|
BANJIR sudah menjadi 'ritual' tahunan di Jakarta. Bukan hanya bagi mereka yang tinggal di titik-titik rawan banjir, tapi juga bagi sebagian besar warganya. Minimal, kalau banjir, jalanan menjadi macet, sehingga rutinitas terganggu. Dalam sejarah, banjir besar sempat melanda Ibu Kota enam kali, yakni tahun 1621, 1654, 1918, 1979, 1996, dan 2002. Penanggulangan banjir ini sudah dipikirkan sejak zaman penjajahan Belanda. Pada pertengahan 1920, rencana serius menanggulangi banjir pun tercetus dan dikenal dengan nama Rencana Van Breen atau lebih lengkapnya Perbaikan Tata Air Ibu Kota Batavia. Saat itu, Kota Jakarta memang masih bernama Batavia. Rencana ini adalah cikal bakal pembangunan Banjir Kanal Barat (BKB). Dalam kurun waktu 10 tahun, saluran BKB berhasil diselesaikan. Jalurnya berawal dari Manggarai melalui daerah pinggiran atau luar kota dan dibuat lebih besar dari ukuran Sungai Ciliwung yang asli. Selama 40 tahun sejak pembangunan BKB, Jakarta terbebas dari aliran banjir. Namun, pada awal tahun 1960, muncul masalah baru. Seiring berjalannya waktu, jumlah hunian di daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung bertambah pesat. Daerah-daerah tersebut mengalami banjir akibat luapan sungai lain di dekatnya, misalnya Kali Krukut, Grogol, Cipinang, dan Sunter. Urbanisasi yang cepat dan banyaknya permukiman di daerah rendah menimbulkan genangan air dan sulit mengalir ke sungai, apalagi ke laut. Mulailah dipikirkan penanggulangan lain dan tercetus perlunya pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT), yang diyakini merupakan solusi jangka panjang penanganan banjir di Jakarta. Ide awalnya adalah dengan membuat saluran aliran banjir dari pinggiran barat dan timur Jakarta. Dari sebelah barat telah teratasi dengan adanya BKB. Namun, di sebelah timur sampai saat ini infrastruktur itu belum tersedia. Ide BKT ini bermula pada pola induk yang berjudul Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta yang disusun tahun 1972-1973. Pembuatan pola ini merupakan hasil kerja sama pemerintah Indonesia dengan Belanda. Rencana semula, konsultan dari Belanda, Nedeco, akan melaksanakan proyek ini dan selesai tahun 1979. Saluran BKT rencananya akan dibangun memotong Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung. Saluran ini akan menampung aliran banjir dari sungai-sungai tersebut dan membuangnya ke laut melalui daerah Marunda, Jakarta Utara. Namun, karena minimnya dana dan dampak yang ditimbulkan oleh banjir belum separah sekarang, rencana ini tak kunjung terwujud. Kini, proyek itu sangat mendesak. Pemprov DKI tetap berusaha menyelesaikan proyek ini. Untuk itu, proyek BKT dicanangkan kembali pada 10 Juli 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan akan selesai tahun 2010. Proyek BKT diperkirakan akan menelan biaya Rp4,124 triliun dengan panjang 23,5 km dan lebar 100-300 meter. Biaya pembangunan fisik proyek ini sebesar Rp1,938 triliun dibebankan pada Departemen Pekerjaan Umum (PU). Sedangkan pembebasan tanah, sebesar Rp2,186 triliun, menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dana yang tersedia pada tahap awal sebesar Rp98 miliar untuk membuat kanal dari arah laut (Marunda) sepanjang 2,4 km. Sayang, proyek strategis ini terhambat oleh proses pembebasan tanah warga. Padahal, jika proyek ini terlaksana, manfaatnya bukan hanya untuk mengatasi banjir. Tetapi juga menjadi prasarana konservasi air, transportasi air, dan menjadi motor pertumbuhan wilayah timur dan utara Jakarta yang bernuansa water front city. (*/J-4) Post Date : 27 September 2005 |