Air bersih di dua belik (kolam kecil) dengan diameter 50 sentimeter dan kedalaman 50 sentimeter di Kali Widas di Srampangmojo, Desa Nampu, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, sudah habis. Namun, lima ember yang dibawa lima perempuan warga Srampangmojo baru terisi separuhnya.
"Tidak cukup air segini untuk kebutuhan sehari-hari," tutur Miati (39), salah satu warga, sambil menunjuk ember yang dia bawa, beberapa waktu lalu. Kata-kata yang diucapkan Miati lalu disambut anggukan empat warga lain yang pagi itu bersama-sama mengambil air bersih di belik.
"Kami terpaksa menunggu," ucap Katri (30), warga. Sambil mengobrol, mereka menunggu belik itu terisi penuh oleh air lagi. "Butuh waktu setengah jam sampai belik terisi penuh oleh air sehingga kami bisa mengisi penuh ember-ember," ujar Poniyem (43), warga lain.
Aktivitas yang dilakukan kelima warga itu merupakan aktivitas rutin setiap musim kemarau. Hal sama dilakukan 346 keluarga di Srampangmojo, yang lokasinya di pinggir hutan di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Saradan. Dari pagi sampai malam, warga secara bergantian mengambil air di belik. Hal itu terpaksa mereka lakukan karena air di sumur-sumur warga selalu habis.
Kepala Dusun Srampangmojo Suparman mengatakan, sebetulnya 10 tahun lalu ada jaringan air bersih yang masuk. Jaringan air bersih itu justru dari PDAM Kabupaten Nganjuk, bukan PDAM Kabupaten Madiun. Hal itu bisa terjadi mengingat lokasi dusun di dekat perbatasan dengan Nganjuk.
Namun baru sekitar satu tahun berjalan, aliran air bersih itu mulai tersendat sampai akhirnya mati. Mulai saat itulah warga kesulitan air bersih, terutama saat kemarau. Usul demi usul telah diajukan Suparman ke PDAM Kabupaten Madiun agar warga mendapatkan distribusi air bersih lagi, tetapi usul itu belum ditanggapi. Investasi besar
Kepala Humas KPH Saradan Yusuf Zen Arifin mengatakan, warga yang tinggal di pinggir hutan memang selalu kesulitan air bersih saat kemarau. Ada empat lokasi lain di pinggir hutan Saradan yang kesulitan air bersih saat kemarau, yaitu Desa Sambiroto, Gemarang, dan Tawangrejo di Kecamatan Gemarang serta Desa Pajaran di Kecamatan Saradan.
Untuk membantu warga, KPH Saradan menyalurkan air dari sumber air di kawasan hutan ke tandon-tandon air di desa-desa tersebut. Sayang, bantuan penyaluran air dan pengadaan tandon itu tidak ada lagi sejak tahun 1995.
"Bantuan ke warga dialihkan ke bantuan permodalan untuk membantu mereka bercocok tanam di bawah tegakan jati. Bantuan ini dinilai lebih efektif untuk meningkatkan kesejahteraan warga pinggir hutan. Selain itu, ini juga merupakan cara KPH Saradan melibatkan warga untuk menjaga hutan dari pencurian atau kebakaran," katanya.
PDAM Kabupaten Madiun mengaku kesulitan membuat jaringan air bersih itu karena investasinya besar. Biaya pasang PDAM saja sebesar Rp 450.000 per rumah. Padahal, kebanyakan warga adalah buruh tani atau pencari kayu bakar dengan penghasilan Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan. "Investasi PDAM bisa sia-sia karena nanti jaringan air bersih yang dipasang malah tidak dipakai," kata Direktur PDAM Kabupaten Madiun Subiyantoro.
Ketika solusi belum ada, sebanyak 1.096 warga Srampangmojo dan ribuan warga tepian hutan lainnya masih harus menggunakan air "ala kadarnya". Merasakan air bersih tampaknya bakal menjadi penantian yang lama. A Ponco Anggoro
Post Date : 14 Agustus 2009
|