|
MENCARI dan menentukan lokasi yang tepat untuk tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, tentu tidak semudah membalikkan tangan. Beberapa kendala, khususnya masalah teknis dan sosial, membayangi setiap upaya penentuan lokasi ideal TPA. Dengan berakhirnya tempat pembuangan sampah Cicabe Kab. Bandung yang menjadi tempat sementara Kota Bandung dan Cimahi pada 14 April lalu, maka semakin mendesaklah upaya mencari lokasi TPA yang tepat. Pemerintah Kota Bandung sempat memilih Pasirimpun sebagai tempat pembuangan sementara (TPS). Namun, warga RW 13 Kel. Karangpamulang Kec. Cicadas Kota Bandung menolak keras peruntukan Pasirimpun sebagai TPA. Alasannya, mereka trauma oleh aktivitas pembuangan sampah yang pernah dilakukan PD Kebersihan selama tiga minggu menjelang peringatan HUT Konferensi Asia Afrika ("PR", Rabu 19/4). Waktu itu, untuk sementara sampah dibuang ke sana. Namun setelah itu, sampah tersebut tidak diangkut lagi. Tersiar kabar Desa Cimerang, Citatah Kab. Bandung akan dijadikan lahan TPA sampah. Di lokasi tersebut juga akan dibangun tempat pengolahan sampah dengan melibatkan swasta. Namun, belum apa-apa warga setempat menolak keras, sebagaimana terlihat dengan banyaknya spanduk yang terpampang di tepi jalan Bandung-Cianjur. Alasannya, jika di sana ada TPA, akan banyak kendaraan truk sampah yang akan lalu lalang sehingga akan mengganggu ketenteraman warga. Selain itu, kelancaran arus lalu lintas Bandung-Cianjur pun akan terganggu oleh truk pengangkut sampah. Sampah yang terangkut dari Kota Bandung diperkirakan mencapai 4.500 m3/hari (dari perkiraan produksi 7.500 m3/hari) ditambah dari Kota Cimahi sekira 500 m3/hari. Secara hitungan kasar, dengan menggunakan truk sampah yang berkapasitas maksimal 10 m3 sekali angkut, dan pengangkutan sampah dilakukan 12 jam sehari, maka setiap 1,5 menit satu truk akan masuk ke TPA. Pada praktiknya, selang waktu tibanya truk sampah di TPA tidak akan selancar itu sehingga dipastikan akan terjadi antrean truk. Jika tidak ada tempat untuk antre di dalam lahan TPA yang luasnya hanya 10,2 hektare, maka dapat terjadi antrean truk sampah di tepi Jalan Raya Bandung-Cianjur. Akibatnya, mengganggu kelancaran lalu lintas pada jalur tersebut. Alternatif TPA Jelekong dan TPA Leuwigajah tampaknya harus dikesampingkan jauh-jauh. TPA Leuwigajah masih menyisakan masalah sosial dan hukum yang kini ditangani Pengadilan Negeri Bale Bandung. Sedangkan TPA Jelekong sudah sarat dengan sampah sehingga tidak bisa menampung sampah lebih banyak lagi. Lantas, ke mana sampah Kota Bandung (dan Kota Cimahi) harus dibuang? Calon TPA Desa Citiis Pemerintah Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Sumedang sepakat untuk membentuk lembaga pengelolaan sampah terpadu di bawah Greater Bandung Waste Management Corporation (GBWMC). GBWMC akan menyediakan TPA regional yang dimiliki Provinsi Jawa Barat dan kota/kabupaten tersebut. Rencananya, akan ada dua TPA regional yaitu di sebelah barat dan sebelah timur Metropolitan Kota Bandung. Masa guna TPA regional ini minimal 30 tahun atau lebih, atau mungkin juga selamanya sehingga pemerintah tak perlu mencari-cari lagi lokasi TPA baru. Untuk tahap awal TPA Regional Timur dibangun terlebih dahulu. Sedangkan TPA Regional Barat yang menurut rencana terletak di Desa Cimerang tidak mungkin dilaksanakan karena ada penolakan dari masyarakat setempat dan lokasi yang tidak memenuhi syarat. Pembangunan TPA Regional Timur seharusnya dilakukan secepatnya untuk mengatasi masalah sampah Kota Bandung yang sangat mendesak. TPA Regional Timur ini juga bisa segera digunakan Pemerintah Kabupaten Garut mengingat banyaknya protes masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Pasir Bajing, yang selama ini digunakan sebagai TPA masyarakat Kabupaten Garut. Tampaknya, Pemprov Jawa Barat sudah mengarahkan lokasi TPA Regional Timur di Kecamatan Nagreg, Kab. Bandung, tepatnya di Desa Citiis ("PR", 12/4). Namun, mengingat lokasi Desa Citiis yang curam serta dekat dengan Jalan Raya Nagreg dan banyaknya permasalahan teknis dan sosial, timbul keraguan apakah