Mencari Bantuan Sungai Purba

Sumber:Majalah Gatra - 31 Mei 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Sebuah waduk terbentang di kompleks UI, Depok. Sepintas lalu, waduk itu tak ada yang istimewa. Luasnya mencapai 5.000 meter persegi dengan kedalaman 6 meter. Di bagian tengah waduk terdapat bangunan persegi berukuran 8 x 12,5 meter, dengan kedalaman 10 meter.

Tapi, bagi Kantor Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Ristek), waduk yang tergolong kecil itu sungguh istimewa. ''Ini contoh penelitian waduk resapan yang diharapkan bisa mengatasi banjir Jakarta,'' ujar Teddy W. Sudinda, Kepala Bidang Kebutuhan Masyarakat Kementerian Ristek, di kantornya di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.

Waduk percontohan itu dibangun selama dua tahun dan menelan dana Rp 2 milyar. Waduk ini istimewa, kata Teddy, karena nun jauh di bawahnya terdapat lapisan akuifer, sebuah celah raksasa yang menampung air tanah. ''Nah, aliran air ke akuifer itulah yang dulu merupakan jalur sungai purba,'' katanya.

Sebenarnya soal sungai purba ini sudah lama diketahui. Bahkan petanya telah dibuat pada 1970. ''Tetapi belum banyak yang berpikir jika sungai purba ini diperkirakan mengurangi banjir,'' kata Idwan Suhardi, Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kementerian Ristek.

Umur sungai purba itu diperkirakan mencapai 5.000 tahun dan berada pada kedalaman 20 meter hingga 200 meter di bawah tanah. Menurut Idwan, pada bagian bawah tanah Jakarta yang mencapai delapan lapis itu banyak ditemukan bentangan endapan pasir dari hulu ke hilir. Itulah sang sungai purba.

Rupanya, walaupun purba, bekas aliran airnya dapat dipakai untuk mengatasi salah satu masalah Ibu Kota yang pelik: banjir! Satu di antara penyebab banjir itu, air tidak bisa menyerap ke tanah. Menurut Idwan, aliran air tanah meresap melintasi sungai-sungai purba.

''Namun aliran air tanah itu semakin sempit seiring perkembangan kota yang semakin padat,'' kata Idwan. Itu tampak di sejumlah areal hijau yang beralih fungsi menjadi bangunan dan jalan beraspal. Akibatnya, air tak dapat meresap langsung ke tanah, melainkan melimpas mencari permukaan terendah. Timbullah genangan di mana-mana alias banjir.

''Nah, teknologi waduk resapan dan sumur-sumur resapan tadi diharapkan mampu jadi penghubung lintasan air menuju sungai-sungai purba yang berada di bawah permukaan tanah,'' ujar Idwan.

Tentu waduk resapan yang dibuat berbeda dengan waduk biasa. ''Waduk resapan ini dibuat di atas permukaan tanah yang ada lapisan akuifernya tadi,'' kata Idwan. Berbeda dengan waduk biasa, dasar waduk resapan UI itu dilapisi beton, sehingga air tak dapat meresap.

Dalam kondisi tidak banjir, waduk resapan akan menampung air saja. Tetapi, jika banjir, bangunan persegi di tengah waduk tadi akan menunjukkan fungsinya sebagai pengalih air. Ketika curahan air meninggi, air akan meluap masuk ke bangunan persegi dan langsung menuju perut akuifer.

Selanjutnya, air akan masuk ke aliran sungai-sungai purba itu. Apakah ini dapat mengatasi banjir secara total? ''Masalah banjir sangat kompleks. Kami hanya menawarkan alternatif penyelesaian,'' tutur Idwan.

Toh, waduk resapan ini berfungsi dengan baik ketika diadakan uji coba mengatasi masalah kebutuhan air bersih. Waduk mampu meresap air hingga 1.933 meter kubik per hari atau 22,37 liter air per detik. Artinya, waduk itu sanggup memenuhi kebutuhan 16.106 jiwa setiap hari.

Contohnya, di kawasan Kali Mampang, Jakarta, ada 12 titik rawan banjir. Nah, ''Jika tiga juta kubik air dibutuhkan, maka setidaknya dibangun sekitar 90.000 sumur resapan di Kali Mampang,'' kata Fatchy Muhammad, Ketua Masyarakat Air Indonesia. Secara keseluruhan, untuk kota Jakarta setidaknya dibutuhkan satu juta sumur resapan.

Untuk membuat sumur resapan, tentu dibutuhkan biaya juga. Karena itu, tak semua warga, terutama rakyat kecil, mau membuat sumur resapan. ''Jangankan membuat sumur resapan, untuk makan sehari-hari saja masyarakat miskin tidak mampu,'' ujar Fatchy. Maka, waduk pun menjadi jawabannya.Anthony dan Nur Hidayat



Post Date : 31 Mei 2007