|
Bila musim kemarau tiba, hanya satu tempat yang dituju warga Kampung Rancamoyan, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, untuk mendapatkan air bersih. Sumur milik warga mengering. Dengan berjalan kaki, warga menenteng jeriken plastik, ember, atau wadah lain yang bisa dipakai, melintasi jalanan berbatu dan tandus dengan latar belakang karst Citatah. Tujuan mereka adalah mushala berukuran 2 meter x 4 meter di perbatasan RW 13 dan RW 14. Di samping mushala itu terdapat ruang kecil berisi bak dari semen. Wadah itulah yang menampung kucuran air dari sebuah lubang kecil. Wadah yang dibawa warga lantas diisi penuh untuk dipakai berbagai kebutuhan di rumah, mulai memasak atau diminum. Untuk mencuci atau mandi, mereka memilih menggunakan air di tempat itu. ”Sejauh yang saya ingat, beginilah rutinitas warga setiap musim kemarau tiba,” ujar Ai (40), warga Kampung Rancamoyan. Pemandangan yang lumrah ditemui adalah antrean warga untuk mendapatkan air bersih. Ganti strategi Itulah masalah yang ingin dipecahkan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) dari program studi Teknik Geologi, Teknik Kimia, dan Teknik Lingkungan dalam program pengabdian Geohumanism 2012. Mereka merintis upaya mengatasi kekurangan air bersih itu sejak tiga tahun lalu dengan pengeboran, tetapi gagal. ”Sudah ada dugaan mengenai batuan yang mengandung air melalui survei geolistrik, tetapi jaraknya terlalu dalam sehingga tidak ekonomis,” ujar Edwin Yudha Nugraha, Ketua Panitia Geohumanism 2012, pekan lalu. Salah satu kendala mencari air di pegunungan kapur adalah lokasinya yang tak berupa hamparan. Mereka mencari cadangan air yang terjebak di antara bebatuan yang memiliki porositas tinggi. Jalan yang ditempuh adalah pemetaan melalui survei geolistrik. Hasilnya berupa angka yang menunjukkan tingkat resistivitas bebatuan. Dengan mengebor sedalam 60 meter, mereka sempat mendapatkan air. Namun, tidak lama setelah ditarik air berhenti mengalir. Disimpulkan, yang dibor ternyata bukan aliran air dalam yang debitnya konsisten. Strategi diubah dengan memusatkan perhatian pada sumber air yang selama ini dipakai warga. Meski debitnya hanya 60 mililiter per detik, mata air itu mengalir konstan bahkan pada musim kemarau sekalipun. Selama ini air yang mengalir hanya ditampung di bak kecil dan dibiarkan terbuang sia-sia jika wadahnya penuh. Mahasiswa pun membangun bak berukuran 2 meter x 8 meter persegi sedalam 1,5 meter untuk menampung air yang didistribusikan dengan pipa ke tiga titik penampungan. Sebelumnya air di bak juga diolah melalui saringan yang terdiri atas pasir silika, karbon aktif, serta kerikil yang biasa didapatkan pada filter air. ”Air harus disaring sebab kesadahannya tinggi atau mengandung kapur yang bisa berakibat buruk bagi tubuh bila terus menerus dikonsumsi tanpa diolah dahulu,” ujar Karissa Mayangsunda Philomella, mahasiswa Teknik Lingkungan. Sebagai tambahan, dibuat pula sarana pemanfaatan air hujan dengan mengarahkan talang air ke tempat penyimpanan untuk disaring sebelum dipakai warga. Rekahan batu Ahli geologi dari ITB, Budi Brahmantyo, menjelaskan, gunung kapur, meski tandus, tetap bisa menyimpan air melalui rekahan di permukaan dan terus turun hingga permukaan batuan lempung yang tak bisa ditembus air. Air akan terbawa sepanjang permukaan lempung hingga sampai di permukaan. Itulah sebabnya mata air ditemukan di kaki bukit. Ia memisalkan karst Gunung Sewu di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, yang memiliki cadangan air melimpah di Bribin. ”Air yang keluar dari gunung kapur adalah hasil penangkapan air hujan yang terjadi puluhan tahun silam,” kata Budi. Karena itu, lanjut Budi, gunung kapur tak boleh mematahkan semangat warga untuk mencari air bersih. (Didit Putra Erlangga) Post Date : 29 Agustus 2012 |