calon lokasi di Desa Citiis itu layak dijadikan TPA Regional Timur? Idealnya, lahan TPA memiliki kemiringan sekira 5% s.d. 10%, untuk memudahkan pengaliran air di bawah timbunan sampah. Jika terlampau curam, sampah terpaksa ditimbun dengan cara disengked sehingga kapasitas sampah yang dapat ditimbun menjadi terbatas. Penimbunan yang terlampau tinggi berpotensi menyebabkan kelongsoran. Lokasi Desa Citiis memiliki tingkat kecuraman tinggi dan merupakan bagian dari lereng Gunung Mandalawangi. Beberapa bagian dari lereng gunung yang mengarah ke tenggara dipasang bronjong untuk mencegah longsor. Sedangkan di lereng timur laut masih rawan longsor. Terbukti, saat hujan deras 4 Maret 2006 terjadi banjir yang merusak sawah dan rumah penduduk. Batu-batu besar dari bagian jalan yang dibuat di sisi timur laut ikut terbawa aliran air. Pada hari Sabtu itu, sekira 80 rumah terendam air bercampur lumpur, beberapa hektare sawah terendam air, dan empat jembatan rusak. Kerugian akibat peristiwa itu diperkirakan ratusan juta rupiah. Bisa dibayangkan, jika daerah tersebut terdapat timbunan sampah yang terbawa air. Tidak tertutup kemungkinan tragedi semacam di Leuwigajah akan terjadi di Desa Citiis. Selain itu, jalan masuk ke tempat TPA sampah di sekitar Desa Citiis melalui permukiman penduduk sehingga bisa menimbulkan kerawanan sosial dengan masyarakat setempat. Pertimbangan selanjutnya adalah kesesuaian jalan, karena angkutan sampah menuju TPA Regional Desa Citiis akan menggunakan kendaraan truk trailer, sedangkan jalan yang ada terlampau kecil. Lokasi Citiis tidak mempunyai jalan masuk yang memenuhi syarat bagi truk trailer. Jalan masuk melalui Desa Bojong sudah tidak memungkinkan karena perumahan penduduk yang padat. Demikian juga jika melalui Desa Lebak Jero rawan, karena selain terdapat permukiman padat, juga tanjakan menuju lokasi Citiis terlampau curam. Alternatif lain melalui area sekitar penggalian batu/pasir, tetapi terlampau curam. Banjir yang terjadi pada 4 Maret 2006 yang lalu terjadi pada bagian jalan ini. Desa Simpen dan Ciherang Sebenarnya ada lokasi lain yang menjadi calon TPA Regional Timur. Lokasi ini sebagian terletak di Desa Ciherang, Kecamatan Nagreg dan sebagian lagi di Desa Simpen Kecamatan Blubur Limbangan yang masuk wilayah Kabupaten Garut. Lokasi tersebut, terutama yang masuk di wilayah Kabupaten Garut, memiliki bentuk lahan yang sesuai untuk TPA. Kemiringan tanah memadai dan terdapat bukit kecil di sekelilingnya sehingga bisa berfungsi sebagai penghalang alami. Potensi longsor tidak ada. Lahan yang tersedia cukup luas dan secara estetika cukup bagus karena tidak terlihat dari jalan raya. Lahan di daerah tersebut memungkinkan jadi TPA berdasarkan kajian awal dari sisi teknis, serta kesediaan masyarakat untuk menjual lahannya untuk dijadikan TPA. Seperti yang diungkapkan Salam (48) yang memiliki tanah di Desa Nagreg. Ia bersedia menjual tanahnya, asal dengan harga yang tidak terlalu rendah. "Kalau harganya cocok, saya bersedia menjualnya," ujar Salam lugu. Area yang tersedia di Desa Simpen seluas 60,66 hektare, dengan potensi perluasan ke arah timur (ke arah Kab. Garut). Lahan yang berada di bagian Kabupaten Bandung yang dimiliki penduduk desa Simpen seluas 60,89 hektare. Sedangkan lahan di Desa Nagreg 136,08 hektare. Dengan demikian, lahan yang tersedia 257,63 ha. Kondisi tanah di Desa Simpen yang gersang menyebabkan penduduk pada umumnya hanya menanam umbi-umbian, tembakau, dan kacang-kacangan. Lahan ini bukan merupakan lahan pertanian. Morfologinya berupa lembah dan bukit. Lembah tidak dialiri sungai dan hanya sedikit berair pada saat musim hujan. Bukit-bukit di sekelilingnya menjadi barrier alami. Kemiringan bukit maksimal 30%, sedangkan di bagian lembah relatif landai. Bukit ini menjadi barrier alami untuk sampah yang ditimbun di bagian lembah. Ketinggian bukit di sisi area lahan bakal TPA yang masuk Kabupaten Garut, 1.076 m. Sedangkan lembahnya sekira 750 m. Elevasi ini diperoleh berdasarkan pemantauan citra foto satelit dan pengukuran dengan alat GPS1. Selisih tinggi antara puncak