Model pengajaran interaktif pendidikan lingkungan hidup menarik minat dan mengubah perilaku siswa. Banyak sekolah yang menjadikannya sebagai pelajaran wajib. Kekurangan alat peraga, tenaga pengajar, dan dana.
Siswa kelas II SMP PGRI 2 Batu, Malang, Jawa Timur, itu berbagi tugas. Ada yang menyapu lantai, menyiram tanaman, dan menyapu halaman. Sampah-sampah yang terkumpul mereka pilah antara yang basah dan kering, lalu dibuang ke bak sampah yang berbeda pula.
Berkat piket kebersihan rutin sebelum pelajaran dimulai itu, para siswa merasa nyaman ketika belajar di kelas. Lantai ruang kelas berkeramik putih pun terlihat mengilat. Pot bunga di sudut-sudut ruang kelas membuat suasana kelas kian asri. Kerindangan pohon di halaman sekolah menambah kesejukan udara.
"Piket kebersihan ini adalah bagian dari praktek pendidikan lingkungan hidup," kata Ida Sudiar, salah satu siswi di sekolah itu. Sebagian materi pendidikan lingkungan hidup (PLH) memang langsung terkait dengan kehidupan sehari-sehari. Misalnya cara mandi yang benar sehingga tidak mencemari air dan memanfaatkan limbah air mandi.
Sebagai siswa kelas II (kelas VIII) SMP, Ida juga menerima materi PLH yang terkait dengan tema-tema serius. Antara lain fungsi hutan dan pemanfaatannya, keanekaragaman hayati, perladangan berpindah, dan kebakaran hutan. Nanti, ketika naik ke kelas III, Ida akan belajar lebih banyak lagi. Dari mengidentifikasi sumber pencemaran, dampak pencemaran, audit lingkungan, eco-labeling, hingga pentingnya pengembangan sumber energi terbarukan.
Wakil Kepala SMP PGRI 2, Riani, menyatakan bahwa materi PLH itu sudah baku karena termasuk muatan lokal di Kota Batu. Mereka mengajarkan PLH sejak tahun ajaran 2004-2005. "Tujuan pemberian materi PLH, agar para siswa peduli dan ikut melestarikan lingkungan," kata Riani.
Agar pelajaran PLH mudah diserap, mereka memilih lebih banyak memberikan waktu praktek lapangan daripada memberikan teori di dalam kelas. Jadi, untuk memberikan pemahaman tentang dampak negatif air limbah pada lingkungan, para siswa diajak ke sungai yang tercemar limbah.
Di sana, para siswa bisa melihat langsung bagaimana limbah mematikan kehidupan di sungai. Juga mencemari lingkungan, seperti mengotori sumur, sehingga bisa mengganggu kesehatan penduduk. Kesadaran lingkungan, menurut Riani, sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem kota Batu yang bertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan.
Posisi kota Batu yang berada di wilayah hulu juga berpengaruh besar pada daerah hilir. Bila hutan-hutan di Batu gundul dan ekosistemnya rusak, bencana longsor dan banjir pun menanti. Tidak hanya di Batu, melainkan juga hingga daerah hilir yang dilalui Sungai Brantas.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu, Mistin, pertimbangan itulah yang mendasari pihaknya mewajibkan PLH untuk semua jenjang pendidikan sekolah sejak lima tahun silam. "Di TK dan SLB (sekolah luar biasa) pun diberikan materi PLH," kata Mistin. Pada saat ini, PLH diajarkan di 85 SD, 27 SMP, 11 SMA, dan 10 SMK di kota Batu. Tiap-tiap sekolah diberi kebebasan untuk menentukan jam pelajaran. "Boleh satu atau dua jam setiap pekan," ujar Mistin.
Penerapan PLH sebagai muatan lokal juga dilakukan Dinas Pendidikan Kota Bandung sejak 2007. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Oji Mahroji, kebijakan ini dilatarbelakangi sejumlah persoalan pelik lingkungan hidup yang terjadi di Bandung. Ada masalah sampah, minimnya ruang terbuka hijau, tipisnya cadangan air, hingga tata ruang yang semrawut.
"Pendidikan berperan menyiasati perubahan perilaku. Salah satunya, ya, dengan ditetapkannya PLH menjadi muatan lokal. Sebab, bila dimasukkan ke mata pelajaran lain seperti sebelumnya, kurang efektif," kata Oji. Seperti di Batu, alokasi waktu muatan lokal PLH di Bandung diserahkan kepada tiap-tiap sekolah.
