Menaruh dan Memilah Sampah

Sumber:Media Indonesia - 22 Januari 2010
Kategori:Sampah Jakarta

KEBIASAAN sosial, atau disebut habitus oleh Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis itu, adalah bagian penting dari hasil kebudayaan manusia. Kebiasaan itu bukanlah bersifat instingtif karena perlu latihan terusmenerus. Dalam latihan biasanya ada juga pemaksaan.

Ada sanksi. Ada reward. Ambil contoh, jika tidak ada toilet training di rumah waktu masih balita, mungkin manusia juga akan buang air sembarangan. Pun, kalau tidak ada `lembaga pemaksa' bernama sekolah, dengan ujian dan ulangan, mungkin seorang anak tidak punya kebiasaan belajar secara rutin.

Tanpa ada struktur yang `memaksa' untuk melatihnya, manusia hanya akan bersifat alamiah, yaitu tidak mau repot dan malas sehingga tidak akan mempunyai kebiasaan sosial yang diperlukan untuk hidup bersama dengan baik.

Itu pulalah yang terjadi dengan kepedulian orang pada sampah. Tampaknya selama ini orang, setidaknya di Indonesia, juga Jakarta, dibiarkan alamiah begitu saja bersikap pada sampah.

Kepedulian pada sampah belum dianggap sebagai bagian budaya. Yang terjadi, orang tidak punya habitus baik terkait dengan sampah. Karena tidak ada garbage training yang sejajar dengan >toilet training itu, orang tidak punya rasa malu ketika membuang sampah sembarangan, apalagi kalau dampak untuk dirinya tidak dirasakan. Sikap itu pulalah yang menyebabkan adanya nimby syndrome atau sindrom nimby (not in my backyard). Orang bisa membuang sampah sembarangan, asal tidak di pekarangan sendiri. Nimby adalah gejala universal terkait dengan sampah. Akibatnya, sampah berceceran atau menumpuk di mana-mana. Dasarnya jelas, manusia itu tidak mau repot, tidak mau peduli, malas.

Membentuk habitus

Demi kebaikan bersama, kebiasaan untuk menaruh dan memilah sampah harus dibentuk. Tidak cukuplah orang dikhotbahi, diberi petunjuk dan diingatkan. Supaya kebiasaan terbentuk, manusia perlu diberi kemudahan atau sarana. Pun, manusia perlu `diancam' dengan hukuman atau sanksi serta `diimingimingi' dengan reward atau hadiah. Ini pun butuh proses yang panjang dan kerja sama antarpihak secara berkesinambungan, persis seperti mengajari anak di sekolah. Bedanya, membentuk habitus harus melibatkan sebanyak mungkin pihak karena yang `diajari' adalah masyarakat atau kumpulan orang dalam jumlah besar. Menjadi tidak mudah tentunya.

Jika serius dan sabar, mungkin sebuah habitus akan terbentuk kira-kira sepuluh tahun. Habitus antre, misalnya, kampanye dan upaya lain sudah diusahakan sejak akhir 1980-an dan baru akhir-akhir ini kita rasakan orang sudah mulai antre secara spontan, tanpa diancam, tanpa diingatkan. Memang, butuh waktu panjang, dan tahap-tahapnya cukup kelihatan.

Setidaknya ada empat jenjang sampai menjadi habitus (kebiasaan sosial). Pertama, ketika habitus belum tercipta, orang yang melanggar bila ditegur akan marah. Kedua, ketika orang mulai mengerti karena kampanye terus-menerus, lalu ketika dia melanggar dan ditegur, dia tidak marah lagi, meski belum sampai malu. Ketiga, ketika kesadaran itu makin dihayati, muncullah kebiasaan. Ketika sebuah habitus muncul di tengah masyarakat dan ada orang yang melanggar lalu ditegur, rasa malu mulai muncul. Akhirnya, keempat, habitus itu makin nyata ketika orang sudah mulai berani menegur orang lain yang melanggar.

Bagaimana habitus terkait dengan masalah sampah? Secara sadar harus dimulai dari diri sendiri, didukung oleh struktur penunjang, baik pemerintah maupun lembaga lain. Yang harus diusahakan bukan sekedar tidak membuang sampah sembarang, melainkan menaruh dan memilah sampah. Kebiasaan menaruh (bukan membuang) sampah pada tempatnya memang sudah lumayan, tetapi akan lebih baik lagi jika disertai dengan memilah, setidaknya antara yang organik dan anorganik. Dengan itu, akan lebih dimudahkan proses daur ulang.

Al Andang L Binawan Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara & pegiat Gerakan Masyarakat Peduli Sampah Jakarta. 



Post Date : 22 Januari 2010