Menabung Sampah untuk Sekolah

Sumber:Pikiran Rakyat - 14 Juni 2010
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Pendidikan membutuhkan biaya. Akan tetapi, biaya tak selalu berupa uang. Sampah pun bisa menjadi biaya sekolah. Tidak percaya? Itu terjadi di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Mutiara Bunda yang terletak di RW 3 Kel. Sarijadi, Kec. Sukaasih, Kota Bandung. Jika tidak ada uang, orang tua hanya perlu mengumpulkan sampahnya untuk dibawa ke sekolah.

"Daripada anak tidak sekolah. Bagi orang tua yang tidak mampu, mereka cukup membayar dengan sampah," kata pengelola PAUD Mutiara Bunda Yunyun Yuningsih.

Sebagai PAUD mandiri yang berdiri sejak 2007, tidak ada donatur tetap yang membiayai sekolah ini, sumbangan pun tidak datang setiap waktu. Akan tetapi, toh kegiatan belajar-mengajar tidak boleh berhenti. Namun, apa mau dikata, dari sekitar 85 siswa yang ada, hanya tiga puluh persen yang mampu membayar. Uang yang terkumpul tak cukup untuk biaya operasional sekolah. Apalagi, untuk membayar sebelas guru yang mengajar di sana.

Lalu munculah ide yang barangkali bisa dianggap tidak waras bagi sebagian orang. Ya, orang tua yang tidak mampu cukup mengumpulkan sampah untuk dikumpulkan ke sekolah. "Sejak Oktober tahun lalu kita membuka rekening sampah ini," kata Yunyun.

Setiap Jumat orang tua membawa sampahnya ke sekolah. Sampah apa saja. Ada sampah plastik, ada botol bekas, sampai sampah organik dari dapur masing-masing. Sampah-sampah itu lalu ditimbang. Setiap orang punya catatan sendiri-sendiri tentang sampah yang ia kumpulkan.

Sekitar 31 orang tua murid sudah menjadi nasabah sampah ini. Setiap minggu setidaknya terkumpul 20 kg sampah. Sampah-sampah itu lalu dipilah-pilah antara yang organik dan yang nonorganik. "Yang organik dikumpulkan untuk dijadikan pupuk organik. Lalu yang nonorganik seperti plastik-plastik bekas dikumpulkan untuk diubah menjadi kerajinan tangan yang bermanfaat," kata Yunyun.

Plastik bekas bungkus permen, kopi, sabun, mi instan diubah menjadi berbagai bentuk tas cantik, taplak meja, bahkan alas seperti karpet.

"Awalnya banyak yang tidak mau. Jijik. Karena mereka pikir itu sampah. Jadi, sudah jijik duluan. Akan tetapi, kan mereka belum tahu sampahnya yang seperti apa, diolahnya seperti apa. Begitu tahu hasilnya, akhirnya banyak yang tertarik," kata Sumyati (54), salah seorang warga yang turut aktif mengolah sampah plastik.

Teras rumahnya berubah menjadi bengkel kreatif yang mengolah sampah-sampah plastik itu. Rupanya tetangga di sekitar yang sering lewat depan rumahnya lama-lama tertarik juga dengan kegiatan yang ditekuni Sumyati. Ia bahkan diundang ke berbagai tempat untuk menularkan keterampilannya.

Ibu-ibu orang tua murid di PAUD Mutiara Bunda akhirnya tidak sekadar mengumpulkan sampah. Mereka ikut belajar membuat kerajinan dari sampah. Bahkan, hasil karya mereka sudah laku dijual. Pesanannya setiap hari semakin bertambah. Bahkan, mereka kewalahan menerima pesanan karena bahan baku yang tidak cukup tersedia. "Hasilnya bisalah untuk menutup operasional sekolah meski belum seluruhnya," kata Yunyun.

Akan tetapi, ternyata bukan uang yang menjadi keuntungan dari upaya ini. Perubahan perilaku masyarakat, terutama pada anak-anak itu sunguh terjadi. Barangkali karena hampir setiap hari mereka menyaksikan guru-guru dan orang tuanya sibuk bergelut dengan sampah, mereka kini menjadi peduli terhadap sampah.

"Mereka jadi tidak membuang sampah sembarangan. Bahkan, mereka punya inisiatif untuk mengumpulkan sampah. Jadi, tanpa perintah pun mereka sudah tahu membuang sampah harus pada tempatnya dan sudah tahu tentang pemisahan sampah. Sebagian masyarakat juga sudah mulai peduli. Pedagang keliling yang punya sampah sekarang mulai menyetorkan sampah plastiknya ke sini," kata Roni Purnomo (33), salah seorang pengajar di PAUD Mutiara Bunda.

Bahkan, berdasarkan cerita orang tua murid, tidak sedikit orang tua yang ditegur anak-anaknya karena membuang sampah sembarangan. "Bahkan mereka sudah bisa menilai, siswa yang akan masuk SD tidak mau sekolah di sekolahan yang kotor," ujar Yuyun.

Peran serta masyarakat, itulah yang kini coba dikembangkan di RW 3. Tidak hanya soal pengolahan sampah, mereka mulai membuat lubang biopori. Lagi-lagi tidak ada perintah khusus. Satu warga mencoba, yang lain mengikuti. Begitu sederhana sebenarnya, selama niat sudah bulat. "Hanya punya satu alat. Kami sudah membuat dua puluh lubang. Baru dua bulan kita sudah rasakan manfaatnya. Genangan air hujan yang biasanya seharian, sekarang menjadi cepat surut," kata salah seorang warga, Darwin Alijasa Siregar (56).

Hanya dengan peran serta semua masyarakatlah perbaikan lingkungan bisa diwujudkan. Tidak ada yang sulit selama ada niat. "Jadikan sampah sebagai sahabat kita," ujar Yunyun. (Catur Ratna Wulandari/"PR")



Post Date : 14 Juni 2010