|
SAMPAH yang bertebaran di mana-mana sering menjadi masalah. Berbagai daerah sudah membangun tempat pembuangan akhir (TPA), namun tidak lama kemudian langsung penuh. Akibatnya, terpaksa harus menambah tempat pembuangan sampah. Meski demikian, soal sampah terus menghantui pemerintah, karena dari hari ke hari jumlahnya terus meningkat seiring perkembangan jumlah penduduk. Bermula dari hal itu, H Fatkhurahman Noor, warga Kauman, Kota Pekalongan, membuat lima bungker untuk memproses pembusukan sampah sampai menjadi pupuk kompos di rumahnya. Bagaimana caranya, anggota DPRD dari PAN itu menjelaskan, sebelum sampah dimasukkan ke bungker, pihaknya menugaskan seseorang untuk menangani proses tersebut. Awalnya, 70 pekerja batik yang bekerja di rumahnya diminta memisahkan sampah organik dan anorganik yang dibuangnya. Sampah organik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan bisa langsung dimasukkan ke bungker. Setelah bungker setinggi 1,5 meter dengan garis tengah 1,5 meter itu penuh, ditutup rapat minimal dua bulan. Hari-hari berikutnya, pembuangan sampah organik dibuang di bungker kedua dan seterusnya sampai ketiga. Sebelum ditutup, bungker sederhana tersebut diberi pupuk setengah ons untuk mempercepat proses pembusukan. ''Alhamdulillah, setelah dua bulan, isi bungker berubah menjadi kompos, yang siap digunakan untuk pupuk tanaman,'' ujarnya. Dengan hasil pupuk kompos itu, maka sejak tahun 1998 dia tidak pernah membeli pupuk untuk tanaman bunga di rumahnya. Semuanya bisa dipupuk dengan kompos tersebut. Sementara itu, sampah anorganik yang tidak bisa busuk, seperti plastik, dikumpulkan dalam suatu tempat. Jika sudah mengumpul, bisa dijual kepada pedagang rongsok. ''Itu akan memberikan nilai tambah bagi keluarga,'' ungkapnya. Pembuatan pupuk kompos dengan cara demikian, menurut dia, sudah dilakukan sejak tahun 1998 di rumahnya di Bendang Gang 8 Nomor 1 dan Kauman Gang 10 No 19 serta Jalan Toba Nomor 37 Pekalongan. Dari tiga rumah tersebut, dia menyediakan 11 bungker, yang digunakan secara bergantian. ''Kalau sampah yang dibuang sedikit, maka hingga enam bulan bungker belum penuh,'' tutur pemilik Batik ''Nulaba'' Pekalongan tersebut. Karena itu, selama delapan tahun, dia mengaku tidak pernah membuang sampah ke tong sampah yang diangkut petugas. Semuanya bisa dibuang di bungker miliknya sendiri. Membuat Bungker Seandainya penanganan sampah seperti itu dilakukan di kalangan masyarakat luas, lanjut dia, maka Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup (DPKLH) lebih ringan menangani permasalahan sampah. Sebab, sampai sekarang, DPKLH masih kesulitan membuangnya, lantaran setiap hari melimpah. Dia mengusulkan, tiap-tiap lembaga yang mengeluarkan sampah dalam jumlah besar agar membuat bungker untuk memproses pupuk kompos, sehingga sampah yang ada tidak perlu diangkut ke TPA. Lembaga yang lebih dahulu harus membuat adalah pasar. ''Produksi sampah dari pasar sangat besar, sehingga mestinya memiliki bungker sendiri,'' katanya. Hanya saja, untuk menangani sampah seperti itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat harus dibudayakan membuang sampah sekaligus memisahkan yang organik dan anorganik. Jika hal tersebut bisa dilakukan dengan tertib, proses pembusukan sampah di bungker bisa dilakukan. ''Untuk pembudayaan penanganan sampah inilah yang cukup sulit dan memerlukan waktu cukup lama. Namun, bila hal itu sudah menjadi budaya masyarakat Kota Pekalongan, maka TPA tak diperlukan lagi. Sebab, selain baunya menyengat, juga menimbulkan lalat yang mengganggu kesehatan manusia,'' paparnya. (Trias Purwadi-54h) Post Date : 29 November 2006 |