Menabung di Bank Sampah

Sumber:Kompas - 02 Juni 2010
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Yogyakarta, Kompas - Masyarakat Dusun Badegan, Bantul, tidak mau kalah dengan bank yang begitu gencar mengajak masyarakat menabung. Mereka juga terus berkampanye ke warga agar gemar menabung. Namun, bukan uang yang ditabung, tetapi sampah. Jumlah nasabahnya kini mencapai ratusan orang dengan omzet Rp 500.000 per bulan.

Direktur Bank Sampah Panut Siswanto, Selasa (1/6), mengatakan, awalnya nasabah sebatas warga di Dusun Badegan, tetapi kini sudah berkembang hingga keluar desa. "Sebagian besar adalah kalangan sekolah. Jumlah nasabah individu mencapai 180 orang, sedangkan nasabah kelompok ada 22," katanya.

Beberapa sekolah di Kecamatan Jetis, Dlingo, dan Bantul telah terdaftar sebagai nasabah. Sekolah menjadi nasabah potensial karena mereka sudah memiliki bak sampah masing-masing. Selama ini sampah- sampah tersebut hanya dibuang begitu saja. Padahal, masih ada nilai ekonomi yang tersisa.

Bank Sampah Gemah Ripah, karya warga Dusun Badegan, bisa menerima segala bentuk sampah seperti plastik, kertas, beling, dan sampah organik. Untuk plastik, kertas, dan beling, pihak bank akan menjualnya kembali ke tukang rosok. Untuk sampah organik, mereka mengolahnya menjadi kompos yang dijual kembali ke masyarakat.

Aktivitas bank sampah biasanya menggeliat saat sore hari. Setiap nasabah datang dengan empat kantong sampah berbeda sesuai jenisnya. Ketika menimbang sampah, nasabah akan mendapat bukti setoran dari petugas teller. Bukti setoran itu menjadi dasar penghitungan nilai rupiah sampah yang kemudian dicatat dalam buku tabungan. Untuk membedakan, warna buku tabungan tiap RT dibuat berbeda.

Setelah sampah terkumpul banyak, petugas bank menghubungi tukang rosok. Tukang rosok memberi nilai ekonomi tiap kantong sampah milik nasabah. Catatan nilai rupiah itu lalu dicocokkan dengan bukti setoran dan kemudian dibukukan.

Harga sampah bervariasi bergantung pada klasifikasinya. Kardus dihargai Rp 1.200 per kilogram, kertas arsip Rp 2.300 per kg, dan kertas koran seharga Rp 1.300 per kg. Botol dan gelas plastik dihargai Rp 2.000 per kg, sedangkan plastik kresek Rp 700 per kg.

Tiap nasabah memiliki karung ukuran besar yang tersimpan di bank untuk menyimpan seluruh sampah yang mereka tabung. Tiap karung diberi nama dan nomor rekening tiap nasabah. Hal ini bertujuan agar setiap tukang rongsok datang, petugas bank tidak kebingungan memilah tabungan sampah tiap nasabah. Karung- karung sampah itu tersimpan rapi di gudang bank.

Tidak semua sampah dijual ke tukang rosok. Sampah plastik saset bekas pembungkus dimanfaatkan untuk membuat aksesori rumah tangga. Misalnya, plastik bungkus minyak goreng, kopi, atau susu dipakai untuk melapisi tas, dompet, atau perkakas rumah tangga lainnya.

Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, seperti fotokopi, pembuatan buku tabungan, dan biaya lainnya. "Selama ini tidak ada nasabah yang keberatan. Kami harus melakukan pemotongan karena bank ini memang dikelola bersama-sama," katanya.

Bank sampah awalnya diprakarsai oleh Bambang Suwerda, dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta. Meski sibuk mengajar, ia masih aktif mengelola bank sampah. Sebagai dosen kesehatan masyarakat, awalnya ia hanya ingin daerahnya bebas demam berdarah. Oleh karena itu, sampah-sampah harus diminimalkan. Dari situlah inspirasi bank sampah muncul.

"Saya berharap, bank sampah bisa direplikasi di desa-desa lain di Bantul. Setidaknya kehadiran bank ini bisa menambah penghasilan warga," ujar Bambang. (ENY)



Post Date : 02 Juni 2010