Memuliakan Sampah Mendulang Untung

Sumber:Media Indonesia - 20 September 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

SEPERTI kota-kota besar di Tanah Air, Kota Bandung dari tahun ke tahun mengalami kemajuan pesat. Namun semua tahu, di balik kemajuan semua itu, 'Kota Kembang' ini menyimpan berbagai persoalan yang tidak ringan.

Penghuni Parijs van Java dalam beberapa tahun silam tercatat hanya 250.000 jiwa, kini mengalami laju pertumbuhan ekstrem mencapai 3 juta jiwa. Kepadatan penduduk, peningkatan kebutuhan lahan dan air bersih, serta persoalan sampah, limbah, dan pencemaran lingkungan terus mendera.

Permasalahan sampah di Bandung memuncak dalam tiga tahun lalu, saat ribuan ton limbah rumah tangga tidak bisa dibuang di TPA, yang akhirnya tumpek-blek di jalan-jalan protokol. Tentu saja menjijikkan dan menimbulkan aroma tak sedap.

Agak sulit membayangkan produksi sampah Kota Bandung setiap harinya. Namun, sebagai perbandingan, jumlah sampah Kota Bandung dalam sehari beratnya setara dengan 1.000 ekor gajah, lembaran sampah plastiknya kalau disambung-sambung dapat menutupi 50 lapangan sepak bola, sedangkan sampah kertasnya setara dengan hasil produksi bubur kertas dengan menebang 500 pohon.

Hingga kini persoalan sampah di 'Kota Kembang' itu belum ada solusi jangka panjangnya. Untuk sementara dibuang di TPA Sarimukti yang lahannya dipinjam dari Perhutani. Tentu saja hal itu sangat merisaukan.

Beruntunglah di Bandung ada Sobirin Supardiyono, yang sejak puluhan tahun mengampanyekan lingkungan sehat tanpa sampah di Bandung dan sekitarnya. Bersama rekan-rekannya di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) ia berhasil menciptakan kompos sampah (limbah). Tidak hanya sampah, kini limbah kertas dan plastik juga bisa mereka daur ulang. Setidaknya ada jalan keluar yang ditawarkan Sobirin untuk mengatasi masalah sampah di kota pada akhir pekan selalu dijubeli warga Jakarta itu.

Diawali dari tindakan mengolah sampah rumah tangganya, ia memilah-milah jenis sampah organik dan anorganiknya, untuk selanjutnya diproses menjadi barang-barang yang berguna. Sampah organik biasanya dijadikan kompos. Sampah kertas didaur ulang menjadi hiasan kertas, atau dijadikan bubur kertas dicampur dengan lem kayu lalu dicetak menjadi pernik-pernik hiasan. Adapun sampah plastik dibuat tas plastik daur ulang dan lain-lainnya.

Semua itu dilakukan dengan kesadaran penuh tanpa berkeinginan meminta bantuan orang lain apalagi pemerintah. Terkecuali dalam mengelola sampah anorganik Sobirin masih minta bantuan tetangganya membuatkan bubur kertas dan dicetak menjadi pernik-pernik. Termasuk proses daur ulang plastik, masih minta tolong tukang jahit untuk dijadikan tas plastik daur ulang.

Di mata Sobirin sampah bukanlah benda yang selalu dinistakan, dihancurkan dan tidak berguna. Dari sampah, menurutnya, semua orang bisa memanfaatkannya secara ekonomis dan bisa menciptakan lahan pekerjaan baru seperti spesialis kompos, spesialis daur ulang kertas, ataupun plastik.

Dari segi ekonomi, sampah sebenarnya bisa membuka peluang untuk dijadikan kegiatan ekonomi kreatif dan bisa menopang ekonomi rumah tangga. Banyak sekali contohnya. Kompos halus dengan kualitas super harganya bisa mencapai antara Rp2.500 hingga Rp5.000 per kg. Pemilik taman bunga di rumah-rumah warga sangat memerlukan produk tersebut dan pasarnya masih terbuka luas, sedangkan hiasan daur ulang kertas dan plastik harganya relatif.

Sebagai contoh tas daur ulang plastik ukuran tas jinjing antara Rp25.000 hingga Rp.50.000 per buah. Tidak sedikit orang yang sukses mengembangkan produk seperti itu untuk memenuhi permintaan dari luar negeri.

Mikroorganisme lokal (MOL) juga laku dijual, harganya Rp5.000 per botol ukuran 600 cc. "Saya menyarankan juga untuk mengembangkan pertanian rumah tangga dengan memanfaatkan kompos buatan sendiri. Bisa untuk menanam tomat, cabai, padi dalam pot. Hasilnya lumayan," ujar pria jebolan jurusan Geologi Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), 1970 itu.

Metode 3R

Kondisi lingkungan yang semakin parah dewasa ini seharusnya menyadarkan setiap orang untuk bijaksana dalam mengelola sampahnya. Namun, harapan itu masih jauh dari kenyataan. Lebih dari 90% warga Kota Bandung masih tidak peduli.

Sebagai ilustrasi, di Bandung sekitar 20% warganya meminta bantuan tukang sampah untuk membuang ke tempat pembuangan akhir, membuang ke sungai (5%), membuang di sembarangan tempat (25%), dan ditanam dalam tanah atau dibakar sebanyak 50%.

Perilaku warga yang masih belum memuliakan sampah itulah yang menyebabkan sampah menjadi sumber penyakit dan sering kali sebagai penyebab tersumbatnya aliran sungai sehingga menyebabkan banjir.

Tindakan warga yang membakar sampah sebenarnya juga kurang dibenarkan. Alasannya sampah plastik yang dibakar dapat mengeluarkan gas dioxine yang membahayakan kesehatan.

Langkah yang diusulkan Sobirin dalam mengelola sampah yakni melalui metode 3R, reduce (mengurangi produksi sampah), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang sampah menjadi barang yang bermanfaat).

Penerapan metode 3R tersebut memang memerlukan keyakinan dan kesadaran warga dalam memproses sampahnya sendiri. Jika hal itu berhasil dilakukan, Sobirin yakin akan menjadi budaya hidup sehari-hari.

Di samping itu, untuk merangsang hidup bersih, Sobirin menawarkan model insentif dan disinsentif bagi setiap warga kota. Hasil kompos dari warga harus dibeli oleh pemerintah kota dengan harga yang menarik. Sebaliknya, bagi warga yang melanggar tata aturan persampahan harus dikenai sanksi berat. Eriez M Rizal dan Iwan Kurniawan



Post Date : 20 September 2008