Memilah-milah Sampah untuk Hidup

Sumber:Suara Merdeka - 19 Juni 2006
Kategori:Sampah Luar Jakarta
SUDAYAT mengetahui sekilas dari omongan orang di kompleks tempat kerjanya bahwa Jepara dalam dua tahun berturut-turut (2005 dan 2006) menerima penghargaan Adipura sebagai kota ukuran sedang terbaik dalam pengelolaan kawasan kota.

Tempat pembuangan akhir (TPA) Bandengan, Kecamatan Jepara, tempat dia setiap hari bekerja menjadi satu dari sekian banyak titik pantau tim penilai dari Kementerian Lingkungan Hidup. Program green (hijau) dan clean (bersih) memasukkan sistem pengelolaan sampah sebagai kriteria penilaian.

Barangkali banyak yang tak menyangka, pekerjaan Sudayat sedikit banyak memberikan andil dalam peraihan prestasi itu. Sudah tiga tahun setengah, laki-laki berusia 49 tahun itu bekerja mengumpulkan sampah di TPA seluas tiga hektare tersebut.

Bersama istrinya, Suwarti, setiap hari mereka mengumpulkan sampah-sampah dari kota yang telah dibongkar dari truk. Pasangan itu memilah jenis sampah. Yang organik seperti daun-daunan, kotoran, dan buahan-buahan busuk yang bisa terurai bakteri, mereka ratakan di TPA agar tampak rapi. Yang nonorganik antara lain plastik, kardus/kertas, dan kaleng-kaleng, dia kumpulkan untuk dijual.

Di TPA Bandengan misalnya, setiap hari terdapat 15 truk yang bertugas membuang sampah. Selain pasangan Sudayat dan Suwarti, ada 12 pemulung di TPA tersebut yang memilah-milah sampah.

Setiap hari mereka membawa sampah nonorganik untuk dijual kepada Sudayat. Setiap hari dia bisa mendapatkan sampah berupa kaleng minuman seberat 50 kg, plastik tiga kuintal, dan bekas kertas/kardus 150 kg.

Kemudian mereka menjualnya ke pembeli yang sudah menjadi langganannya, di Pati dan Kudus. Sampah plastik dijual Rp 250-550/kg, kaleng Rp 500/kg, dan kertas/kardus Rp 250/kg. ''Setiap dua pekan diangkut pembeli dari barak kami,'' tuturnya.

Selain sampah-sampah itu, Sudayat dan pemulung-pemulung lain kadang juga mendapatkan kuningan, besi, atau aluminium. Tak bisa dipastikan, sepekan kadang satu kilogram yang dapat mereka jual Rp 42.000.

Tak Jijik

''Orang-orang bilang bekerja seperti ini enak. Akan tetapi sebenarnya berat. Karena tuntutan kebutuhan hidup, kami melakukannya. Sama sekali saya tak merasa jijik dengan sampah-sampah itu. Sebab, dari sana kami bisa mengumpulkan rezeki,'' katanya.

Dari pekerjaannya itu, dia mampu menghidupi anak-anaknya. Termasuk menyekolahkannya. Anak mereka tiga. Dua telah lulus SMP dan satunya lulus STM. Pasangan itu rela tidur di kompleks tempat sampah tersebut. Tiga hari dalam sepekan mereka menginap di sebuah kamar berukuran 3 x 3 meter. Empat tahun lalu, ruangan yang mereka tinggali itu adalah tempat cacing-cacing pengurai sampah organik untuk pembuatan pupuk kompos.

Hanya ada satu kasur lusuh tipis yang cukup untuk alas tidur seorang. ''Biasanya itu untuk istri saya. Kalau saya hanya beralaskan seprai,'' ujarnya. Di dalam kamar itu mereka melepas lelah dan di situ pula mereka memasak dengan kompor gas. Terasa sumpek. Kebutuhan air tercukupi dari sebuah sumur tua. Sekitar 60 meter dari tempat itu adalah tempat pengomposan tinja. (Muhammadun Sanomae-17j)

Post Date : 19 Juni 2006