Menaikkan Derajat Limbah Kemasan Plastik

Sumber:Suara Pembaruan - 19 September 2008
Kategori:Sampah Jakarta

Tiga tas di pojok gerai itu sangat menarik perhatian. Bukan hanya modelnya, melainkan juga kombinasi warnanya. Siapa sangka, jika mengamatinya dari dekat, tas-tas itu dibuat dari limbah. Tas yang berwarna merah misalnya, dibuat dari limbah kemasan Royco. Tas di sebelahnya, dengan ukuran lebih kecil, dibuat dari limbah kemasan plastik sabun Lux.

Aneka tas tersebut bisa dilihat di pameran yang dilaksanakan bertepatan dengan penyelenggaraan The 2nd International Conference on CSR di Balai Sidang Jakarta, penggal akhir Agustus lalu. Di bawah deretan tas itu, terlihat berjajar tempat sampah dan tas belanja. Bahannya, juga bekas kemasan produk. Kotak sampah yang berwarna ungu, misalnya, dibuat dari bekas kemasan pewangi pakaian. Tas belanja yang berwarna hijau, dibuat dari bekas kemasan cairan pembersih lantai. Tak jauh dari deretan itu, terlihat payung colorful, kolase dari limbah kemasan berbagai produk.

Tak jarang, senyum pengunjung melebar mengamati sepasang sandal rumah, yang diletakkan bersisian dengan tempat sampah. Pada sandal biru muda yang catchy itu, masih bisa dibaca dengan jelas tulisan Molto!

"Ini juga salah satu produk trashion." Ucapan itu terlontar dari mulut Sinta Kaniawati, General Manager Unilever Peduli Foundation (PT Unilever Indonesia Tbk), dalam perbincangan di sela-sela konferensi. Di tangannya tergenggam sebuah dompet, untuk menyimpan telepon seluler. Sama dengan produk trashion lainnya, dompet itu colorful.

Sinta tidak malu-malu memamerkannya kepada lawan bicaranya.

Sinta Kaniawati, yang dilahirkan di Bandung, memegang jabatan itu sejak 2007. Menamatkan gelar sarjananya di Institut Pertanian Bogor, ia kemudian menapaki karier profesionalnya bergabung dengan Unilever Indonesia pada 1990. Ia mengawali membangun kariernya dari bawah, berkecimpung dalam berbagai penelitian pasar dan pemasaran berbagai merek produk Unilever, dan kemudian dalam customer development.

"Trashion, from waste to style", adalah program yang dicanangkan yayasan itu untuk mengurangi dampak pencemaran kemasan plastik terhadap lingkungan. Program itu dicanangkan seiring dengan program penanganan sampah dalam payung Green and Clean di beberapa tempat yang menjadi daerah percontohan, dimulai dari Surabaya, kemudian diterapkan di Jakarta. "Salah satu yang dilakukan adalah pemilahan sampah. Terpikir kemudian, sampah keringnya lalu buat apa? Sampah keringnya bisa diolah, tapi diolah seperti apa?" Sinta mengisahkan awal mula penca- nangan program itu.

Ide justru datang dari kaum ibu. "Mereka datang dengan ide sederhana, mengolahnya menjadi kerajinan tangan," Sinta menambahkan. Kemasan-kemasan plastik bekas itu "disulap" para ibu menjadi barang-barang yang bisa dipakai, seperti tas, dompet, dan tempat sampah.

"Persoalannya kemudian, apakah akan menciptakan permintaan pasar? Jawabannya, memang tidak sebesar kalau mengerjakan sesuatu hingga ada nilai tambahnya," Sinta, yang tercatat pernah ikut dalam program pertukaran pelajar AFS ke AS, melanjutkan.

Melihat sambutan yang bersemangat itu, yayasan kemudian menggaet entrepreneur yang memang sudah bergerak di bidang itu. Yayasan menawarkan untuk menjalin kemitraan, untuk membina kader-kader lingkungan, melatih teknik menjahit kemasan, teknik membuat pola, juga tentang kewirausahaan.

Program berkembang pesat. Di Surabaya, contohnya, sejak dimulai tahun 2001, dari awalnya hanya dua kader, kini tercatat 7.184 kader dengan wilayah binaan 1.740 RT. Di Jakarta, yang memulai program pada awal 2006, dengan 180 kader, kini berkembang menjadi 7.258 kader dengan wilayah binaan 1.125 RT, di antaranya di Kedoya, PasarMinggu, Mampang, dan Cipinang.

