Mendesak, Reduksi Sampah

Sumber:Indopos - 03 Desember 2007
Kategori:Sampah Luar Jakarta
MALANG -Pemkot Malang berupaya menyeriusi kembali rencana menggandeng investor pabrik sampah untuk mereduksi (mengelola) 1.800 meter kubik sampah per hari yang terus menumpuk. Langkah itu dianggap mendesak karena hasil reduksi sampah dengan pengomposan di tempat pembuangan sampah (TPS) selama ini, belum efektif.

Terlebih, jika pemkot hanya mengandalkan lokasi pembuangan sampah, maka akan menghadapi persoalan yang sangat riskan. Kapasitas sel di lokasi pembuangan akhir (LPA) semakin kecil dan diperkirakan cukup untuk empat tahun ke depan.

Kadis Kebersihan Sumartono mengakui, selama 2,5 tahun semenjak diprogramkan, pemkot hanya bisa membangun 10 rumah pengomposan di 10 TPS. Di seluruh Kota Malang, ada 76 TPS yang menampung sampah dari rumah tangga dan berbagai sektor sebelum dibawa ke LPA Supit Urang, Sukun. Kalau setiap tahun dibangun lima rumah kompos, pemkot membutuhkan waktu selama 13 tahun.

Kecepatan reduksi sampah dengan pengomposan di 10 TPS, lanjut Sumartono, tidak sebanding dengan pertambahan sampah per harinya. Kalau sampah per harinya mencapai 1.800 meter kubik, pengomposan per harinya hanya sekitar 52 meter kubik. Atau 2,9 persen dari sampah yang diproduksi setiap harinya. "Masih sangat jauh. Per harinya, masing-masing rumah kompos yang ada rata-rata hanya 5 meter kubik saja," ungkap Sumartono.

Setiap tahunnya, ungkap Sumartono, ada rencana untuk menambah jumlah rumah kompos. Seandainya 76 TPS semuanya dilengkapi rumah kompos, sampah yang tereduksi masih di kisaran 380 meter kubik per harinya. Itu pun dalam waktu yang relatif lama.

"Tetap masih jauh dari jumlah per harinya rata-rata 1.800 meter kubik. Padahal, sampah juga akan terus bertambah seiring dengan semakin padatnya penduduk," ungkap Sumartono.

Bagaimana dengan pemilahan sampah oleh pemulung? Sumartono mengatakan memang untuk sampah kering bisa direduksi oleh para pemulung. Namun efektifitas reduksi sampah yang dilakukan oleh pemulung juga tidak secepat produksi sampah amsyarakat. Sehingga tetap diperlukan alternatif lain. "Paling berapa kubik yang bisa diambil oleh pemulung. Sekitar 200 meter kubik per harinya," ungkap mantan kadisperindag ini.

Mengandalkan kapasitas LPA juga sangat berisiko. Sistem sanitary landfill yang diterapkan selama bertahun -tahun dianggap sangat memboroskan lahan. Padahal untuk mencari lahan perluasan LPA bukan perkara mudah. Bahkan di lokasi sekitar LPA pun, masyarakat jarang yang bersedia menjual lahannya untuk ditempati tumpukan sampah.

Menurut Sumartono, setiap harinya, volume sampah yang masuk ke LPA ditampung di sel VI. Sel VI merupakan sel terakhir yang ada di LPA seluas 11,8 hektar tersebut. Sel I hingga sel V telah penuh dan tidak memungkinkan untuk digunakan kembali. Sampah yang masuk di tumpuk di dalam sel kemudian ditimbun dengan tanah.

Pemecahan masalah yang ditawarkan adalah menggunakan sistem pengolahan sampah multifunction solid waste treatment. Sampah masuk dalam sebuah pabrik dan keluar menjadi berbagai produk setengah jadi. "Sistem ini telah digunakan di negara maju. Efektivitasnya bisa menyerap 800 meter kubik sampah per harinya," ungkap Sumartono.

Perkembangan kerjasama dengan investor, Sumartono mengatakan hingga kini masih dalam tahap awal. Sebab setelah penolakan warga Arjowinangun beberapa waktu lalu, pemkot harus kembali menata ulang. "Yang pasti, pabrik sampah ini mendesak," ungkapnya.

Untuk diketahui, awal 2007 lalu dewan dan eksekutif sepakat untuk menerima investor yang akan membangun pabrik sampah. Hampir semua masyarakat juga memberikan apresiasi positif soal pabrik sampah itu. Namun dalam proses pembangunannya ada penolakan yang dilakukan warga Arjowinangun. Investor pun membatalkan rencananya. Hingga kini, volume sampah terus menumpuk dan belum ada solusi efektif untuk mengelolanya. (yos)



Post Date : 03 Desember 2007