Mencermati Rencana Pembangunan TPA di Citatah

Sumber:Pikiran Rakyat - 19 Mei 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
SUDAH hampir empat bulan sejak terjadinya longsoran gunungan sampah di TPA Leuwigajah, persoalan sampah di Kota Bandung masih tak kunjung ditemukan solusi berartinya. Terselang peringatan 50 tahun KAA, penanganan sampah di sebagian kecil wilayah di Kota Bandung dianggap selesai. Padahal sampah kota masih menyimpan persoalan besar yang untuk menanganinya diperlukan keseriusan dan energi yang besar pula. Artinya pola/gaya penanganan yang selama ini masih dilakukan --yaitu hanya dengan memanfaatkan lahan produktif untuk dijadikan TPA sampah bergaya petani nomaden dan dikelola dengan teknik open dumping-- mesti segera dihentikan dan diubah dengan gaya yang lebih elegan. Sebelum membuang sampah, mula-mula harus dikaji dan diteliti secara saksama, baik aspek sosial-budaya, ekonomi, dan kelembagaannya maupun aspek lingkungannya. Upaya demikian pada gilirannya akan lebih berdampak positif bagi pembangunan masyarakat (society development) secara keseluruhan.

Kesalahan mendasar yang dilakukan dalam penanganan sampah kota sampai saat ini yaitu pengkajian dan penelitian beserta faktor pendukung lainnya belum dan hampir tidak pernah dikaji secara mendalam. Pemerintah masih melihat penanganan sampah kota hanya dari satu sisi saja yaitu "asal" bersih dan indah. Kebersihan dan keindahan kota memang perlu, tapi tidak cukup. Dalam mengelola sampah mestinya lebih jauh dikaji dan dicermati akar persoalannya. Targetnya adalah ditemukannya solusi strategis yang lebih menyeluruh dan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat.

Pengkajian dan penelitian, kalau perlu, dilakukan bukan saja ditujukan bagi masyarakat Kota Bandung, akan tetapi juga untuk mengetahui apa penyebab dan dampaknya bagi masyarakat di luar Kota Bandung. Mengapa? Karena penyebab persoalan sampah di Kota Bandung tidak terlepas dari adanya pola pergerakan manusia secara kontinyu setiap hari. Sebagaimana telah tercatat secara statistik, jumlah penduduk Kota Bandung pada siang hari jauh lebih banyak daripada malam hari. Demikian halnya pada setiap akhir pekan (Sabtu-Minggu) dan hari-hari libur nasional, jumlah manusia di Kota Bandung pasti lebih banyak daripada hari-hari biasa. Tentunya, perbedaan jumlah tersebut adalah akibat pola pergerakan manusia dari luar Kota Bandung atau masyarakat urban harian, yang berpengaruh terhadap jumlah produksi sampah di dalam kota.

Sedangkan dampak dari persoalan sampah kota bagi masyarakat di luar Kota Bandung yang perlu dikaji, yaitu lebih dikhususkan kepada analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) beserta aspek-aspek Ekososbud-nya terhadap pemanfaatan lahan produktif untuk pembangunan TPAS di Desa Citatah, Kecamatan Cidadap Kabupaten Bandung. Kenapa hal itu sangat perlu? Jawabannya, karena sekali pun lokasi yang dipergunakan hanya meliputi kawasan di satu desa dengan luas TPA tahap pertama hanya sekira 10 hektare, namun dampak ikutannya akan meluas apabila tidak diantisipasi dengan benar. Dampak lingkungan yang kemungkinan besar bisa terjadi adalah tercemarnya sumber-sumber mata air dan udara di sekitar lokasi. Lebih daripada itu, rekomendasi yang dari awal mesti dilakukan adalah perlu adanya kepastian penetapan teknik pengelolaan di lokasi TPA tersebut tidak menggunakan teknik open dumping, seperti yang dilakukan di TPA Leuwigajah. Dan jika pemerintah kota pada akhirnya menggunakan teknik tersebut, seyogianya pemerintah membatalkan atau menunda rencana pembangunan TPA Citatah.

