Menabung Sampah Menuai Rupiah

Sumber:Majalah Gatra - 10 Maret 2010
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Bank Gemah Ripah memberikan layanan unik tabungan sampah. Sukses meningkatkan kesadaran warga Desa Badegan untuk menjaga lingkungan. ; Kreasi Ibu-ibu Mengolah Sampah

Tumpukan karung goni hingga ke atap terlihat di salah satu sudut ruang kantor Bank Gemah Ripah di Desa Badegan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Isinya bukan uang kertas atau koin, melainkan sampah aneka rupa yang dipilah sesuai dengan jenisnya. Ada kardus, plastik, kertas, botol, dan kaleng.

Bank Gemah Ripah memang bukan sembarang bank. Bank yang berdiri sejak Februari dua tahun silam ini hanya melayani transaksi tabungan sampah dari nasabah. Jam operasionalnya juga terbatas: Senin, Rabu, dan Jumat, pukul 16.00-18.00 WIB.

Menurut Bambang Suwerda, pendiri bank sampah itu, Gemah Ripah adalah kependekan dari "gerakan memilah dan recycle sampah". Tujuan awalnya, mengatasi masalah sampah dan limbah di Desa Badegan yang sedang terjangkit demam berdarah. "Jadi, motif ekonomi itu second priority," ujarnya.

Mekanisme kerja bank yang bermodal awal Rp 500.000 itu sama dengan bank umum. Tiap nasabah punya buku tabungan dan nomor rekening. "Setiap setoran nasabah dicatat di buku besar bank," kata dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta itu.

Buku yang biasa diletakkan di meja teller itu bersifat terbuka dan bisa dilihat oleh semua nasabah. Setoran sampah diberi label berisi nama nasabah, jumlah, dan kapan diserahkannya. Kemudian dikumpulkan sesuai dengan jenisnya di loker bank. Nasabah dan pihak bank memegang nota penyerahan.

Pada tahap ini, perhitungan konversi nilai sampah ke uang belum dilakukan. Perhitungan akan dilakukan pada masa panen, yang rata-rata dilakukan sebulan sekali. Ketika tabungan nasabah sudah menggunung, bank akan memanggil para pengepul. Merekalah yang menentukan harga tiap jenis sampah.

Pengepul menghargai sampah kertas HVS dengan nominal tertinggi, Rp 1.500 per kilogram. Kaleng bekas Rp 1.000 per kilogram, kardus bekas Rp 900 per kilogram, dan kertas bekas selain HVS Rp 300 per kilogram.

Nasrullah, salah satu pengepul kepercayaan bank, merasa diuntungkan dengan model pengelolaan sampah Bank Gemah Ripah itu. Selain karena jaminan pasokan, juga karena sampahnya telah dipilah sesuai dengan jenisnya. "Apalagi, setorannya terus naik dan konsisten," tutur Nasrullah, yang pernah memberikan bonus televisi 14 inci sebagai bentuk kepuasan kerja samanya dengan bank itu.

Setelah transaksi bank dengan pengepul selesai, bank mencatat nilai rupiah dari tabungan sampah nasabah sesuai dengan catatan di buku besar. Bambang menjelaskan, setiap panen, bank bisa menuai hasil Rp 300.000 hingga Rp 500.000. Bank menyisihkan 15% dari hasil panenan itu untuk biaya operasional bank.

Tiap nasabah hanya bisa mengambil tabungan tiap tiga bulan. Alasannya, agar jumlah tabungan yang terkumpul cukup banyak. "Sejauh ini, rekor tertinggi seorang nasabah adalah Rp 200.000," ujar Bambang.

Para nasabah pun tidak keberatan atas jangka waktu pengambilan itu. Menurut salah satu nasabah, Panut Susanto, tabungannya kini mencapai Rp 150.000. "Lumayan buat tambah-tambah," kata Panut sembari tersenyum.

Pada saat ini, bank sampah itu memiliki 118 nasabah, terdiri dari perorangan, keluarga, rukun tetangga (RT), dan institusi. Jumlah karyawan bank itu sebanyak 12 orang, yang bekerja secara sukarela. Sedangkan posisi saldo terakhir Bank Gemah Ripah sampai akhir Januari lalu mencapai Rp 2 juta.