Di sekolah favorit, SMA Negeri 5 Bandung, pada tahun pertama PLH masuk intrakurikuler dengan durasi satu jam. Pertimbangannya, beban siswa sudah berat dengan 18 mata pelajaran. Pada tahun kedua, alokasi waktu untuk PLH ditambah menjadi dua jam. Menurut Nining Sugiarti, koordinator guru PLH SMAN 5, penambahan waktu itu diperlukan agar praktek lapangan bisa terlaksana dengan baik. "Kalau satu jam, praktek sering tidak selesai," kata guru biologi itu.
Nining mengakui, menanamkan kecintaan lingkungan hidup pada tingkat SMA memang sulit. Karena itu, para guru PLH terus berusaha mengembangkan kreasi ketika mengajar. Agar penjelasan soal teori tak membosankan, mereka mengadakan pemutaran film, main game, dan berdiskusi di dalam kelas.
Hasilnya, para siswa SMAN 5 Bandung lebih mudah menyerap materi dan menikmati PLH. "Asyik, nggak monoton, bahkan kadang bisa jalan-jalan," tutur Fauzi, siswa kelas II SMA 5 Bandung yang tak pernah lagi membuang sampah sembarangan. Ketertarikan dan perubahan perilaku siswa setelah mendapat PLH memang menjadi indikator utama pencapaian tujuan pelajaran ini.
Meski penerapan PLH di dua kota itu bisa berlangsung relatif lancar, masih ada beberapa kendala yang harus dihadapi. Yakni kekurangan alat bantu pengajaran, kekurangan tenaga guru yang menguasai materi PLH, kekurangan dana, hingga ketiadaan dukungan dari pihak-pihak terkait.
Model pengajaran yang menitikberatkan pada praktek membuat PLH membutuhkan banyak alat bantu. "Misalnya, untuk praktek pembibitan dan pengomposan, perlu cangkul, bibit, dan pupuk. Dan itu mahal," ujar Nining.
Selama ini, tak ada bantuan khusus untuk PLH dari Dinas Pendidikan maupun Departemen Pendidikan Nasional. Dana dari pihak sekolah juga terbatas karena harus dibagi dengan belasan mata pelajaran lain. Alhasil, mereka sering bergantung pada donasi pihak luar, seperti kampus dan lembaga swadaya masyarakat lingkungan.
Ketiadaan koordinasi dengan pihak lain, seperti Dinas Kebersihan, juga terjadi di Bandung. Sehingga sampah-sampah organik dan non-organik, yang telah dipisahkan di SMAN 5, kembali dicampur ketika diangkut truk sampah. Kondisi ini membuat para siswa menilai pemilahan sampah itu percuma saja.
Nah, kendala koordinasi seperti itu menuntut sekolah mencari alternatif lain. SMP PGRI 2 Batu telah berhasil melakukannya. Mereka menjalin kerja sama dengan karang taruna setempat untuk mengolah sampah sekolah. Para pemuda karang taruna mendaur ulang suplai sampah sekolah itu. Sampah non-organik diolah menjadi tas dan aneka kerajinan lainnya. Sedangkan sampah organik dimanfaatkan menjadi pupuk.
Jalan Berliku Memasuki Kurikulum Nasional
Kementerian Negara Lingkungan Hidup sudah cukup lama mengusulkan pendidikan lingkungan hidup (PLH) menjadi pelajaran wajib dalam kurikulum sekolah. Alasannya, melalui proses pendidikan terstruktur di sekolah, penanaman kesadaran lingkungan hidup jauh lebih efektif dibandingkan dengan model nasihat, kampanye, atau imbauan.
Namun usulan itu tak mudah lolos. Lampu hijau dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) baru terlihat pada Juni 2005. Ketika itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, dan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, meneken nota kesepakatan (MoU) memasukkan PLH dalam kurikulum sekolah.
Nyatanya, MoU itu hanya menjadi macan kertas. Sebab, sampai saat ini, penetapan PLH diserahkan kepada tiap-tiap daerah. Menurut ahli kurikulum IPA dan biologi dari Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, Noor Indrastuti, materi PLH tidak mutlak harus menjadi mata pelajaran tersendiri.
Selama ini, materi PLH terintegrasi dengan berbagai mata pelajaran lain, seperti IPA, IPS, geografi, agama, hingga bahasa Indonesia. Pihaknya menilai, model seperti ini telah berjalan efektif. "Kalau diajarkan tersendiri, harus mempertimbangkan beban siswa," ujar Noor.
Karena itu, sampai saat ini, Pusat Kurikulum Depdiknas belum membuat panduan nasional materi pengajaran PLH. Noor menyebutkan, yang berwenang membuatnya adalah Kementerian Lingkungan Hidup. "Untuk memasukkan suatu bidang menjadi mata pelajaran wajib, perlu kajian mendalam," kata Noor. Astari Yanuarti, Wisnu Wage Pamungkas (Bandung), dan M. Nur Cholish Zaein (Surabaya)
Post Date : 15 April 2009
|