Swastanisasi air minum di DKI Jaya oleh dua operator swasta selama 13 tahun kembali dipersoalkan (Kompas, 7/6/2011). Kinerja buruk serta kerugian menjadi pangkal soal.
Kinerja buruk digambarkan melalui kebocoran 63 persen, kualitas air yang buruk, dan tarif yang mahal dibandingkan tarif serupa negara lain. Ini adalah sebuah catatan perjalanan pengelolaan air Indonesia yang telah memasuki era baru dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Melalui UU tersebut, keterlibatan swasta mendapat legitimasi.
Kondisi ini tentu saja memprihatinkan mengingat tujuan keterlibatan swasta adalah untuk memperbaiki kinerja pengelolaan karena swasta umumnya berorientasi pada efisiensi dengan mengedepankan profesionalitas yang diharapkan bermuara pada hadirnya tarif terjangkau dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Terlebih swasta yang terlibat adalah dua operator kelas dunia dari Inggris dan Perancis, yakni Thames dan Lyonnaise.
Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah lain yang menjajaki kerja sama serupa sehingga situasi seperti di DKI tidak terjadi.
Euforia reformasi
Paradigma pembangunan ekonomi mengalami perubahan radikal saat reformasi tiba. Ambruknya ekonomi saat krisis moneter dianggap pertanda lemahnya fundamental ekonomi. Salah satu penyebabnya diduga karena ekonomi yang cenderung terpusat dan dinikmati segelintir kelompok saja. Karena itu, keterbukaan sektor menjadi salah satu program utama reformasi. Sektor harus dibuka seluas-luasnya bagi partisipasi setiap pelaku usaha, selain negara melalui BUMN.
Air minum salah satu sektor yang mengalami perubahan pengelolaan dengan keterlibatan swasta di dalamnya. UU No 7/2004 adalah landasan hukumnya. Namun, jauh sebelum itu, Pemda DKI sudah mengundang dua operator kelas dunia, Thames dan Lyonnaise, sebagai pengelola air minum. Alasannya, kinerja PAM Jaya sangat memprihatinkan sehingga melalui keterlibatan dua operator ini diharapkan ada perbaikan dan transfer kemampuan pengelolaan. Setelah 13 tahun, situasi tak berubah.
Dilihat dari perspektif reformasi ekonomi, tampak terjadi kecerobohan dalam upaya pelibatan swasta di sektor air minum. Euforia reformasi menepikan pertimbangan matang dalam pelibatan swasta. Karakteristik sektor menjadi salah satu hal vital yang diabaikan, padahal karakteristik itu sangat memengaruhi model reformasi sektor agar optimal. Karakteristik sektor air minum adalah monopoli alamiah yang akan efisien jika dikelola satu pelaku usaha karena harus menggunakan satu jaringan air yang padat modal. Tak mungkin terdapat lebih dari satu jaringan di satu wilayah. Akibatnya, baik swasta maupun negara yang mengelola, akan bersifat monopoli.
Ketidakhati-hatian penanganan dalam proses pelibatan swasta bisa hanya bermakna pada pengalihan hak monopoli dari negara ke swasta lengkap dengan kekuatan monopolinya tanpa ada pengendaliannya. Akibatnya, mengingat orientasi swasta adalah murni mencari keuntungan, potensi penyalahgunaan monopoly power menjadi sangat besar. Penyalahgunaan wewenang monopoli dapat muncul dalam bentuk tarif mahal, kelangkaan pasokan, ataupun kualitas pelayanan yang rendah.
Kerangka regulasi buruk
Untuk menjaga agar wewenang monopoli tak disalahgunakan, sektor dengan karakter monopoli alamiah dilakukan pengendalian melalui kerangka regulasi yang komprehensif. Regulasi dibangun untuk mengatur berbagai ketentuan, mulai dari pemilihan swasta yang terlibat, indikator operasional, seperti tarif, kualitas pelayanan, dan ketersambungan yang harus dipenuhi operator, sampai ketentuan pasca-berakhirnya pengelolaan.