Mencermati pemaparan di atas, tidak ada lain bahwa sesegera mungkin pemerintah harus melakukan identifikasi potensi dan permasalahan serta langkah-langkah yang ditempuh dalam penanganan sampah kota baik secara intern (di Kota Bandung) dan ekstern (di luar Kota Bandung) dari aspek-aspek sosial-budaya, ekonomi, dan kelembagaan serta teknik lingkungan dan faktor-faktor pendukung lainnya. Namun, mengingat mengubah paradigma masyarakat dan birokrat dirasakan penting dan perlu dilakukan terlebih dahulu, maka pada kesempatan ini, penulis lebih banyak menelaah beberapa aspek terkait saja.

Pengkajian aspek sosial dan budaya, misalnya, penanganan sampah kota harus lebih menitikberatkan kepada dua hal. Pertama, harus diketahui terlebih dahulu sejauhmana masyarakat kota (Kota Bandung) dan di sekitar lokasi TPA Citatah mengetahui secara komprehensif permasalahan sampah, serta dampak positif atau negatifnya bagi kesehatan diri dan lingkungan sekitar. Diramu dalam pertanyaan sederhana, apakah masyarakat kota sendiri di level rumah tangga telah mengetahui jenis-jenis sampah? Dampak positif/negatif dari masing-masing jenis sampah? Lalu bagaimana mestinya perlakuan terhadap masing-masing jenis sampah tersebut? Mohon maaf, kalau diteliti dengan mendalam barangkali hanya sebagian kecil saja warga kota yang telah mengetahui jawaban pertanyaan di atas. Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan masyarakat di sekitar lokasi TPA Citatah?

Dari hal pertama ini, andaikata diketahui secara jelas bahwa pengetahuan sebagian besar masyarakat rendah, maka akan memberikan gambaran kepada kita bahwa bagaimana mungkin masyarakat di kedua tempat akan dengan cepat mengikuti pola penanganan sampah yang semestinya dilakukan dan mengetahui perkembangan masalah persampahan secara keseluruhan. Dengan kondisi seperti ini, masih dibutuhkan langkah-langkah yang panjang untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat seputar potensi dan permasalahan sampah. Kalau hal ini tidak dilakukan, sudah dapat dipastikan yang terjadi adalah masyarakat akan tetap mengulangi pola-pola lama yaitu "membuang" sampah dari satu tempat ke tempat yang lain dan memandang dengan cara pandangan (paradigma) yang keliru bahwa sampah hanya dianggap sebagai barang sisa yang tidak ada nilai guna atau manfaat ekonominya.

Kedua, masih terkait dengan hal pertama, sejauh mana dapat diketahui tingkat partisipasi dan tingkat kepedulian masyarakat secara menyeluruh terhadap permasalahan sampah. Barangkali, jika kesadaran lingkungan dari masyarakat kota dan di sekitar lokasi TPA Citatah rendah, mereka tidak akan memiliki kepedulian dengan permasalahan sampah dan tidak mungkin memiliki kemauan untuk mengolah sampah, dan bukan dengan membuangnya.

Namun sebaliknya, seandainya kesadaran masyarakat relatif tinggi, masyarakat tidak akan menyia-nyiakan sampah yang ia miliki untuk dibuang begitu saja ke TPA. Melainkan akan lebih memilih untuk mengelolanya agar tidak merusak lingkungan dan menjadikannya lebih bernilai ekonomi. Begitu pun bagi masyarakat di sekitar lokasi TPA Citatah, seandainya masyarakat kesadaran lingkungannya tinggi, sudah pasti masyarakat tidak akan rela melepaskan sejengkal tanah pun yang dimilikinya untuk dijadikan TPA sampah. Apalagi jika pengelolaannya hanya menggunakan teknik open dumping, bukan tidak mungkin sampai kapan pun masyarakat akan tetap menolak kehadiran TPA Citatah tersebut.

Akan tetapi, harus diakui, pengetahuan dan kesadaran sosial-budaya masyarakat termasuk birokrat/aparat kita akan sampah, pada umumnya masih rendah. Artinya, "boro-boro" masyarakat, pemerintah atau birokrat pun masih "membuang" sampah (dalam skala besar) begitu saja. Sehingga untuk diajak melakukan langkah pengelolaan yang lebih elegan dan modern seperti di beberapa negara maju, Jepang, Jerman, dan lain-lain, masih sangat jauh.

