|
Rumah dan seluruh isinya tergenang banjir. Tidak ada pakaian dan makanan. Anak-anak mulai sakit dan kelaparan karena bantuan terlambat datang. Orangtua pun lalu nekat mengungsi ke jalan tol dalam kota antara Tanjung Priok-Ancol, Jakarta Utara, tepatnya di Kilometer 15, Warakas, Senin (5/2). Di kuping selatan jalan tol itu mereka membangun tenda, dan meminta sumbangan untuk menyambung hidup kepada setiap pelintas. Suasana sempat menjadi sedikit tegang, ketika aparat Kepolisian Resor (polres) Metro Jakarta Utara tiba-tiba menangkap Jumali (33) dan Heri (33), Senin siang, karena diduga meminta sumbangan secara paksa kepada pelintas. Keduanya adalah bagian dari sekitar 100 warga korban banjir di RT 06 RW 12, Warakas, yang mengungsi ke jalan tol. Hingga semalam, Heri dan Jumali masih ditahan di markas Polres Metro Jakarta Utara. Penahanan itu membuat geram pengungsi yang lain. "Ini tidak adil, karena mereka tidak pernah meminta paksa," kata Yaumil Akmal, seorang warga yang juga mengungsi ke jalan tol itu. Kepala Polres Metro Jakarta Utara, Komisaris Besar Musyafak mengakui ada penertiban terhadap para peminta-minta di jalan tol, seluruhnya lebih dari 25 orang termasuk Jumali dan Heri. Penertiban dilakukan menyusul adanya pengaduan dari para pelintas. Memang tidak ada pelapor resmi, dan korbannya pun tidak ketahuan, tetapi tindakan segelitir warga di jalan tol itu bisa menimbulkan keresahan yang luas. Mereka diamankan dalam rangka pembinaan. Sebelum penangkapan Jumali dan Heri, ketika Kompas melintas di sana, Senin siang, warga sudah membangun delapan tenda darurat beratapkan plastik bekas. Anak-anak dan orangtuanya duduk dan tidur di aspal. Ada juga yang beralaskan tikar plastik bekas seadanya. Lebih dari 10 pria remaja dan dewasa berdiri di tepi tol dengan kardus kosong, meminta sumbangan dari setiap pelintas. Selang 10 menit kemudian datang juga beberapa petugas PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), pengelola jalan tol Cawang-Tanjung Priok. Wagino, salah satu petugas CMNP langsung mencari koordinator pengungsi. Yaumil dan bebenrapa tokoh warga lainnya terlibat dialog dengan petugas itu. Wagino meminta warga tidak menempati jalan tol dan diminta mengungsi ke tempat lain. Yaumil mengatakan, dari hati yang paling dalam mereka tidak ingin mengungsi ke tol. "Tetapi karena tidak ada gedung atau tempat lain yang kering, maka warga terpaksa mengungsi ke tol," kata Yaumil. Warga memang tidak membangun tenda tepat di jalan tol, tetapi di kuping selatan jalan. Panjang bagian ini sekitar 100 meter. Pada bagian dalam kuping tol, yang berbatasan dengan lajur lintasan mobil, diberi pembatas dari belasan pot bunga. Pada saat kondisi darurat, lokasi itu biasa digunakan untuk memarkir kendaraan petugas jalan tol atau polisi, atau untuk menepikan kendaraan yang rusak sebelum ada pertolongan. Tidak ada pilihan "Kami mengungsi ke sini karena ada tempat kosong, dan lagi pula tidak ada lagi tempat yang kering di wilayah kami. Satu-satunya gedung sekolah yang tidak tergenang banjir, yakni SMP Negeri 129, telah penuh sesak oleh pengungsi lain. Tidak ada pilihan lain bagi kami, kecuali mengungsi ke jalan tol ini," kata Slamet Riyadi (45), yang bersama isteri dan tiga anaknya mengungsi ke tol sejak Senin subuh. Sejak rumah mereka terendam banjir setinggi satu meter pada Sabtu (3/2) lalu, warga masih bertahan di rumah-rumah tetangga dan masjid. "Belakangan kami tidak tahan dikepung air, karena membuat badan terasa kurang sehat, terutama bagi anak-anak, kami nekad mengungsi ke tol," jelas Slamet. Dia menjelaskan, latar belakang mengapa sebagian pengungsi kemudian meminta sumbangan kepada para pelintas. "Sebab sejak rumah kami serta seluruh isi rumah terendam banjir, kami tidak punya apa-apa lagi. Makanan tidak punya, pakaian juga hanya di badan. Anak-anak sudah kelaparan, tidak punya pakaian dan selimut. Juga belum ada sumbangan apa pun yang disampaikan kepada kami," kata Slamet. Ketua RT 06 RW 12, Sukarno (53) mengungsi ke tol bersama tiga anggota keluarga. "Air di rumah saya belum surut, masih setinggi dada saya. Kami mengungsi ke tol karena seorang cucu saya tiba-tiba saja badannya panas tinggi, pada Minggu malam. Senin subuh kami terpaksa mengungsi ke sini dan langsung bangun tenda," kata Sukarno. Yaumil bahkan hingga Senin siang berkali-kali mengirim pesan singkat (SMS) melalui telepon seluler kepada beberapa pejabat di Jakarta Utara, untuk meminta bantuan agar dikirimkan makanan dan pakaian. "Tetapi sampai detik ini kami belum juga menerimanya," kata Yaumil. Sekretaris Pemkot Jakarta Utara, Asri Ilyas, mengatakan, pihaknya dari posko banjir sudah mengirim ratusan nasi bungkus untuk pengungsi Warakas menyusul adanya permintaan dari Yaumil lewas SMS. Tetapi warga yang mengungsi ke tol, belum juga menerima bantuan nasi bungkus itu hingga Senin petang. Itu sebabnya sejumlah warga, termasuk Jumali dan Heri, rela menadahkan tangan mereka kepada setiap pelintas di jalan tol. "Dengan uang yang kami peroleh dari dermawan itu, kami bisa beli makanan untuk dimakan bersama di sini. Tentu saja kami utamakan anak-anak dan kaum ibu," kata Sukarno. Semalam, menjelang pukul 21.00, Yaumil mengabarkan, warga baru saja menerima bantuan makanan dari CMNP pada Senin pukul 20.30. Namun, bagaimana nasib mereka setelah itu? Pascal S Bin Saju Post Date : 06 Februari 2007 |