bukit dan lembah memungkinkan sampah ditimbun dengan ketinggian maksimal dan aman terhadap longsoran. Sumber air berbentuk mata air berada pada batas 2 sampai 3 km dari area calon TPA. Sepanjang jalan menuju area yang diusulkan untuk dijadikan lahan TPA tidak ditemukan sungai atau parit dengan arus air mengalir. Hasil analisis citra foto satelit dengan jelas menunjukkan tidak ada alur sungai di daerah menuju dan di area bakal TPA itu. Lokasi yang diusulkan ini (terutama lahan di Desa Simpen) berjarak 5 km dari situs arkeologi Kendan yang terletak di Desa Citaman Kabupaten Bandung. Menurut informasi, situs Kendan berhubungan dengan Gunung Mandalawangi dan Cijapati (Kabupaten Garut). Prasarana transportasi Prasarana transportasi di sekitar lokasi meliputi jalan raya Bandung-Tasikmalaya/Garut. Ditarik garis lurus, lokasinya berjarak sekira 1,5-2 km dari jalan raya ini. Rel KA terletak di sebelah jalan raya Bandung Tasikmalaya/Garut. Stasiun terdekat adalah Stasiun Nagreg. Berdasarkan RTRW Kabupaten Bandung tahun 2000-2010, rencananya dibangun jalan tol yang posisinya berada di atas jalan raya Nagreg. Terdapat beberapa akses jalan menuju lokasi, walaupun masih perlu diperlebar dan ditingkatkan agar memberi kemudahan untuk keluar masuk truk sampah. Penerimaan masyarakat Sejak awal masyarakat setempat sudah diberitahu tentang kemungkinan menjadikan area tersebut menjadi TPA regional. Tidak ada penolakan terhadap rencana tersebut karena lahan yang itu tidak produktif sehingga masyarakat bersedia menjualnya ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hasil penjualan akan digunakan usaha lain. Lokasi permukiman terletak jauh dari rencana TPA. Masyarakat mengharapkan dengan adanya kegiatan di TPA, akan tersedia lapangan kerja bagi mereka. Kesediaan para pemilik lahan tersebut dengan satu permohonan bahwa mereka mendapatkan prioritas pertama untuk diangkat sebagai karyawan pabrik pengolahan sampah. Keinginan ini perlu tertuang dalam satu bentuk kesepakatan dengan pemilik TPA. Kepala Desa Nagreg Kabupaten Bandung H.M. Atob Murtob Suhartob pada dasarnya menyetujui kedua lokasi TPA sampah tersebut. Namun, pensiunan letnan kolonel TNI AD itu menyarankan lokasi TPA di Desa Simpen dan Ciherang lebih ideal dari Citiis. Di dua desa lokasi TPA itu cukup jauh, sekira 5 km dari rumah penduduk. Dan yang lebih penting Desa Citiis merupakan sumber mata air bersih, sumber kehidupan bagi penduduk wilayah itu. Jadi, Desa Citiis kurang cocok untuk TPA Regional Timur. Untuk wilayahnya menjadi TPA, Suhartob meminta syarat, yaitu agar sampah yang dibuang ke TPA harus sudah berbentuk padat sehingga lingkungan di sekitar lokasi tidak tercemar. Caranya, truk yang membawa sampah menuju bangunan transfer station, tempat sampah dipadatkan, dibawa dengan trailer menuju TPA regional. Sistem ini diperlukan demi efisiensi transportasi. Jika sebelumnya sampah Kota Bandung hanya dibawa ke TPA Leuwigajah atau ke TPA Jelekong yang terletak sebelum Ciparay atau ke TPA Cicabe yang berada di utara Cicaheum, sekarang harus dibawa ke Nagreg. Konsekuensinya jalan masuk ke TPA regional harus cukup lebar, tidak ada belokan tajam dan mempunyai kemiringan yang sesuai untuk trailer. Sementara itu, ada banyak pihak yang memberikan usulan berbagai metode pengolahan sampah, di antaranya dengan mengolah sampah di sumbernya menjadi kompos. Walaupun secara teoretis mudah dilakukan, usaha ini membutuhkan pionir yang tekun di kelompok-kelompok masyarakat, sebab proses ini membutuhkan waktu lama. Usaha semacam ini sudah dimulai di beberapa tempat di Kota Bandung sekira 20 tahun yang lalu, tetapi sampai sekarang belum seluruh masyarakat Kota Bandung melakukan usaha ini. Dengan demikian, sampah masih harus dibuang (ditimbun) di TPA. Perlu juga diingat bahwa proses apa pun yang dilakukan terhadap sampah (dari sumbernya ataupun TPA), masih banyak bagian yang tidak dapat diolah dan tetap harus diamankan dengan cara ditimbun di TPA. TPA tetap akan diperlukan untuk mengamankan sampah dan sisa proses pengolahan sampah. Oleh BAGOES ILLEN Post Date : 25 April 2006 |