Masyarakat Jakarta masih mengandalkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal defisit air di Ibu Kota kian lama kian besar. Harus ada langkah-langkah pencegahan sebelum krisis air memuncak. Berikut ini adalah tulisan terakhir untuk menggambarkan pentingnya penyediaan air bersih bagi masyarakat.
Setiap tahun penduduk Jakarta diperkirakan membutuhkan satu miliar liter air. Sedangkan produksi air yang dihasilkan Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Jakarta baru memenuhi separuh dari kebutuhan itu. Akibatnya, terjadi defisit air di Ibu Kota. Defisit ini kian lama kian besar seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Anggota Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, Firdaus Ali, memperkirakan tahun ini defisit mencapai 6.857 liter per detik. Itu pun dengan asumsi PDAM telah melayani 70 persen penduduk Jakarta. “Sekarang baru 44 persen, masih jauh,” kata Firdaus.
Menurut Firdaus, 82,5 persen produksi air di Jakarta bersumber dari Waduk Jatiluhur melalui Kanal Tarum Barat (KTB). Sedangkan sisanya dipasok dari Kali Cisadane dan Kali Krukut. “Makanya, kalau terjadi apa-apa dengan Kanal Tarum Barat, Jakarta akan krisis air,” kata pengajar teknik lingkungan di Universitas Indonesia ini.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Kruha) Hamong Santono menyarankan agar warga Jakarta memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih. “Ini alternatif paling murah. Pemerintah harus mendorong dan mendukung teknologinya,” kata dia.
Namun usul ini sulit diterapkan secara perorangan. “Harus tersedia space untuk bidang tangkap air dan ruang penyimpanan,” kata Firdaus. Apalagi, air hujan hanya bisa ditangkap pada bulan-bulan tertentu. “Air tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan di luar musim hujan,” katanya.
Ada 13 aliran sungai yang melewati wilayah Jakarta. Dari jumlah itu, baru Kali Krukut yang diandalkan untuk memasok air bersih. Sedangkan sungai lain belum dimanfaatkan karena tercemar. Firdaus mengusulkan agar pemerintah merevitalisasi sungai-sungai itu sehingga bebas dari pencemaran.
Alternatif lain adalah mengolah air laut menjadi air tawar. Cara ini telah dilakukan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol untuk memenuhi kebutuhan air. “Tapi biayanya mahal,” kata Firdaus. Untuk memperoleh satu meter kubik air, dibutuhkan dana Rp 6.500. Alternatif ini juga harus memperhitungkan kondisi air Teluk Jakarta yang sudah tercemar. “Biaya pengolahan tentu lebih mahal lagi.”
Kepala Bidang Mitigasi Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengusulkan agar pemerintah Jakarta menggunakan teknik natural treatment plant yang sudah digunakan di Jerman. Teknik ini pada dasarnya hanya mengalirkan air dari gunung ke dataran rendah. “Pegunungan dapat diibaratkan sebagai menara air yang menampung air hujan secara alamiah,” katanya. Namun teknik ini memerlukan biaya yang cukup besar untuk membuat saluran bawah tanah dari gunung ke hilir.
Selain itu, Sutopo mengusulkan pembuatan sumur dalam untuk memenuhi kebutuhan air. Dia yakin, penggunaan sumur dalam ini tidak bisa menghentikan penurunan muka tanah di Jakarta, terutama di kawasan tempat terdapat banyak gedung tinggi. “Setidaknya bisa memperlambat penurunan tanah,” kata dia dalam paparan soal bencana di gedung BPPT, Jakarta, Kamis lalu (18 Februari). Saat ini, penurunan muka tanah di Jakarta mencapai 3,5 sentimeter per tahun.
Ada cara lain yang sangat mungkin bisa dilakukan, yaitu membuat sumur resapan di daerah hulu. Ukurannya 1 x 1 meter dengan kedalaman 3 meter. ”Sumur resapan ini bisa menyuplai air tanah,” katanya. Jika ada 265 ribu sumur resapan di Jakarta, fungsinya hampir sama dengan Kanal Banjir Timur. “Kalau KBT air dibuang ke laut, kalau air sumur resapan bisa kita gunakan,” katanya. Sutopo memperkirakan, pembuatan 265 ribu sumur resapan ini memerlukan anggaran sekitar Rp 2 triliun. Sofian | Nur Rochmi
Post Date : 13 Maret 2010
|