|
Isu pertanian terkait secara fundamental baik fisik, ekologis, sosial-ekonomi, dan kebijakan dengan isu lingkungan serta perdagangan. Kalau keterkaitan itu dinegasikan, pengertian "adaptasi" akan tersempitkan, dan istilah "adaptasi" hanya menjadi jargon birokratis. erubahan iklim akibat naiknya temperatur di Bumi yang diprediksi mencapai satu sampai tiga derajat Celsius pada abad ini berpotensi mengubah pola cuaca secara ekstrem. Dampaknya, berupa bencana kekeringan dan banjir memperburuk situasi kemiskinan dengan berbagai dimensinya di negara berkembang dan miskin. Banyak faktor memengaruhi keragaman musim di Indonesia. Salah satu yang dominan dipengaruhi perubahan iklim global adalah fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation/Putaran Selatan El Nino). Berbagai riset menunjukkan ENSO menyebabkan maju-mudurnya awal musim hujan dan sifat hujan. Data juga menunjukkan, intensitas dan frekuensinya yang semakin sering sejalan dengan pemanasan global. El Nino terjadi setiap 2-10 tahun sekali dengan kadar dan perilaku berbeda-beda. Namun, beberapa tahun terakhir ini musim kemarau di Indonesia cenderung semakin panjang dan tak beraturan. Data (Boer dan Las, 2003) menunjukkan, hilangnya produksi akibat kejadian iklim ekstrem pada periode 1981-1990 adalah sekitar 100.000 ton per tahun per kabupaten, meningkat menjadi 300.000 ton pada periode 1991-2000. Dampak ekstrem disebabkan posisi La Nina dalam kondisi basah adalah intensitas, durasi, maupun frekuensi hujan yang meningkat juga berdampak serius pada sektor pertanian. Menurut data dan skenario berbagai sumber yang dikutip Bappenas (2004), produktivitas sektor pertanian Indonesia diperkirakan menurun dengan nilai setara 6 miliar dollar AS per tahun akibat lahan hilang karena disapu air laut dan erosi. Banjir dan genangan di dataran rendah akan membuat jutaan orang menjadi pengungsi akibat bencana ekologis (Jhamtani, 2006). Dengan situasi seperti itu, upaya adaptasi di sektor pertanian tak terelakkan lagi. Begitu kesimpulan lima dari enam panelis. Hitung-hitungan ekonominya jelas. Satu (1) dollar biaya adaptasi berarti menghemat tujuh (7) dollar AS biaya perbaikan kerusakannya. Di antara upaya-upaya adaptasi yang ditawarkan adalah sekolah lapang iklim supaya informasi iklim mudah diakses petani, penyebaran 17.000 penyuluh (pertanian) baru, konsolidasi tanah, koperasi petani, teknologi, di samping kebijakan pendanaan. Menyasar akar Adaptasi dan mitigasi adalah dua strategi di dalam Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC). Strategi mitigasi yang meliputi pencarian cara untuk menahan laju emisi gas-gas rumah kaca adalah isu panas dalam sidang-sidang tahunan Konferensi Para Pihak (COP) UNFCCC. Strategi adaptasi berupa cara-cara mengatasi dampak perubahan iklim dengan melakukan langkah-langkah penyesuaian yang tepat dan bertindak untuk mengurangi berbagai efek negatifnya atau memanfaatkan efek-efek positifnya. Hampir seluruh cara pandang arus utama mengenai adaptasi tampaknya mengacu pada definisi tersebut. Padahal, istilah "adaptasi" punya sejarah panjang, yang kalau dirunut akan sampai pada teori evolusi, tentang kemampuan manusia beradaptasi dengan alam. Di ujung pemikiran itu adalah teori survival of the fittest; yang kuat, yang mampu menundukkan, yang menang. Pendekatan itu menelurkan jalan keluar yang serba teknis, mengandaikan, meski sangat tersamar, bahwa petanidalam hal ini petani gurem yang jumlahnya sekitar 21 juta dengan sekitar 100 juta anggota keluarga (Kwa, 2006)bodoh, dan, kalau tidak mampu bertahan, itu karena salah sendiri. Semua ini adalah bahasa lain dari penjelasan yang dipaparkan dengan pedas oleh panelis terakhir. "Adaptasi" dalam definisi UNFCCC, menurut dia, berpotensi mereduksi persoalan menjadi penyediaan dana yang, itu pun sebenarnya tak sebanding dengan kerusakan akibat praktik-praktik yang menyebabkan meningkatnya suhu di atmosfer Bumi. Definisi itu juga jauh lebih rendah tingkat pemaknaannya dibandingkan dengan makna adaptasi dalam konteks ekologis. Definisi adaptasi UNFCCC itu cenderung menghasilkan solusi teknis