|
Perlu waktu puluhan juta tahun untuk membentuk gugusan terumbu karang dan mencuatkannya ke permukaan Bumi sebagai pegunungan karst. Sebaliknya, bagi pabrik semen, hanya butuh puluhan tahun untuk menghancurkan dan mengubahnya menjadi mesin uang. idato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mencanangkan kawasan eko-karst Gunung Sewu dan Gombong Selatan pada Desember 2004 seolah memberi harapan akan keberpihakan pemerintah pada kelestarian ekosistem, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berkelanjutan. Nyatanya, di lapangan kawasan perbatuan kapur tetap lebih dipandang dari sisi nilai ekonominya ketimbang sebagai benteng penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Setelah delapan tahun berlalu, gaung yang coba digemakan Presiden pun mulai meredup. Isu pelestarian karst tak dianggap menarik. Bentang alam perbatuan kapur—yang merentang dari Aceh hingga Papua seluas 154.000 kilometer persegi—itu oleh masyarakat umum dilihat sebagai perbukitan kering dengan sedikit kehidupan. Keringnya kawasan karst seolah menjadi pembenaran bagi siapa pun untuk mengambil manfaat ekonominya. Dengan alasan mengisi kebutuhan pembangunan, bermunculan pabrik semen, seperti Semen Gresik di Tuban dan Indocement di Cibinong, mengeksploitasi batu gamping. ”Orang lupa bahwa di balik kawasan karst terdapat cadangan sumber air bersih berbentuk sungai bawah tanah, berbagai flora dan fauna, serta peninggalan arkeologi di beberapa gua tertentu,” kata Ketua Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Budi Brahmantyo di Bandung, pertengahan Maret lalu. Dalam istilah Eko Haryono, Ketua Program Studi Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada, karst selalu berasosiasi dengan sumber air. Sekalipun tampak kering di atasnya, di lereng bukit karst pasti terdapat mata air dengan debit luar biasa. ”Air dari karst ini memasok kebutuhan air penduduk dunia sekitar 25 persen,” ujar Eko yang juga peneliti di Karst Research Group Fakultas Geografi UGM. Bahkan, untuk wilayah Jawa, Kusdarwanto, salah seorang pendiri Lembaga Karst Indonesia, memperkirakan 30-40 persen sumber air berasal dari kawasan karst. Sangat bisa dipahami jika kita menengok peta Pulau Jawa. Pegunungan karst membentang di selatan dari Ujung Kulon ke Sukabumi, Ciamis hingga Kebumen, lalu Wonosari hingga Tulung Agung. Begitu juga di bagian utara, terutama perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dari Blora, Purwodadi, Pati, Tuban, Gresik, sampai ke Madura. Harta karun Air di balik pegunungan karst ibarat harta karun. Tak semuanya muncul di permukaan dan mudah dijangkau. Membutuhkan penelusuran gua untuk mengetahui dari mana datangnya dan ke arah mana air mengalir. Secara garis besar, air datang dari hujan yang jatuh ke permukaan karst yang berpori dan bercelah. Ada yang membentuk bebatuan gamping melalui proses karstifikasi. Ada juga yang menetes dan jatuh membentuk danau serta sungai kecil. Yang menarik, sungai bawah tanah itu kerap kali tak bisa ditelusuri dari awal sampai akhir. ”Penelusuran sungai bawah tanah kerap harus dikombinasikan dengan teknik menyelam karena ketika air masuk ke dalam lubang kerap kali antara permukaan air dan dinding gua menyatu,” kata tokoh karst Indonesia yang pernah meraih penghargaan Kalpataru tahun 2001, Robby Ko King Tjoen. Spesialis penyakit kulit yang akrab dipanggil dr Ko ini sejak tahun 1973 mendalami soal gua, termasuk di wilayah karst. Kepala Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM Dodid Murdohardono mengakui, kekayaan air bawah tanah di seluruh Indonesia belum seluruhnya terpetakan. Padahal, peta ini penting sebagai salah satu dasar