|
PALU pun sudah diketuk. Terlepas dari pro-kontra di masyarakat, Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air akhirnya disahkan menjadi undang-undang. Mungkin hanya kebetulan saja jika pengesahan RUU tersebut dilakukan pada saat hampir seluruh bagian wilayah Indonesia diguyur air, bahkan Jakarta pun dikepung banjir sehingga pengesahan tersebut hampir tidak terlalu menimbulkan gejolak yang berarti di mata masyarakat. MUNGKIN ceritanya akan berbeda jika palu itu diketuk pada saat musim kemarau yang mengganas ketika air dirasakan menjadi barang yang sangat langka. Dengan disahkannya Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) tersebut, masyarakat pun mau tidak mau harus menghadapi era baru dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air. Tentu saja yang lebih penting sekarang adalah bagaimana kita menyikapi implementasi UU tersebut ke depan agar kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul dari masyarakat selama ini bisa diminimalkan. AIR merupakan barang ultra-esensial bagi kelangsungan hidup manusia, bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21 ini. Bocoran laporan terkini dari Pentagon yang dikutip The Observer menyebutkan bahwa akan terjadi catastrophic shortage (kekurangan air yang dahsyat) terhadap air di masa mendatang yang akan mengarah pada menyebarnya perang di sekitar tahun 2020. Di sisi lain kita juga sering bersikap take it for granted terhadap air. Bahkan dalam ilmu ekonomi dikenal adanya water-diamond paradox, di mana air yang begitu esensial dinilai begitu murah, sementara mutiara yang hanya sebatas perhiasan dinilai begitu mahal. Kontribusi air terhadap pembangunan ekonomi dan sosial juga sangat vital. Awal peradaban manusia dan lahirnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi juga dimulai dari sumber-sumber air seperti sungai dan mata air. Dengan seiring bertambahnya penduduk dan eskalasi pembangunan ekonomi, maka fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air sementara permintaan terus meningkat. Melihat kekhawatiran inilah maka sumber daya air kemudian tidak lagi diperlukan sebagai barang publik murni (pure public good) sehingga pemanfaatannya pun kemudian diatur dalam berbagai bentuk aturan main. Dari sisi aspek legal, disadari atau tidak, kita memang tertinggal dalam hal perundang-undangan sumber daya air. Di beberapa negara dunia, undang-undang air bahkan sudah eksis begitu lama bahkan sekarang sudah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Doktrin riparian dan appropriation yang umumnya dianut negara-negara Barat dalam hal pengelolaan air ternyata dalam perjalanannya tidak sepenuhnya berhasil menjawab permasalahan pengelolaan air yang begitu kompleks. Di sisi lain juga semakin dirasakan bahwa kontribusi ekonomi dari sumber daya air semakin menurun akibat produktivitas air yang menurun, pemanfaatan yang tidak efisien, pengelolaan yang buruk, dan tingginya biaya eksternalitas akibat degradasi lingkungan. Krisis air kemudian dilihat bukan hanya dalam kacamata ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, namun lebih dari itu sebagai sebab dan akibat interaksi air dengan faktor ekonomi, ekologi, sosial, kesehatan, bahkan politik. Dengan demikian, belakangan ini kebijakan global di bidang sumber daya air sudah beralih dari tujuan memperoleh keuntungan semata ke arah kebijakan yang lebih luas, yakni pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan, serta pemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan. Di sinilah semangat yang seharusnya dipikirkan dalam implementasi UU SDA air di masa mendatang. Mengingat pengelolaan sumber daya air yang begitu kompleks, maka pencapaian tujuan efisiensi semata dalam pemanfaatan sumber daya air melalui privatisasi, misalnya, hanya akan memecahkan permasalahan secara parsial. Di negara-negara OECD saja aturan yang menyangkut sumber daya air ini begitu bervariasi. Sistem alokasi dan mekanisme water pricing pun sangat beragam dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi di bidang sosial, ekonomi, dan ekologi. Namun, satu hal yang bisa kita pelajari dari pengalaman mereka adalah adanya kecenderungan untuk mengubah pola water pricing dari flat-fee pricing ke sistem lain yang dirasakan lebih fair, seperti