Mungkin saja ada sebagian kecil masyarakat kelas menengah di kota yang punya kesadaran mengelola sampah tinggi. Cuma pertanyaannya, seberapa signifikankah upaya pengelolaan yang mereka lakukan itu terhadap pengelolaan sampah secara keseluruhan? Mengubah budaya "membuang sampah" seperti yang telah dilakukan selama belasan bahkan puluhan tahun memang tidak mudah. Di Kota Bandung saja, sejak dibukanya TPA Leuwigajah pada 1987, budaya membuang sampah gaya lama itu sudah berlangsung 18 tahun. Kebiasaan yang telah membentuk budaya yang melembaga di hampir seluruh lapisan masyarakat dan kalangan birokrat ini ternyata baru dapat disimpulkan saat ini sebagai kebiasaan buruk. Kini, akibat dari kebiasaan buruk itu telah menimbulkan persoalan yang sangat pelik dan mempengaruhi tatanan masyarakat secara luas hampir permanen.

Namun, apa boleh buat, sekali pun usaha untuk mengubah kebiasaan/budaya masyarakat ini sangat berat, akan tetapi tetap harus sudah mulai dilakukan. Tentu saja, tidak bisa dalam waktu yang pendek dan singkat dan dengan cara represif.

Perlu saya ambil contoh dan kita garis bawahi bahwa ketidaksesuaian persepsi antara masyarakat setempat dengan pihak pengelola sampah di TPST Bojong, misalnya, bukanlah semata-mata karena masyarakat menolak dan takut dengan dampak negatifnya. Akan tetapi mengubah kebiasaan/budaya mereka yang telah melekat berdasarkan pengalaman masa lalu memang masih perlu waktu. Barangkali juga masih perlu upaya atau proses yang lebih serius dan agak panjang dengan pola pendekatan yang lebih persuasif, tidak represif.

Di negara Jepang saja, dengan kategori masyarakat maju, butuh waktu kurang lebih lima tahunan hingga sampai terbentuknya budaya masyarakat yang lebih bijaksana terhadap masalah sampah. Apalagi masyarakat negara berkembang seperti Indonesia, termasuk Bandung, mungkin saja perlu sepuluh sampai lima belas tahun untuk membuat masyarakat sadar betul bahwa sebenarnya sampah kota tidak selalu menjadi sumber masalah.

Maka dengan itu, pemerintah kota semestinya agak bersabar sedikit dan tidak terburu-buru menetapkan Desa Citatah Kabupaten Bandung sebagai TPA bagi pembuangan gunungan sampah dari Kota Bandung. Alangkah bijaksana dan elegannya andaikata keputusan tersebut menunggu beberapa hal berikut. Pertama, masyarakat di sekitar lokasi TPA Citatah terlebih dahulu diberikan pemahaman secara komprehensif tentang maksud dan tujuan dibangunnya TPA, dampak negatif dan positifnya bagi lingkungan sekitar, dan manfaat ekonomi yang dapat diambil oleh masyarakat.

Kedua, kepada masyarakat di Citatah harus diyakinkan bahwa TPA yang akan dibangun, adalah hasil pengkajian lingkungan secara sempurna dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Ketiga, kepada masyarakat Desa Citatah Kabupaten Bandung dan kepada kita semua (warga masyarakat Kota Bandung) harus diyakinkan bahwa teknik pengelolaan yang akan dikembangkan bukan open dumping. Melainkan dengan paradigma TPAS yang baru yaitu Tempat Pengolahan Akhir Sampah, bukan Tempat Pembuangan Akhir Sampah seperti pengalaman di Leuwigajah, dan tempat-tempat lainnya.

Keempat, kepada masyarakat Kota Bandung sendiri, pemerintah kota harus memberikan pemahaman bahwa sekalipun telah memiliki tempat TPAS di Citatah, masyarakat kota tetap diharapkan mengurangi aliran dari sumbernya. Caranya, dengan melakukan pengelolaan sampah terpilah (organik dan nonorganik) menjadi komoditas yang bernilai guna, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama di lingkungan setingkat RW, kelurahan, atau kecamatan. Semoga berhasil. Wassalam.

Penulis, pemerhati masalah pengelolaan lingkungan/konsultan manajemen pada Institute for Society Development Studies (ISDS) Bandung.

Post Date : 19 Mei 2005