Menerka Hujan di Hulu Progo

Sumber:Majalah Tempo - 11 Februari 2008
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
DARI hulu Sungai Progo, Yogyakarta, gagasan itu menggelontor. Feriyonika, 22 tahun, mendapati pepohonan di daerah aliran sungai ini sudah berganti menjadi rumah, sawah, hingga lahan kritis yang terbengkalai begitu saja. Pepohonan yang berfungsi sebagai penahan air di daerah aliran sungai Progo makin menyusut sehingga rawan terjadi bencana di hilir kalau di hulu hujan.

Meski kawasan Progoyang berhulu di Gunung Merapi dan bermuara di Lautan Indiasudah kritis, masyarakat di sekitar sungai tidak memiliki persiapan menghadapi kemungkinan bencana. Feri lalu mengajak rekannya sesama mahasiswa Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (UGM) membuat alat yang bisa memprediksi kedatangan banjir kiriman lebih awal.

Feriyonika mengatakan, pembuatan alat itu berawal dari diskusi ringan di Forum Angkatan Muda Persatuan Insinyur Indonesia di kampusnya. Ferisapaan akrabnyabersama Ahmadi, Zauwiyah, dan Agustiya Hidayati bermufakat membuat alat yang bisa memperkirakan kedatangan sebak alias banjir dari hulu. Untuk mendapatkan data sungai, mereka menggandeng mahasiswa Jurusan Geografi UGM, Fajar Sidik. Alat ini memang membutuhkan lintas keilmuan, ujar Feri.

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya, Kami memilih dipasangnya sistem peringatan dini, baik untuk banjir maupun tanah lonsor, kata Fajar.

Feri bertugas membuat peranti lunak dengan jaringan saraf tiruan. Ahmadi menangani bagian sensor curah hujan, pengolahan sinyal, dan perlengkapannya. Zauwiyah dan Agustiya Hidayati kebagian mengurus transmisi. Fajar mendalami pemodelan hidrologi sungai.

Alat buatan Feri dan kawan-kawan ini terdiri atas sensor hujan, penerima data dari sensor, serta seperangkat komputer. Alat sensor, yang ditempatkan di sekitar hulu, akan mengirimkan data melalui gelombang radio setiap satu jam. Fajar mengatakan, penempatan peranti ini perlu memikirkan kemiringan lereng dan cakupan luas jangkauan. Di sekitar alat sensor juga tidak boleh ada arus putar.

Data hujan lalu terkirim ke komputer yang memiliki jaringan saraf tiruanseperti kecerdasan buatan. Dari komputer ini bisa diketahui kemungkinan ketinggian air dan waktu datangnya di beberapa titik, 10 kilometer hingga 55 kilometer. Jarak lokasi itu bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Jaringan saraf tiruan mengacu pada data curah hujan minimal 20 tahun ke belakang. Hasil olahan sistem ini berupa jarak, waktu, dan tinggi muka air. Data itu dapat dijalankan orang tanpa harus melek teknologi komputer. Aplikasi yang ramah buat pengguna awam ini berasal dari program Visual Basic.

Feri membuat program itu sambil menyelesaikan studinya, Agustus lalu. Dia begadang hampir sebulan penuh berkutat dengan jaringan saraf tiruan ini. Rekan satu timnya juga tidak kalah semangatnya. Diskusi bisa dilakukan di markas forum insinyur muda atau kos-kosan anggota. Ada yang sampai kebawa mimpi segala, katanya.

Alat ini lalu diikutsertakan dalam lomba teknologi elektronika mahasiswa se-Indonesia di Institut Teknologi Bandung, November tahun lalu. Hasilnya, tim UGM menjadi juara dalam kategori teknologi elektroteknik untuk peringatan dini dan penanggulangan bencana.

Menurut Feri, alat ini bisa disempurnakan dengan membuat pemodelan sungai yang lebih panjang. Selain itu, jaringan saraf tiruan juga bisa dirancang untuk bisa melatih sendiri. Agar lebih sip, sensor hujan perlu memiliki pemancar lebih kuat. Dia mengatakan, alat pendeteksi banjir ini bisa dipakai di wilayah lain, termasuk hulu sungai yang mengalir ke Jakarta. Tapi harus ada penelitian lagi mengenai data curah hujan tempat alat sensor akan dipasang, kata Feri.Yandi M.R., Bernarda Rurit (Yogyakarta)



Post Date : 11 Februari 2008