|
Rumah itu terlihat biasa saja. Dilihat dari luar, cat warna putih yang memoles seluruh dinding rumah, tetap tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa. Letak rumah itu di Desa Parungserab, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung. Namun, jika memasuki rumah tersebut, Anda akan mulai tahu apa yang istimewa di sana. Terdapat tumpukan sampah yang tidak terlalu tinggi. Beberapa orang, terlihat sibuk memilah-milah bagian-bagian sampah. Sampah organik, dipisahkan dari sampah-sampah plastik dan sampah yang berupa kaleng dan barang-barang pecah belah. ''Sebenarnya, mengolah sampah itu mudah. Asal, sampah tidak dibiarkan menumpuk lebih dari satu hari,'' kata Asep Iskandar, ketua Kelompok Pelaksana Kegiatan Parungserab Bersih (KPK Paber). Jika lebih dari satu hari dibiarkan menumpuk, ujar pria yang akrab dipanggil Cecep ini, sampah tersebut akan sulit diolah. Sama halnya, kata dia, seperti yang dialami Kota Bandung dan Kota Cimahi. Menurut Cecep, persoalan sampah yang terus menumpuk dan tidak pernah diolah tidak lepas dari tidak adanya tanggung jawab masyarakat dan tentunya pemerintah daerah. Kata dia, jika saja sampah tersebut diolah secara mandiri, tentunya, sampah tidak akan jadi masalah. ''Kami sudah melakukan itu. Minimal, sampah tidak pernah lagi menjadi persoalan di Desa Parungserab,'' cetus Cecep. Menurut dia, seluruh sampah rumah tangga yang berada di Desa Parungserab, setiap hari habis diolah oleh KPK Paber. Selain itu, masyarakat di Parungserab tidak pernah dipungut biaya retribusi sampah oleh KPK Paber. Dijelaskan Cecep, biaya operasional untuk mengolah sampah tidak diambil dari masyarakat. Biaya pembelian bahan bakar, gaji pegawai, serta pembelian obat-obatan untuk membantu proses pengolahan sampah, papar dia, diperoleh dari selisih penjualan hasil pengolahan sampah yang berupa pupuk kompos dan benang plastik (maklon). ''Sampah itu emas. Tidak ada sesuatu yang terbuang dari sampah. Semuanya bisa menjadi uang,'' ungkap Cecep. Menurut Cecep, sampah yang berasal dari kaleng dan barang pecah belah itu dikumpulkan untuk dijual kepada tukang rongsokan. Sedangkan sampah plastik, seperti kantong plastik, botol plastik, diolah menjadi benang-benang plastik (maklon). ''Maklon dari plastik ini sangat dicari oleh perusahaann-perusahaan yang mendaur ulang plastik. Harganya juga lumayan, Rp 800 per kilogram,''ujarnya. Sedangkan sampah organik, kata dia, diolah menjadi pupuk kompos. Untuk mengolahnya, KPK Paber memiliki alat pengolah yang berasal dari bantuan pemerintah pusat. Hasil olahan sampah organik tersebut, kata dia, kemudian ditaburi obat-obatan kimia untuk mempercepat pembusukan. Selanjutnya, sampah yang telah diolah tersebut disaring untuk memisahkan sampah yang tidak terolah dengan baik (residu). Residu itu kemudian dibakar. Abu hasil pembakarannya, lanjut Cecep, dicampurkan dengan hasil olahan sampah yang telah disaring. ''Sampah itu telah menjadi pupuk kompos dan sudah bisa dijual seharga Rp 400 per kilogram,'' katanya. Cecep mengakui, harga pupuk kompos buatannya masih terbilang murah dibanding pupuk kompos lain yang sudah terkenal. Upaya untuk mempromosikan kompos buatannya terus dilakukan. Harga tersebut, kata dia, merupakan harga promosi. Meskipun sudah mengolah 'emas' sampah, Cecep mengaku masih memiliki obsesi. Yaitu, mengupayakan agar sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Bandung beralih menggunakan pupuk kompos. Selain untuk mengurangi residu kimia dari pupuk kimia, ia berujar, pendapatan petani menjadi minim karena biaya operasional saat menggunakan pupuk kimia sangat mahal. (rfa ) Post Date : 01 Juni 2006 |