.

Hadijah dan Yono, Hadi dan si bungsu Herni tidur satu ruangan, sementara Heri dan Hedi, karena dua-duanya sudah SMP dan sudah beranjak dewasa, diberi satu bedeng terpisah oleh Ajid. Sama seperti umumnya kamar anak-anak, di kamar Heri terdapat poster Spiderman, lemari bekas pakaian, kasur yang tanpa seprai, dan beberapa onggok kertas bekas yang siap dijual. Semua berjejalan di bedeng itu.

Heri yang bercita-cita meneruskan sekolahnya tahun depan ke STM sudah menjadi pemulung sejak kelas IV SD di Rangkasbitung. Ia bertekad akan terus menjadi pemulung untuk membiayai pendidikannya, demikian juga Hedi dan Hadi.

"Kami tidak memaksa anak-anak nyari. Hanya saya bilang tidak bisa membiayai sekolah. Bolehlah kami dikatakan memeras tenaga anak-anak jika itu untuk keperluan rumah tangga. Tetapi mereka nyari buat biaya sekolah mereka, sesuai kemauan mereka," kata Hadijah tentang ketiga anaknya.

Heri mengaku hampir semua teman sekelasnya tahu apa yang ia kerjakan selepas pulang sekolah, termasuk guru-gurunya. Tetapi sejauh itu, teman-teman jarang menghinanya sebagai pemulung. "Ada juga yang menghina, Om, tetapi saya bilang, Elu tuh yang harusnya malu, sekolah dibiayain orangtua. Biasanya mereka malu sendiri," katanya.

Akil balig

Sebagai anak yang beranjak akil balig, Heri mengaku pada dirinya timbul perasaan suka terhadap lawan jenis, teman-teman perempuan sekelasnya. Tetapi ia mengaku harus lebih berkonsentrasi pada pelajarannya. "Apa ada Om cewek zaman sekarang yang mau pacaran sama pemulung?" kata Heri dengan nada bertanya. Kami semua terpancing untuk tertawa.

Barang-barang bekas yang Heri dan adik-adiknya cari umumnya plastik bekas minuman kemasan, kertas dan karton bekas, dan juga logam. Tetapi sebagai anak-anak, mereka akan senang kalau menemukan mainan. "Beyblade (gasing) ini juga hasil mulung, Om," kata Hadi menunjukkan mainannya.

Demikian juga sepatu dan baju sehari-hari yang mereka kenakan, sebagian besar dari hasil memulung, seperti tas sekolah yang ditemukan Heri yang kini sudah kering di atas jemuran.

Satu hal yang mereka keluhkan, dan ini keluhan umum para pemulung, bahwa rata-rata tempat sampah di perumahan sudah dikunci rapat-rapat pemiliknya. Ini karena pemilik rumah tidak mau tempat sampahnya diacak-acak binatang atau pemulung. Padahal, dari barang-barang bekas yang masuk tempat sampah itulah Heri, Hedi, dan Hadi bisa bersekolah. PEPIH NUGRAHA

Post Date : 25 September 2006