mengklasifikasikan pemanfaatan kawasan karst. Ringkasnya, bolehkah ditambang ataukah harus dilindungi? ”Selain di permukaan, pemetaan juga harus dilakukan dengan masuk ke gua-gua, menggunakan metode geofisika, interpretasi citra, dan melacak dengan menggunakan radioisotop,” kata Dodid. Kelompok penelusur gua Acintyacunyata Speleological Club (ASC) yang bermarkas di Yogyakarta, misalnya, telah banyak mendata potensi gua di Indonesia. Dalam survei tahun 2012 di Banyumas, mereka menghitung ada 15 gua karst dengan minimal 15 mata air. Bahkan, salah satunya bisa dipastikan telah membentuk sungai bawah tanah. ”Debitnya di musim hujan bisa mencapai 500 liter per detik,” tutur Bagus Yulianto, anggota ASC. Bahan baku semen Kandungan air di balik keringnya kawasan karst adalah sumber kehidupan bagi warga sekitar. Karena itu, ketika PT Semen Gresik tahun 2008 berencana memperluas lahan garapannya ke sebelah barat, yaitu di wilayah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mereka harus berhadapan dengan penolakan warga yang cukup keras. Kini giliran PT Indocement Tunggal Perkasa yang mengincar kecamatan tetangga, Kayen dan Tambakromo. Rencana pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara itu ibarat lonceng kematian bagi wilayah yang subur ini. ”Bayangkan, hanya karena hutan gundul saja banyak bencana, apalagi kalau Pegunungan Kendeng ditambang. Bagaimana parahnya nanti,” kata Gunretno, tokoh Sedulur Sikep di Sukolilo. Banjir bandang pada 3 Desember 2011 masih terpatri jelas dalam ingatannya. Lima desa di Kecamatan Sukolilo porak-poranda dan dua orang meninggal akibat hujan deras selama dua jam. Pemerintah Kabupaten Pati menuding penggundulan hutan dan penambangan liar sebagai penyebab utama. Sementara Gunretno mempertanyakan, perubahan rencana tata ruang wilayah yang semula pertanian dan wisata (1997-2007) menjadi tambang dan industri (sejak 2010). Menurut Kepala Seksi Bina Pengusahaan Mineral dan Batubara Dinas ESDM Jawa Tengah Budi Susetyo, sekitar 85 persen wilayah pegunungan itu terdiri dari susunan bebatuan gamping, silika, dan lempung. ”Hal itulah yang menjadi dasar penentuan Pegunungan Kendeng dijadikan kawasan penambangan dan industri,” katanya. Untuk melawan upaya meneruskan rencana pembangunan pabrik semen, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng memproduksi film dokumenter berjudul Selamatkan Kendeng yang diunggah ke YouTube akhir Oktober lalu. Film itu menggambarkan penolakan warga, penyesalan warga Tuban yang lahannya dimakan pabrik semen, sampai kehadiran mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf yang mengingatkan ia pernah menolak investasi itu. Di wilayah Gombong Selatan, Dinas ESDM setempat mencatat sekitar 60 persen batu gamping termasuk karst kelas I dan 30 persen kelas II. Sisanya, 10 persen, masuk dalam kawasan karst kelas III. Karst di kawasan itu juga sangat baik untuk bahan baku pembuatan semen. Tahun 1997, PT Semen Gombong—di bawah bendera Medco milik pengusaha Arifin Panigoro—sangat bernafsu mendirikan pabrik semen di wilayah itu. Setelah sempat membebaskan lahan sekitar 400 hektar, rencana itu tertunda sampai saat ini akibat krisis moneter tahun 1998. Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kebumen Masagus Herunoto membenarkan kabar tentang kemungkinan kembalinya PT Semen Gombong meneruskan rencana investasinya. ”Jangan khawatir, kami tetap akan mengacu pada rencana tata ruang dan wilayah yang berlaku. Saat ini kawasan karst Gombong Selatan sudah masuk kawasan lindung. Jadi, eksplorasi besar-besaran tidak bisa serta-merta dilakukan,” ujarnya. (Fitrisia Martisasi/MH/SON/GRE/HEN) Post Date : 04 Mei 2012 |