sistem uniform volumetric bahkan ke sistem two-part tarrif. Perubahan ini disebabkan adanya tuntutan yang besar untuk menjaga aspek keadilan dalam pemanfaatan sumber daya air, di mana nilai sosial dari air, dan juga nilai konservasi, betul-betul menjadi perhatian utama. Bahkan, kini diusulkan mekanisme alokasi sumber daya air melalui sistem yang disebut return to community yang pada intinya melihat bahwa rente ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya air sebagian harus dikembalikan kepada masyarakat. Dengan demikian, selain untuk memelihara aspek equity, mekanisme ini juga diusulkan untuk mencegah masalah yang ditimbulkan akibat munculnya monopoli dalam pengelolaan sumber daya air. HAL lain yang patut menjadi renungan pada saat UU SDA ini diimplementasikan adalah menyangkut aspek kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya air. Carruthers dan Morrison (1996) misalnya melihat bagaimana kegagalan pengelolaan sumber daya air di beberapa negara terjadi karena terabaikannya aspek kelembagaan. Hal ini disebabkan karena dimensi ekonomi dari sumber daya air yang begitu beragam dari barang publik, barang privat, sampai nilai opsi yang dimiliki oleh sumber daya air. Dengan demikian, kalaupun "privatisasi" pengelolaan sumber daya air harus dilakukan, maka ia harus dihadapkan pada kendala kelembagaan. Dengan demikian, sering kemudian kita melihat bahwa kriteria efisiensi yang menjadi tujuan dilakukannya privatisasi menjadi tidak sejalan dengan struktur kelembagaan yang ada dalam masyarakat. Pengelolaan sumber daya air dalam konteks ekonomi kelembagaan harus mempertimbangkan aspek keseimbangan (stability), ketahanan (resiliency) dan kesetaraan (equity). Aspek kelembagaan juga tidak terlepas dari apa yang disebut sebagai biaya transaksi (transaction cost). Dalam mazhab ini, kelembagaan dilihat sebagai suatu upaya meminimisasi biaya transaksi. Dalam konteks pengelolaan sumber daya air, biaya transaksi ini cukup mahal karena banyaknya aktor yang terlibat di dalamnya serta kompleksitas pengaturan dan biaya pengawasan yang ditimbulkan. Kemungkinan adanya informasi yang tidak simetris juga dapat terjadi dalam pengelolaan sumber daya air, di mana satu pihak lebih mengetahui mengenai berbagai atribut ekonomi dan ekologi sumber daya air sehingga kembali melahirkan biaya transaksi yang sangat tinggi yang pada gilirannya akan menghambat pengelolaan air yang optimal. Di sinilah perlunya kita melihat model kelembagaan mana yang tepat dalam pengelolaan sumber daya air yang bisa meminimumkan biaya transaksi tersebut. Karena sebagaimana di klaim oleh Douglas North, pakar ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economics), bahwa tidak semua arrangement kelembagaan menurunkan biaya transaksi. Mengingat kompleksitas kelembagaan itu, tidaklah mengherankan jika kemudian kita melihat terjadinya perubahan yang cukup signifikan di negara-negara maju dalam konteks peranan pemerintah berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air. Hasil studi di negara-negara OECD, misalnya, menunjukkan telah terjadinya pergeseran peran pemerintah dari provider menjadi regulator pelayanan air. Bahkan, studi ini juga menunjukkan semakin sedikitnya praktik pengelolaan sumber daya air melalui murni swasta. Belakangan, bentuk "konsesi" antara pemerintah dan swasta lebih sering ditemukan daripada salah satu di antaranya. Konsesi ini timbul karena mahalnya biaya transaksi yang disebutkan di atas. Dengan demikian, dalam bentuk konsesi, sektor swasta hanya berhak mengelola sebagian saja dari usaha pengelolaan sumber daya air, sementara pemerintah masih tetap memegang kendali pada situasi di mana pemanfaatan air untuk kepentingan publik merupakan proporsi yang relatif besar. Pengelolaan sumber daya air tidak diragukan akan melibatkan proses yang kompleks dan sarat konflik kepentingan. Oleh karena itu hendaknya kita belajar dari pemikiran-pemikiran dan pengalaman-pengalaman negara lain sehingga implementasi undang-undang sumber daya air ini akan membawa pengelolaan sumber daya air yang lebih efisien dan berkelanjutan seperti yang kita inginkan bersama. Akhmad Fauzi PhD Kepala Laboratorium Ekonomi Sumber Daya Alam dan Dosen Ekonomi Sumber Daya Pascasarjana IPB Post Date : 15 Maret 2004 |