Potongan bambu bekas bangunan, karung goni bekas, dan daun pisang kering kini naik kelas. Tangan terampil telah mengubah sampah-sampah itu menjadi pencetak rupiah. Pesanan demi pesanan terus berdatangan. Tidak hanya dari seputaran Surakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari kota lain di Indonesia.’’
Matahari hampir tepat di atas kepala saat Media Indonesia melangkahkan kaki ke Kampung Madurejo RT 05 RW 04, Kelurahan Banyuanyar, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Rabu (7/4).
Lazimnya perkampungan yang ditinggal warganya untuk mencari nafkah ke luar wilayah, suasana kampung yang pernah dilanda banjir cukup parah setahun lalu itu sepi. Hanya ada beberapa orang dewasa dan anak-anak yang terlihat di sana.
Di teras sebuah rumah sederhana yang berada persis di pojok kampung, seorang lelaki berambut panjang, berkaus hitam, duduk bersila. Di hadap annya tergeletak beberapa batang bambu dengan panjang tak lebih dari 1 meter.
Kepalanya menunduk, meng awasi kedua tangannya yang sedang sibuk bekerja. Ia menyerut potongan-potongan bambu menggunakan sebilah pisau kecil.
Setelah mencapai bentuk yang diinginkan, po tong anpotongan tersebut disatukan menggunakan lem. Hingga akhirnya membentuk sebuah gerobak HIK (hidangan istimewa kampung), sebuah tempat jajan khas Surakarta.
Lengkap dengan pernikperniknya, berupa teko besar, beberapa ember, piring, dan sejumlah cangkir, serta dua buah bangku panjang. Di bagian atas gerobak, dipasang selembar daun pisang kering menggambarkan tenda dalam posisi tergulung.
Setelah selesai mengolah bambu, lelaki itu mengambil berapa helai benang yang berasal dari potongan goni.
Benang warna cokelat itu dililitkan pada seutas kawat hingga membentuk wujud orang. Orang-orangan itu disatukan dengan gerobak tadi.
Hasilnya diorama yang menggambarkan aktivitas di sebuah warung HIK. Empat orang pembeli sedang mengobrol santai sembari menikmati minuman dan makanan yang disediakan. Adapun pedagangnya sedang menuang minuman panas ke cangkir.
“Judulnya Warung HIK,” kata lelaki yang mengaku bernama Inung itu menerangkan karya diorama yang tengah dibuatnya. Dia mengaku sudah menekuni pembuatan karya seperti ini sejak beberapa waktu lalu.
Bersama empat rekannya, ia mencoba memunculkan sebuah kreasi baru dengan memanfaatkan bahan-bahan bekas. Mulai potongan bambu bekas bangunan, karung goni bekas, daun pisang kering, hingga berbagai biji-bijian dari tumbuhan di sekitar tempat tinggalnya.
"Saya biasa menyebutnya sebagai seni miniatur berbahan bambu karena sebagian besar bahannya bambu. Tetapi banyak juga orang yang mengistilahkannya sebagai diorama," katanya, tersenyum.
Pemilik nama lengkap Inung Handoko itu mengaku tidak begitu memusingkan soal nama. Yang terpenting baginya adalah bagaimana mengolah bahan-bahan yang selama ini hanya dipandang sebagai sampah itu menjadi produk bernilai jual tinggi.
Begitu pun mengenai jumlah diorama yang telah dilahirkan, Inung tidak pernah menghitungnya. Namun satu yang pasti, sebagian besar diorama yang dibuatnya mengambil tema aktivitas keseharian warga perkampungan di Surakarta.
Mulai warung HIK, pedagang angkringan, kegiatan petani di sawah, pencari rumput, gerobak yang ditarik sapi, pedagang es, hingga kegiatan gotong royong warga membangun sebuah pos kamling.
"Saya melihat kegiatan-ke giatan itu sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk diangkat,” katanya mengenai alasan pemilihan tema tersebut.
Jika menengok ke belakang, proses kelahiran diorama berbahan sampah itu diakui Inung cukup panjang. Itu berawal dari sebuah proses pencarian tak kenal lelah selama bertahuntahun.
Di masa-masa awal kreativitasnya, Inung yang mengaku mewarisi bakat seni dari ayahnya lebih banyak membuat karya berupa miniatur kendaraan. Mulai kapal laut, sepeda motor, hingga mobil dan sejenisnya. Hingga ia mencapai titik jenuh dan mulai mencari bentuk lain yang lebih menantang.
Setelah melakukan proses pengamatan, Inung akhirnya menjatuhkan pilihan pada diorama potret keseharian warga. Sesuatu yang menurutnya penuh nilai-nilai estetika dan bisa dinikmati tanpa harus mengernyitkan dahi.
“Di sini saya menemukan kepuasan tersendiri. Apalagi saya memang sangat suka dengan kehidupan kampung yang sangat sederhana, penuh keramahan, dan nilai-nilai kebersamaan,” kata lulusan sekolah teknik menengah (STM) jurusan listrik itu mengenang.
Kejelian Inung mengangkat detail dalam menggambarkan suasana telah membuat karya-karya yang dilahirkannya me miliki daya pikat tersendiri. Apalagi diorama yang berciri khas keseharian warga Surakarta seperti itu terbilang masih jarang pembuatnya.
Kini Inung boleh berlega hati. Karya dioramanya perlahan tapi pasti semakin banyak dikenal warga. Terlebih setelah dia memamerkan karyanya di salah satu stan Pasar Malam Ngarsopuro Surakarta.
Pesanan demi pesanan terus berdatangan. Tidak hanya dari seputaran Surakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari kota-kota lain di Indonesia. Padahal, cara promosi yang dilakukannya terhitung sangat sederhana, hanya dari mulut ke mulut. Ferdinand
Post Date : 28 April 2010
|