Bencana ekologis perkotaan mengancam Ibu Kota akibat pengelolaan sumber daya air yang sangat buruk dan daya dukung lingkungan Kota Jakarta yang memburuk.
Tiga bencana susul-menyusul. Sebagian badan Jalan RE Martadinata menuju kawasan Pelabuhan Internasional Tanjung Priok, Jakarta Utara, ambles pada Kamis subuh, 16 September. Turap beton yang juga baru saja selesai dibangun di sisi Kanal Banjir Barat di Jalan Sultan Agung, Manggarai, Jakarta Selatan, ambrol kemudian.
Tanggul sementara Kali Pesanggrahan di Jakarta Selatan yang jebol laksana melengkapi bencana terkait dengan daya rusak air yang terjadi di wilayah DKI Jakarta baru-baru ini.
Penurunan muka tanah pada hampir banyak tempat di wilayah Jakarta sudah berada pada tingkat yang sangat membahayakan bagi keamanan infrastruktur dan keselamatan manusia.
Sambil menunggu hasil penelitian yang tengah berlangsung di tempat kejadian, mencermati data penurunan muka tanah di wilayah Jakarta Utara dan kondisi titik terjadinya amblesan, tanpa mengesampingkan, jika ada, kesalahan dalam rancang dan pelaksanaan pembetonan Jalan RE Martadinana itu, perkiraan sementara penyebab bencana adalah daya dukung tanah dasar yang tak lagi mampu menopang beban statis maupun dinamis di atasnya.
Hilang atau berkurangnya daya dukung dapat disebabkan oleh penurunan muka tanah dan pengaruh abrasi, setidaknya pada segmen yang ambles itu.
Faktor pemicu
Kehausan kota ini terhadap ruang dan lahan untuk dapat menopang pertumbuhan ekonominya seakan tidak pernah berakhir. Tumbalnya adalah tekanan terhadap daya dukung lingkungannya.
Tekanan terhadap daya dukung ekologis itu terutama terlihat pada dua aspek. Pertama, ketersediaan bidang resapan air dan ruang terbuka hijau yang semakin berkurang. Kedua, penyediaan air bersih perpipaan yang tidak pernah tercukupi hingga saat ini.
Pemenuhan kebutuhan air bersih perpipaan merupakan salah satu kunci untuk mengendalikan penurunan muka tanah di Jakarta. Dampak dari ketidaktercukupan kebutuhan air bersih dan tarif air bersih perpipaan yang amat tinggi di Jakarta telah mendorong eksploitasi secara berlebihan terhadap air tanah dalam yang sesungguhnya sebagian besar merupakan air tanah dalam purba (Robert Delinom, 2009).
Pengambilan air tanah dalam secara masif yang tidak seimbang dengan pengimbuhannya menyebabkan muka air tanah dalam turun, yang kemudian menimbulkan muka tanah turun. Memang benar bahwa muka tanah turun tak sepenuhnya disebabkan oleh eksploitasi air tanah dalam.
Terdapat beberapa faktor lain, yakni pemadatan tanah, berat bangunan (statis) dan beban bergerak (dinamis) pada badan jalan, serta daya rusak air (intrusi dan abrasi) untuk daerah dekat pantai atau sepanjang alur sungai.
Namun, pengalaman Kota Meksiko dan Bangkok menunjukkan bahwa pengendalian penurunan muka tanah dengan menghentikan eksploitasi air tanah dalam secara drastis terbukti dapat mengurangi laju penurunan muka tanah di dua kota yang pernah tercatat mengalami rekor penurunan muka tanah terburuk di dunia.
Strategi penanganan
Amblesnya Jalan RE Martadinata dan turap beton Kanal Banjir Barat ini merupakan peringatan penting bagi kita semua. Presiden langsung memerintahkan segera memeriksa kondisi semua infrastruktur vital (jalan, tanggul, dan bangunan publik) yang rawan bencana serupa. Mudah-mudahan ini bukan reaksi sesaat yang sering terlambat. Birokrat kita terbiasa dengan pola penanganan setelah terjadi bencana, bukan berdasarkan suatu rencana pencegahan. Padahal, biaya pencegahan jauh lebih murah.
Banyak pihak yang telah menyuarakan bahwa penghentian eksploitasi air tanah dalam adalah satu-satunya cara yang harus segera dilakukan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mengantisipasi hal itu dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 37 Tahun 2009 untuk mengendalikan pengambilan air tanah dalam dengan menaikkan pajak air tanah dalam jauh di atas tarif air bersih perpipaan sekaligus membatasi jumlah maksimum yang boleh diambil (100 meter kubik per hari).
Pembatasan eksploitasi air tanah dalam tak akan efektif jika tak tersedia air bersih perpipaan untuk menyuplesi air tanah dalam yang pengambilannya dibatasi. Kapasitas Instalasi Pengolahan Air PAM Jaya sudah dalam kondisi maksimum dan hanya mampu mengolah sekitar 15.000 liter per detik. Masalah serius dalam penyediaan air bersih perpipaan di Jakarta semakin diperburuk oleh kian kritis dan langkanya air baku yang tersedia.
Kebutuhan total air bersih Jakarta saat ini sudah mencapai 2,38 juta meter kubik per hari. Kemampuan suplai PAM Jaya baru sebatas 1,53 juta meter kubik per hari. Sementara itu, karena masih tingginya tingkat kehilangan air (sekitar 49 persen) pada sistem jaringan distribusi, maka jumlah air bersih yang dapat diperhitungkan tidak lebih dari 780.000 meter kubik per hari. Tidaklah mengherankan jika cakupan layanan air bersih perpipaan di Jakarta baru mencapai 44 persen dari total kebutuhan.
Solusi yang dibutuhkan Jakarta adalah menambah pasokan air bersih perpipaan sehingga mampu melayani 80 persen kebutuhan air menjelang tahun 2015 apabila kota ini ingin memenuhi komitmen pencapaian sasaran pembangunan milenium (MDGs) dalam sektor air bersih.
Gagasan Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta dalam bentuk usul Sistem Penyediaan Air Minum Jatiluhur untuk menambah pasokan air bersih sebesar 4.000 liter per detik langsung dari Waduk Jatiluhur adalah untuk mengantisipasi pembatasan eksploitasi air tanah dalam di Jakarta demi mengendalikan laju penurunan muka tanah di Jakarta.
Ancaman tenggelamnya beberapa kawasan di Jakarta bukan tidak beralasan karena ada kecenderungan muka air laut naik akibat dampak pemanasan global, bersamaan dengan penurunan muka tanah yang sangat tinggi lajunya hingga saat ini.
DKI Jakarta merupakan ibu kota NKRI, yang sudah dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, pusat aktivitas hampir seluruh jajaran pemerintah pusat, perwakilan negara asing dan lembaga internasional, serta pusat kendali ekonomi dan bisnis Indonesia. Sudah pada tempatnyalah bantuan penuh pemerintah pusat dibutuhkan untuk menangani masalah perkotaannya sehingga tak harus tenggelam sebelum 2012.
Firdaus Ali Pengajar dan Peneliti Teknik Lingkungan FTUI; Pendiri The Indonesian Water Institute; Anggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta
Post Date : 29 September 2010
|