Kebersamaan

Trashion, menurut Sinta, yang pernah mengikuti program International Trade and Commerce Exchange, bukan sekadar pekerjaan mengumpulkan, memilah, mencuci, mengeringkan, memotong- motong limbah kemasan plastik. "Bentuknya labor intensive activity. Bukan sekadar peningkatan pengelolaan sampah, melainkan lebih jauh terbentuk komunikasi warga. Orang Jakarta, misalnya, terkenal individualis, tetapi dengan adanya kegiatan kebersamaan seperti itu, komunikasi antarwarga terjalin. Terjalin silaturahmi. Bukan hanya satu RW, melainkan menular ke RW lain," Sinta menegaskan.

Yang menggembirakan dan lebih menimbulkan semangat bagi para ibu yang menjadi kader itu, yayasan melempar produk mereka ke Hypermart Cikarang, Karawaci, Puri Indah. "Itu pilot store kami yang pertama. Untuk memasarkan, atau lebih tepatnya awareness building. Intinya kami ingin menggalang awareness dari masyarakat bahwa produk-produk seperti ini juga bisa dimanfaatkan, dipakai. Kalau besok-besok belanja, nggak usah minta tas plastik, karena ada tas besar yang diproduksi untuk belanja," kata Sinta, sambil menambahkan tidak tertutup kemungkinan lingkup pemasaran akan diperluas kelak.

Trashion menjadi bagian dari program Green and Clean yang dicanangkan Unilever sejak tahun 2001, dimulai di Surabaya. Bekerja sama dengan universitas dan lembaga swadaya masyarakat, Unilever Indonesia menggagas program untuk memecahkan masalah lingkungan. Kegiatan dimulai dengan program membersihkan bantaran Kali Brantas, di beberapa RW di kawasan Jambangan, dengan mengajak warga untuk tidak membuang sampah di belakang rumahnya. Kegiatan itu diikuti dengan memperkenalkan cara mengelola sampah dan menghijaukan lingkungan rumah.

Tidak semudah membalik telapak tangan, menurut Sinta. Menyadari bahwa tidak mudah mengubah kebiasaan, stimulasi pun diberikan dalam bentuk kompetisi. Seiring waktu berjalan, program berjalan dengan baik, dengan dukungan Pemerintah Kota Surabaya dan perusahaan surat kabar nasional yang berbasis di Surabaya.

Kini, hasilnya sudah bisa dipetik. "Di Surabaya, mungkin sudah 95 persen kelurahan yang mengikuti Surabaya Green and Clean," kata Sinta. Kegiatan pun meluas, meliputi pemberdayaan masyarakat dan perbaikan sanitasi, dalam bungkus paket pengelolaan sampah terpadu. Parameter keberhasilan diukur dari keberhasilan mereduksi sampah.

Yang menggembirakan, program yang juga sudah diterapkan di Jakarta itu, akhirnya meluas ke luar Jawa. Bekerja sama dengan Pemerintah Kota Makassar, program digulirkan di Makassar sejak Juni lalu.

Sinta dan timnya boleh berbangga hati kini. Pada akhir 2007, Program Lingkungan yang dicanangkan tersebut mendapatkan MDG'S Award untuk kategori lingkungan. Pada tahun yang sama, Unilever Indonesia meraih penghargaan internasional Green Apple Award, kategori Environmental Best Practices, untuk implementasi program lingkungan di Surabaya.

Sebelumnya, yakni pada 2005, upaya penyelamatan lingkungan itu meraih penghargaan kelas dunia, Energy Globe Award, atas upaya masyarakat Surabaya menyelamatkan lingkungan Sungai Brantas. Penghargaan terbaru diraih, yakni Stevie Award, sebagai finalis 2008 International Business Award, kategori Program CSR terbaik di Asia, untuk program pengembangan petani kedelai hitam.

Di tengah-tengah kesibukan itu, Sinta, ibu dari dua anak, juga masih meluangkan waktu bergiat di berbagai organisasi sosial. Di antaranya, dalam Philanthropist Organization dan Bina Antar- Budaya. [SP/Sotyati]



Post Date : 19 September 2008