Meski sekarang respons warga Desa Badegan tergolong bagus, Bambang mengaku pada awalnya tak mudah meyakinkan warga. Itu terjadi karena karakter masyarakat peralihan desa-kota warga Desa Badegan yang terletak tak jauh dari kota Yogyakarta. Masyarakatnya suburban, jadi sulit diajak. "Mending desa atau kota sekalian," kata pria kelahiran Sleman, 9 Juli 1969, itu.

Toh, Bambang tak kehilangan akal. Ia menyasar anak-anak sebagai target utama edukasi pentingnya pengelolaan sampah. Caranya, dengan meminta rekening milik keluarga yang diatasnamakan sang anak.

Triknya manjur. Sekarang ada 40 rekening keluarga yang mayoritas memakai nama anak. Anak-anak senang karena merasa punya buku rekening bank. Mereka pun rajin datang ke bank untuk menabung sampah.

Selain itu, Bambang rajin memberi penyuluhan ke sekolah-sekolah. Hasilnya, tiga taman kanak-kanak dan sebuah SMA telah menjadi nasabah. Cara lain yang Bambang lakukan untuk menggugah kesadaran warga menjaga lingkungan adalah dengan arisan, mengajak dari pintu ke pintu, hingga keliling kampung dengan mobil berpengeras suara.

Hasilnya tidak mengecewakan. Dua belas RT di Desa Badegan sudah punya rekening RT di bank. Di setiap tempat strategis di masing-masing RT ditaruh tiga tong sampah berbeda warna untuk jenis sampah berbeda. Hijau untuk kaleng dan botol, biru untuk plastik, dan kuning untuk kertas. "Memang tetap masih ada warga yang menumpuk dan membakar sampah di pekarangan rumah," kata bapak tiga anak itu.

Usai berulang tahun kedua, Bambang berencana melebarkan jenis layanan Bank Gemah Ripah. Pihaknya menawarkan pengelolaan sampah residu. Yaitu segala jenis sampah yang tak bisa ditabung dan dinilai dengan rupiah oleh pengepul. Sampah ini antara lain popok bayi, pembalut, baterai, dan kaca.

Tujuan layanan yang menggandeng Departemen Pekerjaan Umum (DPU) Bantul ini adalah mengelola sampah residu dengan mudah, murah, dan tidak mengotori lingkungan. Berbeda dari layanan tabungan sampah sebelumnya, layanan ini tidak mengubah sampah ke rupiah. Sebaliknya, warga justru membayar Rp 8.000 per kepala keluarga. Harga ini masih lebih murah dibandingkan dengan biaya langganan bulanan petugas sampah yang mencapai Rp 20.000.

Menurut Bambang, alokasi pembagian dana dari warga adalah 30% untuk kas RT dan 70% untuk bank. Agar biaya retribusi bank ke DPU lebih murah, sampah residu itu diantarkan tukang becak setiap dua pekan. "Jadi, membuka lapangan kerja juga," Bambang menambahkan. Ongkos untuk tukang becak hanya Rp 20.000.

Tak hanya sampah residu yang akan diolah bank. Sampah organik pun tak luput dari perhatian. Mereka mulai membuat kompos dan biopori di sekitar kantor bank dan beberapa sudut kampung. Plus pengembangan disinfektan dengan sistem penyaringan air sederhana.

Sebenarnya mengelola aneka jenis sampah untuk kepentingan warga dilakukan sebelum Bank Gemah Ripah resmi berdiri. Bambang memasukkannya dalam Program Bengkel Kesehatan Lingkungan (kemudian diberi nama Bank Gemah Ripah), yang menjadi kerja praktek lapangannya sebagai dosen pada 2008.

Program pertama bengkel itu adalah mengolah limbah gabus dengan parutan kelapa. Dua bahan ini, bila dicampur dengan semen dan pasir, bisa menjadi bahan baku batako dan beragam kerajinan. Misalnya suvenir, pot bunga, dan tempat bendera.

Setelah gabus, Bambang mengajak warga Badegan mengolah sampah plastik, terutama kemasan minuman dan jajanan. Beberapa warga yang serius mengikuti program ini diberi pelatihan. Hasilnya, plastik-plastik itu dijahit menjadi tas, ransel, dan wadah-wadah kecil. Harganya mulai Rp 3.000 sampai yang paling mahal, Rp 60.000, untuk ransel. Astari Yanuarti, dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)



Post Date : 10 Maret 2010