Pemilihan operator hanya dilakukan terhadap pelaku usaha yang memiliki rekam jejak memadai di sektor air minum dan menyanggupi indikator kinerja, seperti tarif, kualitas pelayanan, dan ketersambungan. Hanya pelaku usaha yang memenuhi persyaratan dengan kondisi terbaik yang terpilih. Setelah beroperasi, pelaku usaha diikat dengan berbagai kewajiban lengkap dengan indikator kinerjanya, seperti target pembangunan infrastruktur dan kualitas pelayanan. Apabila ini tak terpenuhi, terdapat sanksi untuk setiap ketidaktercapaian.
Bahkan, sangat mungkin dilakukan terminasi. Kalau terminasi terjadi, lisensi pengelolaan dikembalikan ke negara untuk pemilihan ulang dan menghindarkan pola jual beli lisensi. Melalui regulasi ketat seperti ini, operator terpilih akan terikat dengan kewajiban yang umumnya bermuara pada pemenuhan kesejahteraan konsumen.
Dalam pelaksanaannya, untuk mencegah penyalahgunaan wewenang monopoli ada dua regulasi yang harus dibuat secara ketat. Pertama, regulasi terkait tarif harus ditetapkan regulator. Kedua, regulasi standar minimal kualitas pelayanan. Dua regulasi ini harus ketat diawasi sehingga potensi penyalahgunaan kekuatan monopoli lewat tarif eksesif dan pelayanan seadanya bisa dihindari.
Apabila kita memerhatikan swastanisasi di DKI, tampak bahwa kerangka regulasi tak tersedia. Proses pemilihan swasta dilakukan melalui kemitraan strategis dengan mengandalkan reputasi operator bukan pemilihan melalui tender/pelelangan. Kita terkesan menyerahkan sepenuhnya kepada mereka tanpa ada alat kontrol memadai mengingat reputasi mereka. Saat Thames memutuskan hengkang, sahamnya beralih ke Aetra. Padahal, idealnya Thames menyerahkan kembali hak monopoli kepada pemerintah untuk dilakukan seleksi ulang operator. Namun, mekanisme yang terjadi saham Thames dijual ke Aetra.
Pertanyaan besar pun muncul, kenapa Aetra yang dipilih. Apa rekam jejaknya dalam pengelolaan air minum? Pesan dari terpilihnya Thames di awal kerja sama, yakni operator kelas dunia, menjadi diskontinu. Di sini tampak regulasi yang ada tak memagari hal ini sebagaimana idealnya. Ketika indikator pengelolaan tak tercapai sebagaimana dikeluhkan berbagai pihak, tak terlihat tindakan konkret pemerintah atau badan regulator.
Sekali lagi, kita melihat gambaran bagaimana regulasi tak mengatur secara ketat hal-hal yang seharusnya diatur.
Dengan kinerja pas-pasan serta keluhan berbagai pihak, operator tetap dipercaya melanjutkan konsesinya karena memang regulasi tak mengatur secara komprehensif. Akibatnya, situasi pengelolaan tak banyak berubah dari sebelum dan sesudah ada swasta. Padahal keterlibatan swasta ditujukan bagi terjadinya perbaikan kinerja. Jika perbaikan kinerja tercapai yang bermuara pada tarif terjangkau dan kualitas pelayanan yang meningkat, masyarakat pasti akan mendukung dan melupakan dikotomi swasta versus negara.
Berkaca dari apa yang terjadi, upaya pelibatan swasta dalam pengelolaan air minum hendaknya dilakukan dengan memerhatikan berbagai aspek pengelolaan. Karakter sektor air minum yang monopoli alamiah mensyaratkan kerangka regulasi yang komprehensif untuk mendorong pengoptimalan pengelolaan dan menjauhkan potensi penyalahgunaan wewenang monopoli oleh operator.
Taufik Ahmad Pengamat Kebijakan Ekonomi, Bekerja di Salah Satu Komisi Negara
Post Date : 17 Juni 2011
|