|
SUNGGUH ironis, dari 120 juta jiwa penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah pedesaan, ternyata hanya delapan persen yang menikmati air bersih melalui pipanisasi. Selebihnya mengandalkan sumur dan air yang mengalir pada kali, atau sungai yang ada di wilayah setempat. Saat musim kemarau, volume air merosot tajam. Sebaliknya, selama musim hujan, air yang ada umumnya keruh dan kotor. Krisis itu sepertinya tidak berkesudahan. Bahkan, di sejumlah daerah, penduduk setempat harus berjalan kaki hingga beberapa kilometer guna mendapatkan air bersih. Ada pula yang harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 15.000-Rp 50.000 hanya untuk memperoleh air sebanyak satu meter kubik. Kisah lain yang tak kalah pelik adalah jalan raya. Saat ini ada sekitar 26.000 desa yang terkategori miskin dan tertinggal. Di sana telah terbangun pula jaringan irigasi pedesaan yang secara nasional dapat mengairi lahan persawahan seluas 1,9 juta hektar. Kendati demikian, nyaris tak ada jaringan jalan yang menghubungkan desa-desa itu dengan kota/kabupaten terdekat. Akibatnya, komoditas yang diproduksi masyarakat setempat tak dapat dipasarkan. Tidak mengherankan, kehidupan masyarakat di 26.000 desa tersebut sangat stagnan. Pendapatan tak pernah meningkat. Kemiskinan dan ketertinggalan tetap melekat dalam dinamika kehidupan mereka setiap hari. Lebih memprihatinkan lagi, jaringan irigasi yang tersedia pun nyaris tak berfungsi lagi sebab kesulitan biaya rehabilitasi. SEIRING kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai 1 Maret 2005, program kompensasi untuk masyarakat miskin digulirkan lagi. Kali ini Departemen Pekerjaan Umum (PU) mendapatkan alokasi dana kompensasi subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 3,5 triliun. Dana itu dimanfaatkan untuk tiga program, yakni pembangunan dan perbaikan jalan pedesaan, pembangunan instalasi air bersih di pedesaan, serta pembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi pedesaan. Program tersebut sebetulnya telah digalakkan Departemen PU sejak tahun 2001. Hingga tahun 2004 telah dibangun instalasi air bersih di 4.359 desa dan menghabiskan dana sebesar Rp 804 miliar. Untuk tahun 2005, sebanyak 11.140 desa yang tersebar di 419 kabupaten/kota dan 31 provinsi dijatahkan untuk mendapatkan bantuan tersebut. Setiap desa dialokasikan dana Rp 250 juta sampai Rp 300 juta. Program kerja diusulkan dari masyarakat desa. Usulan itu lalu diseleksi di kecamatan serta kabupaten guna mencegah terjadinya tumpang tindih. "Prinsipnya, mekanisme pengusulan program benar-benar partisipatif. Apa yang dibutuhkan masyarakat akan dipenuhi," tegas Direktur Jenderal Perkotaan dan Pedesaan Departemen PU Patana Rantetoding. PROGRAM yang diusulkan harus memiliki hasil yang berkelanjutan. Artinya, tak hanya dinikmati selama setahun, tetapi harus beberapa tahun. Untuk itu, di setiap desa ditempatkan seorang tenaga pendamping. Tugas tenaga pendamping itu adalah membuka wawasan serta kesadaran masyarakat tentang pemanfaatan hak terhadap dana kompensasi BBM secara efisien, optimal, dan sebaik-baiknya. Dengan demikian, berbagai peluang kegagalan dari program kompensasi BBM dapat dicegah sejak dini. "Kompensasi subsidi BBM dalam bentuk pembangunan infrastruktur pedesaan dimaksudkan untuk membuka akses dan mendukung kegiatan ekonomi dan sosial pedesaan. Dengan itu, kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat pedesaan dapat ditingkatkan," tegas Menteri PU Djoko Kirmanto. KENDATI telah ditetapkan desa penerima program kompensasi, tetapi berapa kilometer jalan desa dan saluran irigasi yang ingin dibangun belum diketahui. Alasannya, usulan dari masyarakat belum ada. Berdasarkan jadwal pelaksanaan kerja dari Departemen PU, hingga pertengahan Maret ini kegiatan masih difokuskan pada pembentukan tim koordinasi dan sosialisasi provinsi dan kabupaten, serta kecamatan. Lalu, mulai pertengahan Maret hingga pertengahan April dilakukan sosialisasi di kecamatan. Selama April 2005 juga digalakkan pelatihan kelompok diskusi sektor dan fasilitator desa. Selama Maret sampai pertengahan Mei masih disusun resume dan prioritas kabupaten, usulan lokasi (desa), serta jenis prasarana, pelatihan fasilitator teknis dan pemberdayaan, identifikasi organisasi masyarakat setempat. Pelaksanaan program kompensasi baru dimulai pertengahan Mei 2005. Saat yang sama dilakukan pelatihan kepada masyarakat, pelatihan administrasi dan teknis proyek. Pelaksanaan konstruksi baru berakhir pada November 2005. Bersamaan dengan itu dibentuk pula kelompok pengelola infrastruktur. Melihat jadwal pelaksanaan, sepertinya program kompensasi BBM sektor infrastruktur bukan langsung dinikmati sesaat setelah harga BBM dinaikkan, tetapi pada akhir tahun 2005 atau awal tahun 2006. Kenyataan ini dapat memberi kesan rencana program tersebut tidak disiapkan jauh hari. Akibatnya, masyarakat secara tak langsung dipaksa berkorban menikmati kenaikan harga dari semua jenis barang kebutuhan selama lebih dari 10 bulan. Pemerintah dapat saja berkilah bahwa akan digelar pembagian beras untuk rakyat miskin sebagai langkah awal pengamanan subsidi kompensasi itu. Akan tetapi, apalah artinya semua itu jika masyarakat miskin dibiarkan menderita selama beberapa bulan. Inilah akar masalah yang patut segera ditanggulangi agar tak menimbulkan gejolak sosial yang besar. Hal itu penting sebab orang yang kelaparan akan sangat mudah diperalat. (JANNES EUDES WAWA) Post Date : 03 Maret 2005 |