yang mereduksi persoalan dengan menyingkirkan kenyataan akan ketidakadilan struktural yang dialami petani, dan bertambah parah karena penghancuran sistem penunjang kehidupannya. Proses penghancuran telah berlangsung sistematis, khususnya sejak Revolusi Hijau. Kepungannya semakin ketat karena Indonesia adalah anggota organisasi-organisasi yang merupakan pilar perwujudan sistem liberalisasi perdagangan seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pangan dan pertanian yang menjadi sumber kesejahteraan warga termasuk di dalam liberalisasi itu. Kenyataan itu membuat kedaulatan petani atas hidup dan seluruh cara berproduksi (means of production) menjadi pertaruhan. Liberalisasi mendorong lahirnya berbagai kebijakan yang didominasi kepentingan bisnis dan pemodal dalam bidang-bidang yang terkait langsung maupun tak langsung dengan sektor pertanian dan pangan. Sementara itu, krisis ekonomi di dalam belum berakhir sejak Soeharto lengser. Arah pembangunan masih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang sifatnya eksplotatif dan berskala besar. Sumber daya alam tetap diperlakukan sebagai komoditas yang dikuras dari wilayah pedesaan dan kampung-kampung terpencil, meninggalkan kehancuran lingkungan dan kemiskinan yang mencekik. Bencana ekologis (dan ekonomi) terus mendorong keluarga petani miskin berbondong-bondong keluar dari desa. Sebagian menjadi buruh migran dan terjebak dalam jaringan perdagangan orang. Lainnya mengungsi ke kota. Mereka mengaisi sisa-sisa rezeki, melakukan pekerjaan yang mendukung produktivitas kota, tetapi diperlakukan seperti sampah atas nama "ketertiban umum", dan menjadi sasaran penertiban atas nama keterbatasan daya dukung kota. Maka, pertanyaan seorang peserta tentang akar kemiskinan petani menjadi sangat relevan. Kalau akar ketidakadilan struktural tidak disentuh, pandangan "yang kuat, yang menang" justru menjadi mantra dalam sistem ekonomi neoliberal yang salah satu basis pijakannya adalah kompetisi. Adaptasi teknis secanggih apa pun lumpuh ketika dihadapkan dengan kenyataan ini. Proses menyeluruh Proses adaptasi seharusnya merupakan pembaruan yang bermakna di dalam modalitas pengaturan struktur dan mekanisme di seluruh sektor kehidupan, bukan hanya pertanian. Di dalam kerangka kerja kebijakan industrial, misalnya, ekonomi ekologis dan ecological footprint harus diterapkan sampai ke tingkat pemerintah daerah. Common but differentiated responsibility harus dimaknai sebagai keadilan dengan sanksi hukum yang tegas pada industri perusak lingkungan sampai di tingkat daerah, dan mengangkat penghidupan di sektor pertanian, pertama-tama dengan menghapuskan akar kemiskinan petani. Selain itu dibutuhkan serangkaian kebijakan yang mendorong perubahan gaya hidup (kelompok mapan) serta program-program yang mendukung kapabilitas, kesetaraan dan keadilan serta keberlanjutan sosial bagi petani gurem, termasuk di dalamnya mengamankan hak atas sumber daya, khususnya tanah, sumber-sumber keuangan dan pelayanan kesehatan. Semuanya berada dalam perspektif hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Panelis itu secara tidak langsung menyebut sumber-sumber kehidupan yang dimiliki setiap individu atau unit sosial mulai dari yang terbawah dalam upaya mengembangkan kehidupan. Itu merupakan wilayah kelola warga. Proses adaptasi di sektor pertanian yang ditawarkan mengarah pada tujuan penghidupan berkelanjutan. Robert Chambers dan Gordon Conway (1991) mendefinisikannya sebagai suatu penghidupan dengan kemampuan mengatasi dan memperbaiki diri dari tekanan bencana, menjaga dan meningkatkan kecakapan untuk mengelola aset (termasuk pengetahuan), serta menyediakan penghidupan berkelanjutan bagi generasi berikutnya. Penghidupan berkelanjutan memberikan sumbangan terhadap penghidupan-penghidupan lain pada tingkat lokal dan global, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kalau proses adaptasi dimaknai seperti itu, apa pun hasil Konferensi Para Pihak UNFCCC di Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007 enggak ngaruh deh.... Oleh Maria Hartiningsih Post Date : 02 Desember 2007 |